Oleh : Ust. Muafa
As-Sakhowi dalam “Al-Manhal Al-‘Adzb” menyebut nama lengkap kitab ini adalah “Al-Khulashoh Fi Ahaditsi Al-Ahkam”. Adapun menurut penelitian Husain Al-Jamal, nama lengkap yang lebih akurat adalah” Khulashotu Al-Ahkam Fi Muhimmati As-Sunan Wa Qowa’idi Al-Islam” (خلاصة الأحكام في مهمات السنن وقواعد الإسلام).
Kitab ini tergolong kitab hadis, lebih tepatnya kitab hadis “ahkam”, yakni kitab hadis yang khusus hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Jadi, kitab ini bisa dikatakan “sejenis” dengan kitab “Bulughul Marom” karya Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (wafat 852 H) atau “Muntaqo Al-Akhbar” karya Abu Al-Barokat Ibnu Taimiyyah Al-Jadd (wafat 653 H). Lebih dari itu, kitab ini juga bisa dijadikan sebagai salah satu sumber “takhrij” hadis-hadis “ahkam” karena banyak dipakai rujukan oleh ulama-ulama hadis sesudah masa An-Nawawi.
Mayoritas hadis-hadis hukum yang dipakai para fuqoha’ sebagai dasar “istinbath” fikih telah dikumpulkan An-Nawawi dalam hadis ini. Sesekali An-Nawawi mengomentari terkait penekanan hukum yang dianggap beliau perlu. Misalnya pada saat beliau menerangkan “dhoif”nya hadis yang dijadikan dasar untuk menetapkan bahwa dalam salat ied harus ada dua khutbah, bukan satu khutbah. An-Nawawi menegaskan semua hadis yang dijadikan dasar itu “dhoif”. Yang benar, dalam mazhab Asy-Syafi’i setelah salat ied disyariatkan khutbah dua kali bukan karena ada hadis sahih/hasan tertentu yang menjadi dasar, tetapi karena diqiyaskan pada khutbah Jumat.
Kitab “Khulashoh Al-Ahkam” fokus pada hadis-hadis hukum yang diambil dari kitab-kitab hadis terotorisasi seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa-i, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Daroquthni, Sunan Al-Baihaqi, Mustadrok Al-Hakim, dan lain-lain. Hanya saja hadis-hadis hukum yang dikumpulkan An-Nawawi tidak lengkap. Beliau hanya sampai bab zakat saja. Barangkali usia An-Nawawi yang pendek (wafat dalam usia 45 th) yang membuat kitab ini tidak selesai.
Adapun motivasi An-Nawawi menulis kitab ini, semuanya diterangkan dalam muqoddimah. Beliau menerangkan bahwa ditulisnya kitab “Khulashotu Al-Ahkam” adalah didasarkan pada pemahaman bahwa kaum muslimin wajib berqudwah kepada Rasulullah ﷺ dalam hal hukum dan adab. Juga demi melaksanakan perintah kembali kepada Rasulullah ﷺ jika terjadi “tanazu’” (perselisihan) yang hanya mungkin ditasfirkan kembali pada sunnah Rasul setelah beliau wafat. Juga demi menjaga diri agar tidak sampai terjatuh pada perkara yang diada-adakan yang tidak ada dasarnya dalam dien. Juga demi menjaga kaum muslimin agar hanya bertumpu pada hadis-hadis sahih saja dan selamat dari hadis-hadis dhoif, meskipun yang mengamalkannya banyak, bahkan meskipun disebutkan dalam kitab-kitab fikih besar. Juga untuk memberi pemahaman bahwa kebolehan beramal dengan hadis “dhoif” pada “fadhoil amal” itu tidak bersifat mutlak tapi bersifat “muqoyyad”. Sebelum menulis kitab ini, An-Nawawi telah mengawalinya dengan beristikharah.
Kitab “Khulashotu Al-Ahkam” ini dipuji sejumlah ulama. Ibnu Al-Mulaqqin mengatakan, “Seandainya saja An-Nawawi menyelesaikan kitab ini, maka akan menjadi kitab yang tiada taranya. Al-Lakhmi berkata, “Tidak ada ahli hadis yang tidak membutuhkannya, apalagi seorang ahli fikih.”
Perhatian ulama terhadap kitab ini juga cukup tinggi dengan bukti kitab ini dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam hal “takhrij”. Di antara yang banyak merujuk adalah Ibnu Hajar Al-‘Asqolani terutama dalam “At-Talkhish Al-Habir” dan “Fathu Al-Bari”. Juga Az-Zaila’i dalam “Nashbu Ar-Royah”. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa An-Nawawi juga seorang ahli hadis yang diakui.
Adapun metode penulisannya, prinsip pentingnya adalah An-Nawawi hanya mengumpulkan hadis-hadis hukum. Jadi hadis-hadis yang terkait akidah, sirah, akhlak, zuhud dan semisalnya tidak ditulis.
Dari sisi kualitas hadis, An-Nawawi hanya memasukkan hadis sahih dan hadis hasan saja. Hal ini penting, karena sudah diketahui dalam ilmu fikih sebuah ketentuan yang menyatakan bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadis “dhoif” dalam perkara halal-haram (hukum). Hadis “dhoif” dikumpulkan An-Nawawi tecara terpisah dan disendirikan di akhir tiap bab (section). Tujuan An-Nawawi menulis hadis-hadis “dho’if” dalam kitab ini adalah agar diwaspadai dan diketahui sebagai hadis yang tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara hukum. Mengumpulkan hadis-hadis “dhoif” dalam “section” tersendiri seperti ini adalah kreatifitas An-Nawawi yang nampaknya belum pernah dilakukan oleh ahli-ahli hadis yang lain yang mengumpulkan hadis-hadis “ahkam”.
Adapun terkait “mukhorrij” hadis, jika hadis yang ditulis An-Nawawi tercantum dalam shahih Al-Bukahri dan shahih Muslim maka beliau cukup menyebutnya “muttafaqun ‘alaih”, atau “rowahu al-bukhari”, “rowahu muslim” dan yang semakna dengan itu. Jika ada perbedaan lafaz antara riwayat Al-Bukhari dan Muslim maka dipilih salah satu lalu diterangkan dari mana diambil, misanya ditulis “wa lafzhuhu li muslim”. Jika ada “mukhorrij” lain selain Asy-syaikhan, mereka juga disebutkan. Jika An-Nawawi mengatakan “rowahu ats-tsalatsah” maka itu bermakna diriwayatkan Abu Dawud, At-Timidzi dan An-Nasai.
An-Nawawi kadang-kadang juga melakukan “jarh” dan “ta’dil” pada riwayat-riwayat tertentu, terutama terhadap perawi hadis yang menjadi posisi kunci dalam hadis tersebut.
Hadis-hadis yang dikumpulkan An-Nawawi dikelompokkan dalam sistem penggolongan “kutub” (chapters) dan “abwab” (sections). Secara keseluruhan, isi kitab ini terdiri dari sekitar lebih dari 20 “kutub” (chapters) dan 300 “abwab” (sections).
Manuskrip kitab ini bisa ditemukan di antaranya di Al-Maktabah As-Sa’idiyyah di Hyderabad; India, Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah, dll.
Mu-assasah Ar-Risalah menerbitkan kitab “Khulashotu Al-Ahkam” dalam dua jilid setebal 1099 hlm atas jasa “tahqiq” Husain Isma’il Al-Jamal.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين