Oleh Ust. Muafa
Kitab “At-Tahdzib” (التهذيب) adalah kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i yang bisa dipandang sebagai salah satu ensiklopedi fikih lengkap. Makna bahasa “tahdzib” adalah “tanqiyah/tath-hir” (membersihkan). Barangkali pengarang memaksudkan kitabnya sebagai kitab yang berisi inti-inti penting pembahasan fikih yang bersih/bebas dari pembahasan yang tidak perlu. Kitab ini termasuk bisa dihitung kitab “muthowwal” karena uraiannya panjang lebar disertai pembahasan dalil, “ikhtilaf” dan “tarjih”.
Pengarangnya bernama Al-Baghowi (516 H), pengarang Tafsir Al-Baghowi (“Ma’alim At-Tanzil”) yang terkenal itu. Nama lengkapnya Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowi. Julukannya “Muhyi As-Sunnah” (محيي السنة). Konon, saat beliau mengarang kitab yang berjudul “Syarhu As-Sunnah”, beliau bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpi itu Rasulullah bersabda, “Engkau telah menghidupkan sunnahku dengan mensyarah hadis-hadisku”. Karena inilah lalu beliau dijuluki “Muhyi As-Sunnah” (orang yang menghidupkan As-Sunnah). Julukan lain beliau adalah Ibnu Al-Farro’ atau Al-Farro’ karena ayahnya berprofesi sebagai pedagang kulit berbulu. Kesalihan dan kezuhudannya masyhur. Kata Adz-Dzahabi, setiap ceramah agama beliau mesti dalam keadaan suci. Dalam hal keilmuan Al-Baghowi dipandang telah mencapai derajat ijtihad sebagaimana dideskripsikan oleh kebanyak ulama yang menulis biografinya.
Pentingnya kitab ini tampak ketika ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah banyak merujuk pada kitab ini dalam kitab-kitab fikih karangan mereka. Asy-Syaikhon (Ar-Rofi’i dan An-Nawawi) misalnya, ratusan kali menukil “At-Tahdzib” dalam kitab-kitab mereka. Terutama sekali Ar-Rofi’i dalam “Asy-Syarhu Al-Kabir”/”Al-Fathu Al-Aziz”. Penghargaan ini tentu saja wajar karena pengarangnya dikenal bukan hanya ahli fikih tetapi juga ahli hadis dan tafsir.
Kitab ini mengambil rujukan utama dari kitab karya guru pengarang yakni Ta’liqoh Al-Qodhi Husain.
Adapun metode penulisannya, secara ringkas bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, setiap memulai pembahasan bab, Al-Baghowi mengawalinya dengan penjelasan dalil-dalilnya terlebih dahulu, baik dalil dari Al-Qur’an maupun dalil dari hadis. Jika ada kata-kata asing yang perlu penjelasan, maka beliau menjelaskannya.
Kedua, setelah selesai memaparkan dalil, Al-Baghowi melanjutkan dengan memaparkan masalah fikih. Jika ada ikhtilaf seputar persoalan fikih yang dijelaskan, maka beliau akan menjelaskannya. Semua ikhtilaf dijelaskan, baik ikhtilaf di kalangan internal ulama Asy-Syafi’iyyah maupun ikhtilaf di kalangan ulama mazhab yang lain.
Ketiga, melakukan “tafri’at” yakni memerinci pembahasan cabang dari topik fikih yang telah diuraikan. Pada bagian ini Al-Baghowi mensyarahnya dengan syarah yang cukup luas dan komplit.
Keempat, mentarjih, yakni memilih pendapat yang dianggap paling kuat di antara sekian variasi ijtihad mazhab Asy-Syafi’i pada masalah cabang yang disebutkan.
Kelima, memperluas bahasan cabang-cabang persoalan fikih dengan disertai “tahrir” (verifikasi penisbahan kutipan) terhadap riwayat-riwayat yang dinukilnya. Mungkin ini disebabkan karena pengaruh lingkungan Khurasan yang memang dikatakan An-Nawawi memiliki keistimewan dalam hal “tafri’” dan “tabwib” topik-topik fikih.
Keenam, Menyebutkan pendapat “qodim” dan “jadid” Asy-Syafi’i.
Ketujuh, menyebutkan pendapat-pendapat fikih shahabat dan tabi’in (jika ada) pada saat membahas satu topik fikih.
Kedelapan, menyebutkan pendapat mazhab-mazhab yang lain, sehingga kitab ini layak menjadi salah satu rujukan kitab fikih perbandingan.
Dengan deskripsi seperti ini, bisa disimpulkan juga bahwa kitab ini adalah di antara rujukan yang layak dikaji untuk melatih “malakah istinbath”.
Hanya saja, perhatian ulama’ Asy-Syafi’iyyah terhadap kitab ini tidak terlalu besar. Oleh karena itu, bisa dikatakan hampir tidak ada karya yang lahir dari kitab ini. Penyebabnya bisa sejumlah faktor. Dari sisi isi, barangkali oleh karena kitab ini tidak mencerminkan pendapat “mu’tamad” madzhab Asy-Syafi’i, maka minat ulama Asy-Syafi’iyyah agak kendor untuk mempopulerkannya. Di sisi lain, kitab-kitab yang beredar yang bisa menjadi rujukan untuk mengetahui pendapat “mu’tamad” mazhab Asy-Syafi’i mungkin dianggap sudah cukup, sehingga hal ini semakin memperkecil minat untuk mempelajari “At-Tahdzib” karya Al-Baghowi ini. Satu “mukhtashor” yang tercatat meringkas kitab ini adalah karya Al-Husain bin Muhammad Al-Harowi yang berjudul “Lubab At-Tahdzib”.
Sejauh ini, sepertinya penerbit yang mencetaknya baru Dar Kutub Al-Ilmiyyah dalam 8 jilid. Tapi sebagaimana mungkin sudah jadi “langganan”, kualitas tahqiq dan cetakannya memang sering mendapatkan sorotan. Saya pribadi ketika menelaah muqoddimah tahqiqnya menemukan sejumlah kesalahan cetak yang cukup mengganggu. Mudah-mudahan ke depan ada muhaqqiq dan penerbit yang berkenan mentahqiq secara lebih serius lagi.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين