Oleh : Ust. Muafa
Dusta diharamkan dalam Islam, bahkan termasuk dosa besar. Ngerinya azab bagi para pendusta telah pernah saya tulis dalam artikel berjudul “Azab Untuk Pendusta” dalam situs IRTAQI.
Menjadi pertanyaan sekarang, “kalau begitu, bagaimana hukum menjadi penulis cerita fiksi seperti novel, roman, cerpen, cerbung, fabel, naskah skenario drama dan semisalnya? Apakah termasuk dusta yang diharamkan dalam Islam? Bagaimana pula hukum memakan uang yang dihasilkan dari lomba menulis cerita fiksi atau bahkan profesi penulis cerita fiksi itu?”
Definisi dusta/bohong adalah “memberi informasi yang tidak sesuai dengan realita”. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith dusta didefinisikan,
“Memberitahu tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan realita” (Al-Mu’jam Al-Wasith, juz 2 hlm 780)
Jadi, jika ada seorang lelaki yang bertanya kepada seorang wanita,
“Maukah engkau menikah denganku?”
Kemudian wanita menjawab,
“tidak”
Padahal hati wanita itu sesungguhnya bersedia, maka wanita tersebut dikatakan berdusta karena memberi informasi yang tidak sesuai dengan realitanya.
Contoh lain untuk menggambarkan definisi dusta misalnya ada seorang lelaki bertanya melewati pesan teks kepada kawannya,
“Di mana engkau? Sudah lama kita tunggu di gedung X”
Lantas temannya menjawab,
“masih otw (on the way/sedang di jalan)”
Padahal kenyataannya dia baru bangun tidur. Ini termasuk dusta karena memberitahu yang tidak sesuai dengan realita.
Hanya saja dalam dusta disyaratkan harus ada unsur “iham” (الإيهام) yakni “menciptakan persepsi keliru”. Selama sebuah pernyataan tidak ada unsur “iham” maka tidak bisa disebut dusta.
Dengan demikian “isti’aroh” (bahasa metaforis) tidak bisa digolongkan dalam dusta. Misalnya ada orang yang mengatakan,
“Umar adalah singa.”
Dalam bahasa Arab, ungkapan ini bukan untuk memberitahu bahwa seorang laki-laki yang bernama Umar itu adalah seekor hewan buas bercakar tajam dan bertaring runcing yang bernama singa, tetapi untuk memberitahukan bahwa Umar ini memiliki keberanian yang membuat ditakuti oleh lawan sebagaimana singa. Nah, bahasa semacam ini adalah bahasa metaforis yang disebut dengan istilah “isti’aroh”. Kalimat seperti itu tidak digolongkan dusta karena tidak ada unsur “iham”. Orang tetap tahu bahwa Umar adalah manusia dan bukan singa. Tidak ada manusia sehat akalnya yang membayangkan bahwa Umar adalah hewan singa.
Hal ini berbeda dengan orang berusia 35 tahun lalu ketika ditanya mengaku 25 tahun. Ini tergolong dusta, karena mengandung unsur “iham”. Orang yang mendengar kalimatnya yang mengaku berusia 25 tahun mempersepsikan secara salah bahwa dia memang berusia 25 tahun.
Syarat “iham” sebagai penentu definisi dusta ini disebutkan oleh sejumlah fuqoha’, di antaranya Zakariyya Al-Anshori. Beliau berkata,
“Orang yang berdusta menciptakan persepsi salah bahwa dusta adalah kebenaran” (Asna Al-Matholib, juz 22 hl, 424)
Al-Mu’allimi menegaskan, jika “iham” ini hilang maka hilanglah status dusta. Beliau berkata,
“Saat lenyap ‘iham’ maka lenyap pula kedustaan” (At-Tankil, juz 1 hlm 312)
Karena itulah, pada kasus “isti’aroh” tidak bisa disebut dusta karena tidak ada unsur “iham”. Setiap kalimat yang sengaja memakai gaya bahasa “isti’aroh”, pasti memaksudkan agar pendengarnya menakwilkan kalimat yang disajikannya dengan takwil yang sesuai. Penutur tidak pernah memaksudkan makna bahasa, tetapi makna majasilah yang dituju. Bahkan, agar lebih lengkap, penutur yang menggunakan gaya bahasa “isti’aroh” selalu menyisipkan “qorinah mani’ah” (indikasi yang mencegah) untuk dimaknai secara harfiah.
Kriteria “iham” inilah yang paling menentukan untuk membedakan mana yang digolongkan dusta dan mana yang tidak. Dalam berbagai disiplin ilmu, kriteria ini yang selalu dijadikan sorotan oleh para ulama dalam mengidentifikasi mana yang dusta dan mana yang tidak, seperti saat membahas “isti’aroh” dalam ilmu “bayan”, saat membahas “tadlis” dalam ilmu hadis, saat membahas “qodzaf” dalam ilmu fikih dan lain-lain.
Dengan pengertian dan batasan dusta seperti ini, kita bisa mendudukkan bagaimana hukum menulis cerita fiksi itu.
Cerita fiksi seperti cerpen, roman, novel dan semisalnya tergolong karya sastra. Semua orang tahu tulisan dalam cerita fiksi itu tidak dimaksudkan menyajikan data dan kejadian untuk menipu masyarakat. Semua orang yang membaca fiksi juga tahu jika semua kejadian dan kisah yang ada di dalamnya hanyalah khayalan dan tidak dimaksudkan untuk dipercayai keberadaannya. Jadi dari sisi ini sebenarnya cukup jelas bahwa menulis cerita fiksi tidak tercakup dalam definisi dusta karena tidak mengandung unsur “iham”.
Lagipula, semua cerita fiksi itu pada awal kalimat pertama ada perkiraan lafaz “takhoyyal” (khayalkan..wahai para pembaca). Dalam ilmu “balaghoh”, kata perintah termasuk termasuk insya’, bukan khobar. Redaksi “insya’” tidak pernah mengandung kedustaan. Hanya redaksi “khobar” saja yang memungkinkan dihukumi dusta atau jujur. Dari sisi ini pula, menulis cerita fiksi tidak tergolong dalam kedustaan.
Lagi pula, Al-Qur’an dan hadis banyak memberikan perumpamaan dengan kisah. Dinamakan perumpamaan berarti hanya dibayangkan alias dikhayalkan, tidak ada dalam realita. Seperti kisah dua malaikat yang menyamar kepada nabi Dawud lalu menguji kemampuan mengadili beliau dengan kasus rekaan. Juga perumpamaan pohon yang bagus itu akarnya kokoh di bumi dan dahannya menjulang di langit, dan banyak perumpamaan yang lainnya. Perumpamaan-perumpamaan seperti ini tidak bisa disebut dusta, karena memang memberikan perumpamaan untuk mendidik pendengar.
Demikian pula perumpamaan yang sering dibuat Nabi seperti perumpamaan antara umat Islam dengan Yahudi dan Nasrani yang kata Nabi ﷺ bagaikan seorang majikan yang mempekerjakan beberapa kelompok manusia dengan upah yang berbeda-beda. Malahan dalam hadis Nabi ﷺ ada kisah malaikat yang bersandiwara untuk menguji Si Botak (Al-Aqro’), Si Kusta (Al-Abrosh) dan Si Buta (Al-A’ma).
Lagipula siapa yang mempelajari syair jahiliyyah dan syair di masa Islam akan tahu bahwa syair-syair di zaman itu umumnya diawali dengan muqoddimah khayalan. Contohnya seperti syair populer Ka’ab bin Zuhair yang memuji Rasulullah ﷺ. Awal dari syair ini berbunyi,
“Su’ad ‘tlah pergi, pikiranku serasa stres di hari ini”
Su’ad adalah nama wanita khayalan yang dibayangkan Ka’ab bin Zuhair menjadi kekasihnya lalu berpisah dengannya. Syair ini dibacakan di hadapan Nabi ﷺ dan tidak ada pengingkaran apapun baik dari Nabi ﷺ maupun para shahabat.
Lagipula, Rasulullah ﷺ membolehkan mendengar kisah Bani Israil yang dikenal memiliki banyak kisah ajaib, asalkan dengan maksud furjah (hiburan) bukan untuk berhujjah.
Semua argumentasi ini menunjukkan bahwa menulis cerita fiksi itu tidak termasuk kedustaan karena tidak termasuk definisi dusta, tergolong sighat insya’, dicontohkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kisah-kisah perumpamaan, ada taqrir Nabi ﷺ pada syair Ka’ab bin Zuhair,dan juga senafas dengan izin Nabi mendengarkan kisah Bani Israil yang mengandung banyak cerita ajaib.
Oleh karena itulah, wajar ketika ada seorang sastrawan terkenal di masa lalu bernama Badi’uzzaman Al-Hamadzani yang membuat karya semacam kisah fiksi yang dikenal dengan nama “Al-maqomat”, dan ternyata tidak ada ulama yang memprotesnya. Demikian pula sikap para ulama ketika Ibnu Al-Muqoffa’ mengarang buku fabel berjudul “Kalilah wa Dimnah”.
Di antara ulama zaman sekarang yang mengharamkan menulis cerita fiksi adalah para ulama yang tergabung dalam “Al-Lajnah Ad-Da-imah” sebagaimana termaktub pada sebagian fatwanya terkait isu ini.
Di antara yang memubahkan menulis cerita fiksi adalah Ibnu Utsaimin dan Muhammad Al-Hasan Al-Dido.
Atas dasar ini, boleh hukumnya menjadi penulis cerita fiktif seperti cerpen, cerbung, novel, kisah detektif dan lain-lain tanpa membedakan apakah ditujukan untuk anak-anak ataukah orang dewasa, juga tidak membedakan apakah tujuan pendidikan, kritik sosial, penyadaran sebuah ketimpangan/penyimpangan/keganjilan, atau sekedar hiburan. Hukum menulisnya mubah dan menjadikannya sebagai profesi juga mubah dengan syarat isi ceritanya tidak bertentangan dengan islam. Malah bagus jika isinya mendidik akhlak, menguatkan iman, menginspirasi kebaikan dan semisalnya. Wallahua’lam.
2 Comments
Hikineet
Intinya Boleh Tapi Kita Harus Menulis Bahwa Itu Fiksi ya
Admin
benar