Oleh ust. Muafa
Nama yang diberikan oleh pengarang sendiri sebenarnya hanya satu kata yaitu “Al-Hawi” (الحاوي). Secara bahasa, lafaz “Al-Hawi” bisa dimaknai sebagai “penghimpun”. Barangkali maksud pengarang memberi nama kitabnya dengan kata ini adalah untuk menunjukkan keluasan pembahasannya sehingga sudah meliputi dan mencakup semua pembahasan fikih secara lengkap, komplit dan tuntas. Pemilihan nama ini sebenarnya juga meniru ulama lain yang bernama Ibnu Al-Qodhi yang juga memiliki karangan dengan judul sama . Di masa belakangan, nama “Al-Hawi” ini diberi sifat “Al-Kabir”( yang besar) oleh para ulama karena isinya yang tidak hanya menghimpun ijtihad-ijtihad mazhab Asy-Syafi’i tetapi juga mazhab-mazhab yang lain. Akhirnya nama lengkap kitab ini terkenal dengan sebutan “Al-Hawi Al-Kabir” (الحاوي الكبير).
Pengarangnya bernama Al-Mawardi. Nama lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, seorang qodhi/hakim besar dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah. Lahirnya di Bashroh pada tahun 364 H dan hidup semasa dengan khalifah Al-Qodir Billah dan Al-Qo-im bi Amrillah. Ayahnya seorang penjual air bunga sehingga “laqob” beliau dinisbatkan kepada pekerjaan ini; Al-Mawardi. Kata Al-Mawardi berasal dari kata “ma-ul wardi” (air bunga). Beliau adalah salah seorang tokoh besar fuqoha’ Asy-Syafi’iyyah, juga pengarang terkenal kitab politik bernama “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah”.
Di antara kisah yang menunjukkan rasa takutnya kepada Allah adalah kisah yang dituturkan Tajuddin As-Subki sebagai berikut.
“Al-Mawardi tidak langsung mempublikasikan karangan-karangannya untuk masyarakat umum. Beliau menyembunyikannya terlebih dahulu di suatu tempat. Ketika ajalnya sudah dekat, beliau berpesan kepada orang yang dipercayainya,
“Buku-buku yang terdapat di tempat X semuanya adalah karanganku. Aku belum mempublikasikannya karena aku belum mendapati niat yang bersih. Jika aku sudah berada dalam sakarotul maut, letakkan tanganmu pada tanganku. Nanti kalau aku menggenggam tanganmu dan meremasnya maka ketahuliah bahwa tidak ada satupun karanganku itu yang diterima Allah. Jadi, ambillah semua kitabku itu dan lemparkanlah ke sungai Dijlah/Tigris. Tetapi kalau tanganku membentang dan aku tidak menggenggam tanganmu maka ketahuilah bahwa karya-karyaku itu telah diterima Allah dan aku sudah mendapatkan niat bersih yang aku harapkan.”
Orang kepercayaan Al-Mawardi itu berkata, “Ketika sudah dekat saat wafatnya, aku meletakkan tanganku pada tangan beliau. Ternyata beliau membentangkan tangannya dan tidak menggenggam tanganku. Dari situ aku tahu bahwa amal beliau telah diterima Allah. Karenanya, aku pun mempublikasikan kitab-kitab beliau setelah wafatnya”.
Kitab “Al-Hawi Al-Kabir” adalah syarah “matan” populer dikalangan Asy-Syafi’iyyah yang bernama “Muktashor Al-Muzani”. Kitab ini adalah salah satu dari dua syarah yang paling berpengaruh di kalangan Asy-Syafi’iyyah untuk “Mukhtashor Al-Muzani”. Kita tahu, syarah yang paling tersohor untuk “Mukhtashor Al-Muzani” ada dua, yaitu “Nihayatu Al-Mathlab” karya Imamul Haromain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dan “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi.
Alasan dikarangnya “Al-Hawi Al-Kabir” disebutkan Al-Mawardi dalam muqoddimah kitabnya. Menurut beliau, di zamannya “Mukhtashor Al-Muzani” telah mencapai popularitas yang sangat tinggi sehingga siapapun yang ingin mempelajari mazhab Asy-Syafi’i dengan ringkas dan cepat, tumpuannya mesti kitab itu. Oleh karena itu, demi membantu kaum muslimin yang ingin menguasai mazhab Asy-Syafi’i, Al-Mawardi mengarang kitab “Al-Hawi Al-Kabir” ini. Harapannya, dengan kitab ini para penuntut ilmu sudah tidak perlu lagi mengkaji kitab lain karena isinya dirancang sangat luas, padat dan komplit.
“Al-Hawi Al-Kabir” dihitung sebagai salah satu kitab terpenting mazhab Asy-Syafi’i. Bahkan, kitab ini bukan hanya penting untuk kalangan internal Asy-Syafi’iyyah tetapi juga penting bagi mazhab-mazhab lainnya karena kitab ini menyajikan ikhtilaf berbagai mazhab selain ikhtilaf internal mazhab. Dengan kata lain, “Al-Hawi Al-Kabir” termasuk rujukan penting untuk fikih perbandingan, persis seperti “Al-Mughni” karya Ibnu Qudamah Al-Hanbali. Hanya saja, dalam membandingkan mazhab Al-Mawardi lebih menonjolkan “ikhtilaf” antara Asy-Syafi’i dengan Abu Hanifah.
Sebagai kitab besar, jika dibandingkan dengan “Al-Majmu’” karya An-Nawawi kelebihan “Al-Hawi Al-Kabir” adalah lebih kuat dalam hal elaborasi dalil-dalil ikhtilaf termasuk “wajhul istidlal”nya baik antar mazhab maupun internal mazhab. Hanya saja, jika bicara elaborasi ikhtilaf internal Asy-Syafi’iyyah, tarjihnya dan penjelasan pendapat “mu’tamad”, maka “Al-Majmu’” tetap belum tertandingi.
Dari sisi popularitas, “Al-Hawi Al-Kabir” masih kalah populer dengan “Al-Hawi Ash-Shoghir” karya Najmuddin Al-Qozwini. Jika dalam kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah disebut “Al-Hawi” saja, tanpa penjelasan lebih lanjut maka seringkali yang dimaksud adalah “Al-Hawi Ash-Shoghir” karya Najmuddin Al-Qozwini, yakni mukhtashor dari “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i.
Kitab “Al-Hawi Al-Kabir” dipuji oleh banyak ulama. Di antaranya Al-Isnawi. Ibnu Qodhi Syuhbah menulis,
“Al-Isnawi berkata, tidak pernah dikarang kitab seperti itu” (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah libni Qodhi Syuhbah, juz 1 hlm 231)
Haji Kholifah memujinya dengan mengatakan,
“Al-Hawi Al-Kabir adalah kitab besar yang terdiri dari 10 sepuluh jilid, bahkan ada yang mengatakan 30 jilid. Tidak pernah dikarang dalam mazhab Asy-Syafi’i kitab seperti itu” (Kasyfu Azh-Zhunun, juz 1 hlm 628)
Ibnu Khollikan mengatakan, siapapun yang mengkaji “Al-Hawi Al-Kabir” maka dia akan bersaksi bahwa Al-Mawardi benar-benar menguasai mazhab Asy-Syafi’i. Dalam Wafayatu Al-A’yan disebutkan,
“Al-Mawardi mengarang kitab bernama Al-Hawi. Siapapun yang mengkajinya dia akan bersaksi bahwa pengarangnya memiliki keluasan dan penguasaan sempurna terhadap mazhab Asy-Syafi’i” (Wafayat Al-A’yan, juz 3 hlm 282)
Bahkan, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa kitab “Bahru Al-Madzhab” karya Ar-Ruyani (yang juga merupakan syarah “Mukhtashor Al-Muzani”) esensinya hanyalah mengambil dari “Al-Hawi Al-Kabir” ini.
Adapun sistematika tulisannya, secara ringkas bisa diuraikan sebagai berikut.
Kitab “Al-Hawi Al-Kabir” isinya dibagi-bagi menjadi bab-bab (“kutub”/chapters), kemudian tiap bab dirinci menjadi subbab (“abwab”/sections), tiap “abwab” dirinci lagi menjadi masa-il (subsections), dan tiap masa-il dirinci lagi menjadi “fushul” (subsubsection), lalu kadang-kadang satu “fashl” dirinci lagi menjadi “furu’” (sub subsubsections).
Teks “Mukhtashor Al-Muzani” dijadikan sebagai topik “mas-alah”. Biasanya diawali dengan redaksi “qola al-muzani”, “qola asy-syafi’i”…
Cara Al-Mawardi menukil dari “Mukhtashor Al-Muzani” berbeda-beda. Kadang mengutip lengkap, kadang hanya mengutip dua atau tiga baris, terutama jika teksnya panjang dan mengandung banyak hukum. Untuk menandai bahwa satu “mas-alah” sudah selesai pemnbahasannya, Al-Mawardi menutupnya dengan ungkapan seperti “al-fashl’, “al-bab”, “ila akhiril fashl”, “ila akhiril bab”, “ila akhiri kalamil muzani”, dan sebagainya.
Judul topik yang ditulis oleh Al-Mawardi kadang tidak sama dengan judul topik yang tertulis dalam “Mukhtashor Al-Muzani”. Jika panjang, kadang-kadang Al-Mawardi menyingkatnya dengan ungkapan lain yang semakna. Jadi jangan membayangkan syarah ini sama seperti syarah yang biasa kita kenal yang menukil secara lengkap “matan” yang disyarah tanpa dikurangi sedikitpun.
