Oleh : Ust. Muafa
Gelar ustaz bukan dari Allah. Tidak pernah ada wahyu atau “surat” dari langit yang memberi gelar resmi seseorang untuk disebut ustaz. Demikian pula gelar-gelar semakna seperti Syaikh, Kyai, ‘Alim, Al-Allamah, Imam, Habib, Qori’, Tuan Guru, Gus, Buya, Lora, Wali dan sebagainya. Jadi sebanarnya tidak ada alasan sama sekali bagi orang yang dipanggil ustaz untuk merasa sebagai orang salih, yang dicintai Allah, diridhai-Nya dan lebih unggul dari hamba-hamba Allah yang lain.
Jangan samakan gelar ustaz dengan gelar “Rasulullah” yang diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad, atau gelar “shodiqul wa’di” yang disematkan Allah kepada nabi Isma’il. Semua gelar-gelar baik yang diberikan Allah secara langsung kepada hamba-hamba tertentu adalah gelar yang akurat, cerminan ridha-Nya dan bisa dipastikan pemiliknya akan masuk surga.
Adapun para ustaz, para dai, para kyai, para syaikh dan kita semua orang Islam secara umum sesungguhnya adalah manusia-manusia yang tidak jelas nasibnya. Sepanjang hidup, kita belum bisa tahu apakah Allah ridha ataukah tidak kepada kita betapapun mewah dan agung gelar yang dimiliki. Nasib kita baru mulai jelas ketika nyawa sudah hendak dicabut dan para malaikat datang mengunjungi kita. Saat itulah kita tahu apakah yang datang adalah kabar gembira dari para malaikat yang menghibur ataukah murka Allah yang tercermin melalui kengerian wajah-wajah malaikat penjemput arwah.
Panggilan ustaz tidak lebih adalah bentuk husnuzon kaum muslimin terhadap seorang dai yang mengajarkan dien kepada umat, dan ini sama sekali tidak menjamin apa-apa ketika Allah telah mengetahui hakikat asli seorang hamba.
Gelar ustaz, kyai, syaikh, qori’ dan yang semisalnya termasuk perkara dunia. Buktinya, gelar seperti itu di akhirat bisa mencelakakan. Ingatkah kita hadis yang menceritakan seorang lelaki yang belajar agama agar disebut ‘alim (orang berilmu) dan qori’ (pakar Al-Qur’an)? Karena Allah tahu niatnya bukan karena Dia, maka Allah melemparkannya ke dalam neraka!
Al-Ghazzali menerangkan yang maknanya bahwa dunia itu adalah “kullu maa laa yash-habuka ba’dal maut” (segala sesuatu yang tidak menemanimu setelah mati). Gelar ustaz, kyai, syaikh, qori’ dan semisalnya tidak menemani seseorang setelah mati. Allah juga tidak peduli dengan gelar itu pada saat menghisab hambanya. Jadi, gelar-gelar semacam itu jelas hal duniawi.
Karena itu termasuk perkara dunia, maka sungguh tidak layak gelar-gelar semacam itu dikejar dan menjadi target saat menuntut ilmu atau menyebarkan dien. Bukan hanya tidak layak, bahkan bisa ditegaskan niat seperti itu benar-benar berbahaya dan akan mencelakakan. Hancur lebur akhirat seorang hamba jika demikian niatnya. Seorang hamba Allah yang benar-benar ikhlas beramal untuk menyenangkan Robbnya tidak pernah ambil pusing dengan gelar-gelar buatan manusia itu. Tidak merasa bangga ketika dipanggil ustaz, dan tidak merasa direndahkan ketika dipanggil namanya langsung. Dia tetap selalu ramah dan tersenyum menjawab semua orang yang memanggilnya. Dia tetap rendah hati nan tawadhu’ sebagaimana Rasulullah yang tetap ramah ketika dipanggil Rasulullah maupun dipanggil Muhammad dan Abu Al-Qosim.
Hamba Allah sejati, yang salih, tidak pernah dihalangi galar-gelar buatan manusia untuk mengatakan kebenaran. Ia bahkan siap “dicampakkan” oleh sebuah komunitas selama dia yakin berbuat karena Allah. Ia tahu, siapapun yang masih terhalangi mengatakan kebenaran karena gelar-gelar itu atau kuatir “dicampakkan” oleh komunitas yang selama ini mengelu-elukannya, maka keikhlasannya dalam berbicara karena Allah masih diragukan. Bahkan bisa jadi hakikatnya secara tidak sadar dia terus menerus berada dalam kebatilan, sementara dia merasa dalam kebenaran akibat “tazyin” Iblis dan setan-setannya.
Seorang dai yang ikhlas akan mencontoh sahabat Nabi yang mulia; Abdullah bin Salam. Beliau adalah mantan ulama Yahudi yang tidak takut mengatakan kebenaran meski resikonya kehilangan penghormatan dan kedudukan di tengah-tengah komunitas lamanya. Sebelum masuk Islam, ketika masih dalam komunitas lamanya beliau dipuji-puji, dielu-elukan, dihormati, diorbitkan dan “diustazkan”. Begitu beliau menyatakan kebenaran dengan menyatakan bahwa Muhammad utusan Allah, tampaklah watak asli Yahudi yang hipokrit, sektarian, pembohong, tukang fitnah, fanatis dan kufur nikmat sehingga dalam sekejap langsung menjelek-jelekkan Abdullah bin Salam.
Memang, kondisi “nyaman” di sebuah komunitas kadang menjadi penghalang terbesar seseorang beramal karena Allah. Kita bisa belajar dari kasus Abu Haritsah, “ustaz” besar Nasrani dari Najran yang dimuliakan imperium Romawi. Perjalanan intelektual, kajian terhadap ajaran agama dan keilmuannya sebenarnya mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang ditunggu-tunggu umat Nasrani yang telah dikabarkan Nabi Isa. Tapi kenyamanan duniawi yang dia nikmati, penghormatan kumunitasnya, harta melimpah yang ia dapatkan, semuanya membuatnya enggan masuk Islam dan menyatakan kebenaran. Nasibnya jelas: mati dalam kekufuran.
Tipe-tipe komunitas Yahudi dan Nasrani di tengah-tengah umat Islam saat ini bisa saja muncul dalam bentuk organisasi, partai, harokah, jamaah, jam’iyyah, lembaga atau semisalnya. Ulama yang ikhlas seharusnya selalu bisa waspada terhadap hal ini. Yang awampun juga bisa bersikap bijak jika melihat persoalan-persoalan yang bersinggungan atau berkaitan dengan gejala-gejala di atas, sehingga tahu siapa yang harus diikuti dan siapa yang harus dibuang perkataannya. Tidak tercela aktif di sebuah organisasi/harokah yang islami. Yang tercela adalah ketika kedudukan dan kenyamanannya di komunitas tersebut menghalanginya mengatakan kebenaran. Jika itu yang sampai terjadi, “al-wail tsumma al-wail”, wana’udzubillahi mindzalika”.
اللهم إنا نسألك العافية في الدنيا والآخرة