Oleh: Ust. Muafa
Nama lengkap kitab ini adalah “Kifayatu Al-Akhyar Fi Halli Ghoyati Al-Ikhtishor” (كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار). Makna “kifayah” adalah “mencukupi”. Lafaz “Al-Akhyar” adalah bentuk jamak dari “khoir” yang bisa dimaknai “manusia terbaik”. “Hall” bisa dimaknai “menguraikan”. Jadi, secara keseluruhan, makna kitab ini seakan-akan dimaksudkan sebagai kitab yang isinya sudah mencukupi orang-orang baik yang ingin belajar agama (atau mewakili ulama terbaik dalam hal mensyarah), yakni dengan cara menguraikan, menjelaskan dan mensyarah kitab yang bernama “Ghoyatu Al-Ikhtishor”.
Kitab ini terkadang disebut dan disingkat menjadi “Al-Kifayah” (الكفاية). Hanya saja, penyebutan ini perlu hati-hati. Pasalnya, di kalangan mutaqoddimin, jika disebut “Al-Kifayah”, persepsi mereka adalah “Kifayatu Al-Nabih” karya Ibnu Ar-Rif’ah yang merupakan syarah dari kitab “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi. Perbedaan dua “Kifayah” ini harus diperhatikan karena sering terjadi ambiguitas di kalangan para penuntut ilmu. Penyebutan “Al-Kifayah” bermakna “Kifayatu Al-Akhyar” adalah jika disebut sesudah masa Al-Hishni (829 H).
Kitab ini dikarang oleh Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Hishni. Singkatnya disebut Al-Hishni atau Taqiyyuddin Al-Hishni. Orangnya berbudi luhur, ramah kepada murid-muridnya, senang beruzlah, dan berwibawa. Beliau bukan hanya ahli fikih tetapi juga ahli hadis. Di antara karyanya terkait hadis adalah takhrij beliau terhadap kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghozzali. Sayangnya karya ini belum tuntas.
Sasaran ditulisnya kitab ini dua macam orang sebagaimana diterangkan sendiri oleh Al-Hishni. Pertama; orang yang punya tanggungan yang tidak ada kesempatan untuk bermulazamah dengan ulama. Kedua: Salik (ahli ibadah) yang fokus ke ibadahnya, bukan fokus ke ilmu. Karena itulah, meskipun kitab ini berbentuk syarah, tetapi isinya ringkas. Tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Kitab ini ditulis bukan untuk para ulama yang berniat “tabahhur” (mendalami dan menguasai tuntas).
Kitab ini adalah syarah dari “Matan Abu Syuja’” atau yang disebut juga “Ghoyah Al-Ikhtishor” atau “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib” atau “Mukhtashor Abu Syuja’” atau “At-Taqrib” atau “Al Ghoyah”. Matan Abu Syuja’ adalah di antara matan termasyhur dalam madzhab Asy-Syafi’i. (uraian lebih dalam tentang Matan Abu Syuja’ bisa dibaca pada tulisan saya yang berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”.
Dalam mensyarah, hal menonjol yang dilakukan Al-Hishni adalah memberikan dalil dan ta’lil (reasoning) setiap kali menyajikan hukum. Al-Hishni adalah ahli hadis, karena itu wajar jika beliau cukup piawai menyebutkan dalil-dalil dari hadis pada saat mensyarah kitab ini. Perhatiannya terhadap hadis cukup tinggi. Dalam satu kasus fikih, terkadang beliau menyebut lebih dari satu dalil, dan dalam satu hadis kadang beliau menyebut sejumlah variasi riwayat. Beliau juga menyempatkan diri untuk menjelaskan sejumlah lafaz hadis jika dipandang terasa “asing” seperti syarah beliau terhadap ucapan Nabi “taribat yaminuk”. Tak lupa juga beliau menjelaskan takhrij hadis, membicarakan sanad dan matannya dan seringkali juga membincangkan kualitas hadisnya.
Hampir setiap masalah hukum yang disebutkan senantiasa disertai istidlal dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kadang satu kasus hukum disebutkan dalil lebih dari satu. Memang, kajian terhadap kitab ini diharapkan sudah mencukupi seorang penuntut ilmu sehingga tidak perlu membaca kitab-kitab muthowwal seperti “Kifayatu An-Nabih” karya Ibnu Ar-Rif’ah, “Al-Majmu’” karya An-Nawawi, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, “Nihayatu Al-Mathlab fi Diroyati Al-Madzhab” karya Al-Juwaini, “Bahru Al-Madzhab” karya Ar-Ruyani dan lain-lain. Telaah terhadap kitab-kitab hadis hukum juga diharapkan tidak diperlukan lagi.
Selain mensyarah, secara sambil lalu Al-Hishni juga sempat mengkritik beberapa kelompok orang di zamannya. Beliau mengkritik satu jenis sufi yang tidak pernah mempedulikan undangan orang salih maupun fajir (semua didatangi) dan beribadah dengan cara bermusik. Al-Hishni memandang mereka dipermainkan setan sebagaimana anak-anak kecil mempermainkan bola. Beliau juga mengkritik sebagian qodhi di zamannya yang menerima suap. Al-Hishni memandangnya sebagai “asyaddul fussaq” (orang fasik terparah). Al-Hishni juga mengkritik sebagian pemerintah yang disebut beliau zalim dan korup.
Sumber utama “Kifayatu Al-Akhyar” adalah kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Kitab An-Nawawi ini menjadi referensi utama Al-Hishni. Cara menguraikan kasus-kasus fikih, rincian-rinciannya, penyajian ikhtilaf, termasuk tarjihnya, mengikuti gaya dan cara An-Nawawi dalam “Roudhotu Ath-Tholibin”. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Al-Hishni terkadang menukil secara lengkap redaksi dalam “Roudhotu Ath-Tholibin” tanpa mengubahnya. Hanya saja, Al-Hishni merujuk secara kritis, sehingga kadang-kadang beliau memberikan ta’qib (koreksi), istidrok (melengkapi), memerinci hukum, bahkan kadang juga mengkritik. Jika beliau mengoreksi, maka akan diawali kata “qultu” dan diakhiri kata “wallahua’lam”.
Selain “Roudhotu Ath-Tholibin”, referensi lain yang dipakai Al-Hishni adalah “Al-Umm” karya Asy-Syafi’i, “Ar-Risalah” karya Asy-Syafi’i, Mukhtashor Al-Buwaithi, “Al-Khishol” karya Al-Khoffaf, Mukhtashor Al-Muzani, “At-Talkhish” karya Ibnu Al-Qosh, “Al-Ifshoh” karya Al-Hasan Ath-Thobari, “Jam’u Al-Jawami’” karya Ibnu ‘Ifris, “At-Taqrib” karya Al-Qoffal Asy-Syasyi, Fatawa Al-Qoffal, “Al-Furuq” karya Abdullah Al-Juwaini, Ta’liq Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, “Al-Ibanah” karya Al-Furoni, “At-Ta’liqoh” karya Qodhi Husain, “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi, “Asy-Syamil” karya Ibnu Ash-Shobbagh, “Tatimmatu Al-Ibanah” karya Al-Mutawalli, “Nihayatu Al-Mathlab” karya Imamul Haromain, “Al-‘Uddah” karya Al-Husain Ath-Thobari, “Bahru Al-Madzhab” karya Ar-Ruyani, “Al-Kafi”, “Ihya’ Ulumiddin” karya Al-Ghozzali, “Al-Wajiz” karya Al-Ghozzali, “Al-Wasith” karya Al-Ghozzali, “Al-Mustazh-hiri” karya Al-Qoffal Asy-Syasyi, “At-Tahdzib” karya Al-Baghowi, Fatawa Al-Baghowi, “Adz-Dzakho-ir” karya Al-Makhzumi, “Al-Bayan” karya Al-‘Imroni, “Al-Istiqsho’” karya Al-Maroni, “Al-Amali” karya Ar-Rofi’i, “At-Tadznib” karya Ar-Rofi’i, “Asy-Syarhu Ash-Shoghir” karya Ar-Rofi’i, “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i, Syarah Musnad Asy-Syafi’i karya Ar-Rofi’i dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kitab ini juga menjadi sumber data penting untuk mengetahui ikhtlaf Asy-Syaikhan (Ar-Rofi’i dan An-Nawawi) karena Al-Hishni cukup serius menyebut ikhtilaf-ikhtilaf mereka. Hanya saja Al-Hishni tidak hanya menukil ikhtilaf, tetapi juga mentahqiqnya. Meksipun Al-Hishni sangat menghormati Asy-Syaikhan, tetapi beliau juga bersikap kritis saat mensyarah, terutama jika menemukan waham-waham atau inkonsistensi dari Asy-Syaikhan. Dalam satu pembahasan, beliau menyatakan keheranannya terhadap Ar-Rofi’i yang menulis dalam “Al-Muharror” bahwa memandikan orang mati karena tenggelam tidak wajib karena sudah bersih, sementara dalam dua syarah Ar-Rofi’i (“Asy-Syarhu Ash-Shoghir” dan “Asy-Syarhu Al-Kabir”) beliau menyatakan wajibnya memandikan orang yang mati tenggelam. Di tempat lain, Al-Hishni juga menyatakan keheranannya ketika mendapati An-Nawawi dalam “Roudhotu Ath-Tholibin” yang menulis bahwa orang yang mengucapkan “Ya Luthi” (wahai orang homo) dihukumi melakukan “qodzaf” shorih/lugas, sementara dalam “Tashihu At-Tanbih” beliau menyebutnya sebagai lafaz “kinayah”.
Dengan demikian, jika kita pernah mendapatkan informasi bahwa An-Nawawi pernah merasa kurang “sreg” dengan rancangan kitab “Roudhotu At-Tholibin” yang ditulisnya sendiri, bahkan sudah pernah memerintahkan muridnya; Ibnu Al-‘Atthor untuk menghapus rancangan naskahnya karena kuatir ada beberapa tulisan keliru dalam kitab itu, tapi kemudian An-Nawawi pasrah tidak bersikeras minta kitabnya dimusnahkan karena sudah telanjur menyebar dan populer, maka hadirnya “Kifayatu Al-Akhyar” ini bisa menutup celah “Roudhotu Ath-Tholibin” dan mengobati kekhawatiran An-Nawawi. Alasannya, Al-Hishni cukup kritis dan teliti memeriksa tulisan An-Nawawi dalam “Roudhotu Ath-Tholibin” sehingga beliau tidak segan-segan menilai An-Nawawi melakukan “sahwun”/kealpaan/forgetfullness jika memang terbukti keliru. Hanya saja, penilaian Al-Hishni juga harus tetap disikapi dengan kritis karena di beberapa tempat terbukti penilaian itu juga kurang akurat. Terkait kritikan Al-Isnawi terhadap tarjih An-Nawawi, seringkali Al-Hishni membela An-Nawawi dan membantah argumentasi Al-Isnawi.
Di antara yang menunjukkan mutu kitab “Kifayatu Al-Akhyar” ini adalah isinya dijadikan rujukan dan dikutip oleh Zakariyya Al-Anshori dalam “Asna Al-Matholib” dan “Al-Ghuroru Al-Bahiyyah”, Ar-Romli dalam “Nihayatu Al-Muhtaj” dan fatawanya, Al-Khothib Asy-Syirbini dalam “Mughni Al-Muhtaj”, dan Al-Bujairimi dalam “Hasyiyah Al-Iqna’” atau yang lebih dikenal dengan nama “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib”. Bahkan, kitab ini juga dikutip oleh ulama di luar madzhab Asy-Syafi’i seperti Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi dalam “Roddu Al-Muhtar”.
Bisa dikatakan kitab Kifayatu Al-Akhyar adalah kitab level menengah fikih Asy-Syafi’i yang direkomendasikan untuk dipelajari. Beberapa kali saya ditanya kitab menengah apa untuk fikih Asy-Syafi’i yang bagus untuk dikaji setelah menuntaskan kitab-kitab mukhtashor seperti matan Abu Syuja’? Maka saya jawab: “Kifayatu Al-Akhyar.”
Penerbit Dar Al-Minhaj mencetak kitab “Kifayatu Al-Akhyar” atas jasa tahqiq Ibnu Sumaith dan Muhammad Syadi dengan ketebalan 775 halaman. Cetakan ini disiapkan cukup serius karena bahan manuskripnya diperoleh dari salah satu perpustakaan di Jerman dan dua naskah manuskrip dari tempat lainnya yang dianggap manuskrip paling dekat dengan masa pengarang.
Al-Hishni wafat pada bulan Jumada Al-Ula tahun 829 H. Beliau dimakamkan setelah terbit matahari. Jenazahnya diantarkan pelayat dalam jumlah yang sangat banyak dan hanya Allah yang tahu berapa jumlah persisnya.
رحم الله الحصني رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
Azzam
Assalamu’alaikum, mana yg lebih cocok setelah mempelajari abu syuja’ ustadz… umdatus salik / kifayatul akhyar ini ? Syukran
Admin
Wa’alaikumussalamwarahmatullah. Biasanya setelah matan abu syuja’ mengkaji fathul qarib, lalu kifayatul akhyar, dan terakhir al-iqna’ lisy syirbini