Setelah satu “mas-alah” dipaparkan, kadang Al-Mawardi mengomentari dengan mengatakan “hadza shohih”, “huwa shohih”, “kama qoola’, “wahuwa kama qoola”. Setelah itu Al-Mawardi menyebut pendapat yang berbeda, yakni pendapat dari mazhab lain. Hanya saja mazhab yang paling sering dinukil adalah mazhab Abu Hanifah. Penukilan mazhab Hanafi ini dilakukan lengkap dengan dalil dan “wajhul istidlal”-nya. Selanjutnya biasanya dipaparkan mazhab Malik dengan cara yang sama disertai ketelitian dalam menukil. Adapun mazhab Ahmad, mazhab Zhohiri dan mazhab-mazhab lainnya tidak terlalu sering dibahas. Mungkin di zaman Al-Mawardi mazhab Ahmad belum terlalu berkembang pesat. Kita tahu, sampai zaman Al-Ghozzali sekalipun, mazhab Ahmad juga masih belum dibahas oleh Al-Ghozzali dalam “Al-Wajiz”-nya.
Ketika mengkritik mazhab lain, biasanya Al-Mawardi memulai dengan ungkapan “wahadza khotho’’, “wahadza fasidun min wajhin’, “wahadza fasidun min wajhain”, dan semisalnya. Membantahnya juga lengkap dengan dalil dan “istidlal”nya. Dalam hal dalil, Al-Mawardi juga bertumpu pada tafsir shahabat, ijtihad shahabat, fatwa-fatwa mereka dan juga fatwa-fatwa “kibarut tabi’in”.
Setiap “mas-alah”/subsection hampir selalu mengandung hadis Nabi atau “atsar” shahabat. Kadang-kadang bertumpu pada hadis dhoif. Hal ini wajar karena Al-Mawardi bukan ahli hadis. Tapi yang seperti ini jumlahnya sedikit. Hanya saja, seringkali lafaz hadis yang dikutip Al-Mawardi tidak sama persis dengan lafaz yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.
Jika ada dua ijtihad Asy-Syafi’i yakni yang “qodim” dan yang “jadid”, maka Al-Mawardi meriwayatkan keduanya lalu mengambil yang “jadid”. Jika yang “qodim” sesuai dengan mazhab Abu Hanifah dan Malik maka beliau menyebutkannya.
Setelah itu disusul dengan pemaparan pendapat mujtahid mazhab Asy-Syafi’i (“aqwalul ash-hab”), terutama pendapat-pendapat Abu Ishaq Al-Marwazi, Ibnu Abi Hurairah, Abu Hamid, Abu Ath-Thoyyib, Ash-Shoimari, Ibnu Al-Wakil, Ibnu Suroij dan lain-lain. Kemudian beliau mentarjihnya. Yang lemah dikomentari dengan kata-kata “wahadza fasid’, “wahadza khotho’”. Jika ada dua “wajh”, maka disebutkan, lalu saat mentarjih dikomentari dengan ungkapan “wahadza asybah’, “wahadza azh-har”, “wahuwal azh-har”, “wahuwa ash-shohih”, ‘al-ashohh ‘indi”, “ashohhul wajhain”, “al-aqyas”. Dalam hal aliran, “Al-Hawi Al-Kabir” bisa dikatakan menjadi representrasi aliran Irak. Bahannya banyak mengambil dari “Ta’liqoh” Abu Hamid Al-Isfaroyini, sang guru besar aliran Irak.
Dengan pemaparan cara Al-Mawardi menulis “Al-Hawi Al-Kabir” di atas, bisa dikatakan bahwa kitab ini termasuk kitab “muthowwalat” yang menjadi ensiklopedi fikih Islam karena keluasan pembahasannya dan kelengkapannya. Cara pembahasannya panjang lebar/”mustafidh” baik secara “ta’shil” maupun “tafri’”. Al-Mawardi mengulas variasi “aqwal” dan “wujuh”, lalu mentarjih untuk menemukan mana pendapat yang “mu’tamad”. Semua dalil-dalil dan istidlal didiskusikan, semua ikhtilaf juga dibahas baik ikhtilaf dikalangan sesama Asy-Syafi’iyyah maupun ikhtilaf dengan “ashabul madzahib” yang lain.
Tulisan Al-mawardi menunjukkan beliau menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab, ilmu isytiqoq, ilmu nahwu, ilmu shorf, syair, dan ushul syari’ah.
Selanjutnya, kitab “Al-Hawi Al-Kabir” ini diringkas sendiri oleh Al-Mawardi menjadi kitab yang bernama “Al-Iqna’” (الإقناع). Kata Yaqut Al-Hamawi dalam “Mu’jamu Al-Udaba’”, Al-Mawardi mengatakan terkait kitabnya ini, “Saya menulis kitab fikih secara panjang lebar sebanyak 4000 waroqoh, lalu kuringkas menjadi 40 waroqoh”. Al-Mawardi memaksudkan kitab fikih panjang lebar adalah “Al-Hawi Al-Kabir” yang kita bahas ini sementara ringkasannya adalah “Al-Iqna’”. Kitab Al-Iqna’ sudah dicetak juga di zaman sekarang.
Dar Al-Fikr di Beirut mencetak “Al-Hawi Al-Kabir” dalam 22 jilid. Tiap jilid ketebalannya rata-rata 500-600 halaman atas jasa tahqiq Dr. Mahmud Mathroji.
Al-Mawardi wafat pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 450 H pada usia 86 tahun.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين