Oleh Ust. Muafa
“…Laki-laki itu terkulai lemas. Tubuhnya telanjang terlentang. Bau anyir dan amis darah yang menyeruak di kanan-kirinya membuat perut terasa mual. Tenaganya habis. Tangan dan kakinya tak mampu bergerak karena dibelenggu dan dirantai dengan kuat. Percuma sudah dia berusaha melepaskan diri dan melawan penyiksanya.
Sementara itu, Penyiksanya dengan wajah bengis dan mengerikan memegang senjata semacam gancu dari besi yang bengkok di ujung dan bermata tajam. Lalu tanpa aba-aba dan peringatan Sang Penyiksa menancapkan senjatanya yang berkilat-kilat pada sudut mulut lelaki malang itu tanpa ampun!
Lelaki itu menjerit, meraung, melolong, menangis dan meminta ampun. Darah segar segera mengalir dari mulutnya. Bau anyir dan amis darah kembali menyebar. Bukannya Sang Penyiksa menjadi iba, dia malah semakin ganas dan dengan penuh murka mengoyak mulut lelaki malang itu dan menggergajinya dengan senjatanya sampai tembus ke arah tengkuk! Robeklah mulut lelaki itu, jeritan dan lolongannya semakin keras. Menghiba-hiba mulutnya meminta ampun. Berkelojotan tubuhnya menahan rasa sakit yang amat sangat. Darah segar kembali mengalir lebih deras dari mulutnya bercampur dengan serpihan daging, remukan tulang dan sebagian otak yang hancur terkena gergaji besi. Matanya melotot, rahangnya mengatup rapat, giginya bergemeretak karena rasa sakit yang tak tertahankan itu. tangisannya pilu menyayat hati…
Tapi Sang penyiksa tidak juga berhenti. Dengan ganas dan tanpa rasa kasihan senjata yang sudah merobek-robek sudut mulutnya sampai ke tengkuk itu kali ini dihantamkan sehingga menancap kuat pada hidungnya! Kembali darah segar mengucur. Luka menganga terbentuk dari sela-sela ujung senjata yang lancip itu. Belum sempat rasa sakit pada hidung itu berkurang, Sang Penyiksa dengan membabi buta mengoyak lebih dalam dan menggergajikan senjatanya sampai terbentuk larik luka ke belakang kepala! Semakin perih dirasakan lelaki itu. Karena kali ini daging hidung, daging pipi, dan tulang tengkoraknya bagian tengah yang remuk bercampur dengan darah yang mengalir.
Lalu Sang Penyiksa melanjutkan siksaannya. Seakan belum puas, kali ini senjatanya ditusukkan dengan kuat ke arah matanya. Dengan darah yang masih mengucur dari dua luka yang terbentuk sebelumnya, lelaki itu melolong dan menangis sekuat tenaga dengan menyayat hati. Kini bola matanya hancur. Lalu seakan menumpahkan seluruh amuknya, Sang Penyiksa kembali menggergajikan senjatanya dengan bengis sehingga senjata itu menggoreskan luka yang mengiris tulang matanya, tulang pelipisnya dan tembus sampai tulang kepala bagian belakang! Tak terkira sudah betapa perih, pedih, dan sakit tak terperi yang dirasakan lelaki itu.
Tapi siksaan itu belum selesai. Seakan tidak diberi kesempatan bernapas dan meredakan rasa sakit, Sang Penyiksa ganti berpindah merobek-robek dan menggergaji bagian wajah sebelah kiri. Yang ajaib, begitu senjata Sang penyiksa menyentuh bagian wajah sebelah kiri, maka seluruh luka yang ada disebelah kanan sembuh dalam sekejap tanpa bekas sedikitpun! Lalu, dimulailah adegan penyiksaan maha mengerikan itu pada bagian wajah sebelah kiri, persis seperti yang terjadi pada sebelah kanan!
Begitu terbentuk tiga larik luka pada bagian wajah sebelah kiri, yakni luka menganga pada sudut mulut sampai tengkuk, luka menganga pada hidung sampai belakang kepala, dan mata hancur disertai larik luka bagaikan parit yang menganga sampai kepala bagian belakang, maka Sang Penyiksa berpindah menangani wajah sebelah kanan lagi, dan pada saat itu juga utuhlah luka pada wajah sebelah kiri!
Begitulah seterusnya siksaan itu berlangsung sampai waktu yang belum diketahui lelaki itu.
*
Demikian kira-kira gambaran azab untuk para pendusta yang dikisahkan dalam hadis. Al-Bukhari meriwayatkan kisah Rasulullah yang pada suatu malam diperlihatkan siksaan terhadap para pendusta ini,
…وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الآفَاقَ…
“…Kami (nabi Muhammad dan dua malaikat yang membawanya) pun pergi, lantas kami mendapati seseorang yang terlentang. Di sampingnya ada orang lain yang berdiri sambil membawa semacam gancu yang terbuat dari besi. Lalu ia memegang salah satu sisi wajahnya dan merobek-robek sudut mulutnya hingga ke arah tengkuk. Ia juga merobek-robek hidungnya hingga ke arah tengkuknya, dan juga merobek-robek matanya hingga ke arah tengkuknya” -Kata Auf, terkadang Abu Raja’ menggunakan redaksi; yasyuqqu bukan yusyarsyiru– “kemudian penyiksa itu berpindah ke sisi wajah yang lain dan memperlakukan korbannya sebagaimana ia lakukan pada sisi wajah pertama. Belum selesai ia merobek-robek sisi wajah kedua, maka sisi wajah pertama sudah utuh kembali seperti semula. Setelah itu Penyiksa tersebut melakukan lagi apa yang ia lakukan pertama kali …”
….
“…(malaikat menjelaskan kepada Nabi Muhammad siapa orang yang disiksa tadi, katanya;) Adapun orang yang kamu dapati disiksa dengan dirobek-robek sudut mulutnya hingga tengkuknya, hidung hingga dagunya, dan matanya hingga tengkuknya, itu adalah seseorang yang pergi di pagi hari dari rumahnya, lalu ia berdusta, dan kedustaannya mencapai cakrawala…” (H.R. Al-Bukhari, Juz 23 hlm 227)
*
Dusta adalah akhlak hina. Tidak ada orang yang suka didustai. Seorang istri tidak suka dibohongi suami, seorang suami juga tidak suka dibohongi istri. Rakyat tidak suka pemimpin pembohong, pemimpin juga tidak senang rakyat yang pendusta. Bahkan pendusta sekalipun, dia juga tidak ingin didustai orang lain. Demikian hinanya dusta dan luhurnya kejujuran, sampai-sampai transaksi kemaksiatanpun perlu kejujuran. Buktinya, seorang pelacur akan marah jika pelanggannya membayar kurang dari harga yang disepakati.
Apalagi dalam urusan agama. Pantang seseorang yang menyampaikan wahyu dari Allah memiliki sifat dusta, meski hanya sekali. Sebab jika seorang Rasul pernah berdusta (meski sekali saja) maka manusia akan selalu ragu, apakah yang diklaim berasal dari Allah itu benar-benar dari-Nya atau karangannya sendiri yang diatasnamakan Allah?. Oleh karena itu setiap Nabi dan Rasul pasti memiliki sifat wajib; shiddiq (selalu jujur).
Demikian bencinya Allah dengan sifat dusta ini sampai Allah menyebut bahwa dusta bisa menghalangi hidayah. Tidak perlu berdusta berkali-kali. Orang sengaja berdusta secara sadar tanpa harus menjadi kebiasaannya saja sudah cukup untuk membuatnya terhalangi hidayah.
Demikian berharganya kejujuran dalam dien, sampai Allah memuliakan pemiliknya dengan mimpi yang benar. Rasulullah mengajarkan, umatnya yang paling benar, paling akurat, paling tepat mimpinya adalah yang membiasakan jujur saat tidak tidur. Mafhumnya, yang biasa bohong, mimpinya jangan pernah dipercaya.
Penerus Nabi seharusnya juga tidak boleh memiliki sifat dusta. Karena itu kita bisa menegaskan, aliran apapun yang mengaku Islam, tapi membolehkan berdusta sebagai ajaran resminya dengan alasan untuk kebaikan sampai menjadi akhlak meskipun atas nama kebaikan, maka itu adalah aliran menyimpang yang tidak layak diikuti. Betapapun “wah” cara mereka menyusun argumentasi dan betapapun glamour komunitasnya.
Karena itulah Allah mengancam dengan siksaan mengerikan bagi para pendusta di akhirat, yaitu digergaji mulutnya sampai tengkuk, dirobek hidungnya sampai tengkuk dan dicabik-cabik matanya sampai tengkuk. Wal ‘iyadzu billah.
Sayangnya dusta hari ini seperti dianggap biasa, menjadi bagian lucu-lucuan, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari profesi-profesi tertentu. Di antara profesi yang saya lihat menganggap biasa berdusta adalah Politisi dan Pengacara. Tidak semua begitu memang, tapi bisa kita katakan bahwa mayoritas mereka ada pendusta. Justru seolah sudah menjadi adagium, “Politisi dan pengacara yang terhebat adalah mereka yang paling pintar berdusta”.
2 Comments
Qiqi
Assalamu’alaikum
Ustadz saya ingin bertanya, bagaimana dengan profesi penulis? Apakah penulis yang membuat buku cerita fiksi apakah termasuk pendusta? Apakah dengan menulis “cerita ini hanya fiksi dan karangan belaka” di setiap awal karyanya tidak menghilankan statusnya sebagai pendusta/pembohongan?
Admin
Wa’alaikumussalam warohamtullah.
Dusta yang diharomkan itu adalah yang mengandung unsur iihaam (sengaja menciptakan ilusi dengan maksud “menipu” dan memberi gambaran yang salah terhadap lawan bicara).
Dengan pengertian ini, maka isti’aroh tidak termasuk dusta, karena isti’aroh itu adalah gaya bahasa yang mengandung unsur tasybih (penyerupaan). Jadi ketika kita bilang “Ali asad” (Ali adalah singa), ini bukan dusta tetapi ini isti’aroh, karena penutur memaksudkan menyerupakan Ali dengan singa dari sisi keberanian.
Hal yang mirip adalah karya seperti cerpen dan Novel. Ini karya sastra. Semua orang tahu tulisan itu tidak dimaksudkan menyajikan data dan kejadian untuk menipu masyarakat. Semua novel di awal kalimat pertama ada perkiraan lafaz “takhoyyal” (khayalkan..wahai para pembaca)…jadi ini termasuk insya’, bukan khobar. Karena insya’, maka tidak termasuk dusta, karena tidak ada dusta pada semua redaksi yg berupa insya’ seperti perintah, pertanyaan, pengandaian dan sebagainya. Dusta hanya ada pada redaksi yang berupa khobar.
lagi pula Qur’an dan hadis bisa memberikan perumpamaan dengan kisah, seperti kisah dua lelaki di surat Al-Kahfi, yang satu kaya yang satu
miskin. Ini tidak bisa disebut dusta, karena memang memberikan perumpamaan untuk mendidik pendengar.
Demikian pula perumpamaan yang sering dibuat nabi seperti perumpamaan antara umat islam dengan yahudi dan nasrani yg kata nabi bagaikan seorang majikan yg mempekerjakan beberapa kelompok manusia dg upah yg berbeda-beda. Malah ada kisah malaikat yg bersandiwara untuk menguji si botak, si berpenyakit kulit dan si buta.
Atas dasar ini, boleh hukumnya menjadi penulis cerita fiktif seperti cerpen, cerbung, novel, kisah detektif dll. Hukum menulisnya mubah dan menjadikannya sebagai profesi juga mubah dengan syarat isi ceritanya tidak bertentangan dengan islam. Malah bagus jika isinya mendidik akhlak, menguatkan iman, menginspirasi kebaikan dan semisalnya.
Wallahua’lam.