Oleh : Ust. Muafa
Kata Mujahid, kalau mau dapat ilmu, hilangkan dua sifat buruk: malu dan sombong. Al-Bukhari meriwayatkan secara “mu’allaq” dalam shahihnya,
“Mujahid berkata, orang yang malu tidak akan (bisa) mendapatkan ilmu, demikian juga orang sombong” (H.R.Al-Bukhari, juz 1 hlm 220)
Maksud malu di sini adalah rasa malu yang menghalangi seseorang untuk bertanya ilmu tertentu yang dibutuhkan, bukan malu secara mutlak.
Sifat malu dipuji dalam Islam, malahan kata Nabi ﷺ malu itu adalah cabang, bagian dan ekspresi dari iman.
Hanya saja, ternyata ada rasa malu yang salah. Rasa malu yang salah adalah ketika rasa malu itu menghalanginya untuk mencari ilmu, membuatnya awet dalam kebodohan, dan tersaruk-saruk dalam kejahilan.
Akhlak yang benar adalah, hilangkan rasa malu demi mencari ilmu. Seperti wanita Anshar yang tidak malu bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hukum wanita yang mimpi bersetubuh, atau wanita Anshar yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang cara membersihkan kemaluan pada saat mandi junub.
Kadang-kadang manusia memang dihalangi rasa malu untuk bertanya hukum agama atau mencari ilmu.
Malu nanti dianggap sebagai orang bodoh.
Malu kalau dianggap bertanya soal remeh.
Malu duduk di majelis pengajian karena sudah tua.
Malu karena menganggap sesuatu yang memalukan bicara urusan seks.
Malu duduk di majelis pengajian karena bersama orang-orang rendahan.
Dan lain-lain.
Demikian pula sombong.
Sombong itu menghalangi ilmu, membuat orang lestari dalam kebodohan, dan membuatnya tertipu, merasa hebat dan pintar padahal bodoh tidak ketulungan.
Munculnya kesombongan ini bisa disebabkan berbagai faktor.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa memiliki gelar akademis tinggi, sehingga meremehkan dai yang dianggapnya bodoh karena tidak pernah menempuh pendidikan formal.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa berada di dalam jamaah/afiliasi “yang paling benar”, sehingga sikapnya meremehkan dan memicingkan sebelah mata terhadap ulama di luar kelompoknya, padahal hati kecilnya mengakui ada banyak ilmu bermanfaat yang bisa digali dari orang yang diremehkannya.
Sombong bisa menjangkit orang yang sudah kadung di”ustaz”kan, di”buya”kan, di”kyai”kan, di”syaikh”kan, atau di”gus”kan. Akibatnya, merasa gengsi untuk belajar lagi. Apalagi duduk bersama orang lain di majelis tertentu padahal hati kecilnya tahu bahwa dirinya bodoh dalam ilmu tertentu. Hanya saja karena kebiasaannya adalah didengarkan ucapannya, bukan mendengarkan, maka gengsi ini membuatnya jadi terhalang dari ilmu yang bermanfaat.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa lebih tua dan senior. Merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan. Merasa lebih kenyang dengan pengalaman. Akibatnya, apapun yang dikatakan oleh ulama yang dianggapnya masih “hijau” akan selalu diremehkan.
Sombong bisa menjangkiti orang populer. Dia merasa punya fans/liker/follower yang banyak sehingga dia merasa paling pintar. Akibatnya jika ada nasihat/masukan dari ulama yang tidak populer maka dia meremehkan dan memandang sebelah mata.
Sombong bisa menjangkiti siapapun. Kita semua bisa terkena tiupannya. Oleh karena itu, marilah berlindung dari malu yang tidak benar, dan sombong yang diharamkan.
Semoga Allah merahmati Abu Hanifah.
Beliau pernah ditanya, apa rahasianya sehingga beliau memiliki ilmu yang demikian hebat, luas dan mendalam? Ternyata jawaban beliau adalah, “Saya tidak merasa kikir untuk “ifadah” (berbagi ilmu) dan tidak pernah gengsi untuk “istifadah” (menimba ilmu). Al-‘Aini menulis,
“Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu ditanya, ‘Dengan cara apa engkau mendapatkan ilmu yang hebat?’. Beliau menjawab, ‘Saya tidak merasa kikir untuk ifadah (berbagi ilmu) dan tidak pernah gengsi untuk menimba ilmu (istifadah)” (‘Umdatu Al-Qori, juz 2 hlm 210)
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه