Oleh : Ust. Muafa
Kitab “Riyadhu Ash-Solihin” adalah di antara kitab karya An-Nawawi yang paling populer. Nama lengkapnya, “Riyadhu Ash-Sholihin Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin”(رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين). Lafaz “riyadh” adalah bentuk jamak dari kata “roudhoh’ yang bermakna taman. “Sayyidu al-mursalin” bermakna pemimpin para rasul, yang dalam hal ini dimaksudkan Nabi Muhammad ﷺ karena beliau memang menjadi penghulu para utusan. Jadi makna bebas “Riyadhu Ash-Sholihin Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin” adalah taman orang-orang salih yang dipetik dari sabda pemimpin para rasul, yakni Nabi Muhammad ﷺ. Tasybih (penyerupaan) hadis Nabi dengan taman barangkali didasarkan pada riwayat yang mengkatakan bahwa majelis ilmu yang membahas dien disebut Rasulullah ﷺ sebagai “riyadhul jannah” (taman-taman surga).
Kitab ini ditulis An-Nawawi saat usia beliau kira-kira menjelang 40 tahun dan selesai pada hari Senin tanggal 4 Ramadhan tahun 670 H di Damaskus.
Kitab ini sangat populer bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ribuan masjid mengkajinya, ribuan lembaga pendidikan menjadikannya sebagai kitab wajib, dan jutaan rumah mengoleksinya. Memang, setiap rumah sudah sepantasnya memiliki kitab ini untuk kebaikan dien mereka.
Adz-Dzahabi merekomendasikan kitab ini bersama dengan Al-Qur’an, shahih Bukhari dan Sunan An-Nasai. Beliau menulis,
“Engkau wahai saudaraku, renungilah Kitabullah dan terus-meneruslah mengkaji Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasai, Riyadhu Ash-Sholihin, dan Al-Adzkar. Niscaya engkau akan beruntung dan berhasil ” (Siyaru A’lami An-Nubala’, juz 1, hlm 89)
Adapun isinya, kitab “Riyadhu Ash-Sholihin” memuat hadis-hadis yang mengandung soal akidah, ibadah dan kehidupan sehari-hari. Jika dilihat dari muqoddimah yang ditulis oleh An-Nawawi, tujuan penulisan buku ini adalah untuk menuntun kaum muslimin agar bisa beribadah dengan baik dan zuhud terhadap dunia dengan cara bertaaddub (mengusahakan untuk memiliki “good manners”) dengan adab-adab yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Dengan begitu, seorang hamba beriman akan memiliki pelita pada saat berjalan menuju akhirat dan menggiring pembacanya untuk berbuat kebaikan dan mencegah mereka berbuat keburukan dan hal-hal yang bisa membinasakan. Karena itulah, isi hadis-hadis yang disajikan An-Nawawi adalah hadis-hadis yang menguatkan iman kepada Allah, menguatkan hubungan dengan Allah, menguatkan ikhlash dalam ibadah, menanamkan rasa cinta pada Nabi, menanamkan rasa hormat pada Nabi, menanamkan semangat berteladan kepada beliau, menanamkan semangat berpegang teguh dengan sunnahnya, menyucikan jiwa dan membenahinya, membersihkan hati dan mengobatinya, dan menjaga anggota badan dari maksiat dan meluruskannya. Bisa dikatakan kitab ini menghimpun adab lahir dan adab batin, menghimpun targhib dan tarhib.
Kitab ini berisi hampir 2000 hadis yang dikelompokkan dalam bab-bab dan subbab-subbab tertentu. Sanadnya dibuang dan secara umum disisakan perawi shahabat saja. Hadis-hadisnya dipetik An-Nawawi dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasai, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah dan sejumlah kitab hadis yang lain.
An-Nawawi menggolongkan topik-topik kitab ini menjadi 17 bab/“chapters”, dan 372 subbab. Secara tidak sengaja, jumlah bab kitab ini hampir sama dengan jumlah hari dalam setahun. Artinya, jika dalam sehari dibahas satu bab, maka setahun insya Allah semuanya khatam. Ijtihad singkat An-Nawawi dalam memahami dalil dan hadis dalam kitab ini tercermin dari pemilihan kalimat saat membuat judul-judul bab atau subbab.
Semua hadisnya sahih, kecuali sedikit sekali yang statusnya diperselisihkan. An-Nawawi sendiri menegaskan dalam muqoddimah bahwa beliau memetik hadis-hadis yang ditulisnya dari riwayat-riwayat sahih dan hanya menukil hadis sahih saja. Hanya saja istilah sahih yang dipakai An-Nawawi adalah istilah ahli hadis generasi awal yang bermakna hadis kuat yang mencakup hadis sahih dan hasan. Ini berbeda dengan istilah Al-Bukhori yang diikuti At-Tirmidzi yang membedakan hadis sahih dengan hadis hasan.
Hanya saja klaim sahih ini tidak semua disetujui. Di antara ulama yang mengkritisi sebagian hadis-hadis An-Nawawi dan menilai di dalamnya ada hadis dhoif dan munkar adalah Nashiruddin Al-Albani. Dalam cetakan Al-Maktab Al-Islami, Al-Albani menyebut ada 40 hadis yang “bermasalah” dalam penilaian beliau. Dalam hal ini Al-Albani tidak sendiri. Syu’aib Al-Arnauth juga berpendapat senada. Dalam hitungan beliau angkanya malah mencapai 46 hadis “bermasalah”.
Diduga yang meyebabkan An-Nawawi memasukkan hadis-hadis yang dianggap “bermasalah” tersebut dalam kitab ini adalah karena beliau bertumpu pada penilaian tashih dan tahsin At-Tirmidzi, dan diamnya Abu Dawud sebagaimana beliau nyatakan dalam muqoddimah kitab Al-Adzkar. Jadi, An-Nawawi tidak selalu melalukan penelitian terfokus untuk benar-benar melakukan tahqiq kualitasnya. Sikap semacam ini kebanyakan juga diambil oleh mayoritas fuqoha’ mutaakhirin. Jarang ada fuqoha sekaligus ahli hadis yang benar-benar meneliti hadis-perhadis sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar Al-‘Asqolani. Bisa juga sebabnya adalah karena An-Nawawi memang sengaja melakukan “ighfal” (pengabaian) penelitian kualitas hadis sebagaimana beliau isyaratkan dalam muqoddimah Al-Adzkar. Entah mengapa beliau melakukan “ighfal” ini. Barangkali sebabnya karena beliau belum mendapati ulama hadis yang menjelaskan kualitasnya sementara waktu yang beliau miliki belum memungkinkan untuk meneliti serius hadis-hadis tersebut.
Al-Albani juga mengkritik klaim An-Nawawi pada sejumlah hadis yang disebut An-Nawawi memiliki sejumlah sanad, sementara faktanya sebenarnya hanya satu sanad dan hanya mencabang menjadi banyak melalui satu perowi tertentu saja. Kritikan seperti ini bukan Al-Albani yang mengawali, tetapi sudah pernah dilakukan oleh ulama yang semazhab dengan An-Nawawi yaitu Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, sebagaimana yang beliau tulis dalam kitab “Nata-ij Al-Afkar” yang mentakhrij kitab “Al-Adzkar”. Jadi, dengan perspektif husnuzhon, jika An-Nawawi mentakhrij sebuah hadis dengan kata-kata bahwa hadis tersebut diriwayatkan dengan banyak sanad, maka hal itu bisa dipahami sebagai istilah khusus beliau, yakni beliau memaksudkan hadisnya masyhur secara relatif, yakni populer dimulai dari perawi tertentu.
Al-Albani juga meluruskan sejumlah waham lafaz hadis yang ada dalam “Riyadhu Ash-Sholihin” yang “maqlub” (terbalik) atau hilang karena memang tidak sesuai dengan lafaz yang terdapat dalam ummahat kutub hadis.
Catatan lain Al-Albani, ketika An-Nawawi menisbatkan hadis ke Bukhari yang “mu’allaq”, seharusnya An-Nawawi tidak menisbatkannya tanpa keterangan sehingga bisa disangka itu riwayat yang disepakati kesahihannya. Seharusnya An-Nawawi menyebutkan itu “mu’allaq”, karena riwayat-riwayat “mu’allaq” Al-Bukhari bukan riwayat yang disepakati kesahihannya secara mutlak.
Adapun riwayat-riwayat dalam “Riyadh Ash-Sholihin”, maka mayoritas adalah hadis- hadis Nabi ﷺ. Sedikit saja yang merupakan ucapan dan perbuatan shahabat.
Tiap topik diawali An-Nawawi dengan menulis ayat-ayat Al-Quran yang relevan dan berhubungan dengan topik tersebut. Hal ini wajar karena memang secara prinsip, hadis Nabi ﷺ adalah penjelas Al-Qur’an. Jika ada kata yang perlu “dhobth” maka An-Nawawi menjelaskannya. Jika ada kata yang perlu syarah makna maka An-Nawawi juga menjelaskannya. Setelah itu An-Nawawi menulis hadis-hadis yang terkait dengan topik pada judul bab/subbab. Metode penulisan seperti ini, yakni mengawali pembahasan topik judul bab dengan Al-Qur’an disusul Al-Hadis adalah metode Al-Bukhari. Bisa dikatakan An-Nawawi meniru Al-Bukhori dalam metode penulisan “Riyadhu Ash-Sholihin”.
Sejumlah ulama telah memberikan perhatian terhadap kitab ini dengan menyusun syarah. Di antara syarah yang terkenal adalah syarah Ibnu ‘Allan (w.1057 H) yang bernama “Dalilu Al-Falihin li Thuruqi Riyadhi Ash-Sholihin”. Syarah ini cukup bagus dan cukup padat penjelasannya. Kekurangannya, dalam menukil lafaz hadis kadang lafaznya tidak akurat/persis seperti yang tercantum dalam kitab-kitab hadis. Ada kesan Ibnu ‘Allan kurang meneliti akurasi lafaz hadis sebagaimana ditunjukkan Al-Albani saat menulis muqoddimah Riyadhu Ash-Sholihin yang mana Ibnu ‘Allan tidak mengetahui ada lafaz “maqlub” dalam matan “Riyadh Ash-Sholihin” dan mensyarah secara keliru berdasarkan lafaz “maqlub” tadi.
Syarah lain untuk kitab ini adalah “Tathriz Riyadh Ash-Sholihin” karya Faishol Al-Mubarok (w.1376 H). Hanya saja syarah ini sifatnya singkat, tidak sedalam dan seluas kitab “Dalilu Al-Falihin”.
Syarah lain untuk kitab ini adalah “Nuzhatu Al-Muttaqin” karya Mushthofa Al-Khin dkk, “Bahjatu An-Nazhirin” karya Al-Hilali, “Roudhotu Al-Muttaqin” karya Abdul Qodir Hassunah, “Al-Fathu Al-Mubin” karya Thoha Abdur Rouf , “Rouh Wa Royahin” karya Abdul Hadi Al-Bustani, “Al-Fawa-id Al-Mutro’ah Al-Hiyadh” karya Ibnu Kamal Basya, “Ithafu Al-Muhibbin bi Tartibi Riyadhu Ash-Sholihin” karya Muhammad Nu’aim Sa’i, syarah Ibnu Al-Utsaimin, dan “Kunuzi Riyadhi Ash-Shilihin” karya Hamd Al-‘Ammar dkk. Yang terakhir ini adalah syarah yang paling luas karena mencapai 22 jilid.
Banyak yang menerbitkan kitab ini seperti cetakan pribadi Ridhwan Muhammad Ridhwan, Al-Miriyyah, Dar Al-Kutub Azh-Zhohiriyyah, Dar Ar-Royyan, Dar Al-Ma’mun, Dar Ibni Katsir atas jasa tahqiq Mahir Yasil Al-Fahl, Al-Maktab Al-Islami atas jasa takhrij Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Mu-assasah Ar-Risalah mencetak kitab ini atas jasa tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dengan ketebalan 541 halaman.
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين