Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Suatu saat, saya sempat terkagum-kagum dengan tulisan Nawawi Al-Jawi yang mendefinisikan kesalihan. Saya agak lupa di kitab apa dulu pernah membacanya. Entah di kitab “Nasho-ih Al-‘Ibad”, “Nihayatu Az-Zain” atau di kitab yang lainnya. Yang jelas, waktu itu saya sangat terkesan dengan penjelasan beliau yang mendefinisikan kesalihan secara sederhana dengan bahasa yang sangat mudah diingat. Waktu itu beliau menjelaskan, definisi orang salih adalah,
“Orang yang bisa memenuhi hak Allah dan hak hamba”
Sangat sederhana, tapi waktu itu sangat mengena di hati saya dan menghujam kuat sampai hari ini. Lafaz Arabnya saya sudah lupa dan hanya bisa mengira-ngira, tetapi maknanya tertanam kuat di hati.
Dari definisi itu, saya jadi lebih bisa membayangkan penggunaan istilah ini. Jika dalam Al-Qur’an dan hadis disebut orang salih, berarti maknanya adalah orang yang sanggup memenuhi hak Allah dan juga hak hamba. Jika seorang wanita dianjurkan memilih suami dengan standar kesalihan, maka maksudnya, carilah lelaki yang sanggup menunaikan hak Allah dan hak hamba. Saya juga lebih bisa menghayati ketika seorang ulama menganjurkan memilih lelaki salih sebagai calon suami. Kebaikannya, kira-kira begini,
“Suami salih itu, jika dia tidak mencintaimu maka dia tidak akan menzalimimu. Tetapi jika dia mencintaimu pasti dia akan memuliakanmu”
Kebaikan suami salih ini juga lebih mudah dibayangkan. Tentu saja suami yang salih akan seperti ini sifatnya. Hak Allah saja ia tunaikan sebaik-baiknya, apalagi hak hamba, termasuk istrinya. Istri ‘kan salah satu hamba yang wajib ditunaikan haknya selain anak, orang tua, kerabat, tetangga, orang miskin, kaum muslimin dan lain-lain.
Saya juga lebih mudah membayangkan bahwa kadar kesalihan seseorang itu sangat tergantung seberapa prima dia menunaikan hak Allah dan hak hamba. Semakin sempurna dia menunaikan hak Allah dan hak hamba, berarti semakin salih dia. Dari sini saya juga akhirnya membayangkan bahwa kesalihan itu bertingkat-tingkat. Tidak bisa dipukul rata. Ada orang yang super salih, ada yang sangat salih, ada yang salih, ada yang agak salih, ada yang kurang salih, sampai yang tidak salih sama sekali.
Saya juga baru bisa memahami kenapa sampai ada ulama yang secara khusus membuat kitab yang membahas bagaimana cara menunaikan hak-hak Allah secara maksimal. Seperti yang dikarang oleh Al-Harits Al-Muhasibi dalam kitab yang berjudul “Ar-Ri’ayah li Huquqillah” (memperhatikan hak-hak Allah). Kitab seperti ini sangat penting karena akan membantu para hamba Allah untuk menunaikan hak-hak Allah sebaik-baiknya. Sayangnya, kitab khusus yang membahas bagimana menunaikan hak-hak hamba -untuk melengkapi kitab Al-Muhasibi di atas- sepertinya belum ada yang membuatnya.
Saya dulu sempat berfikir, dari mana ya Nawawi Al-Jawi mendapatkan ilmu tentang definisi orang salih ini? Di kitab yang saya baca, Nawawi Al-Jawi tidak menyebutkan referensi sehingga selama bertahun-tahun saya belum tahu referensi yang beliau jadikan rujukan.
Akhirnya, suatu saat Allah memberi kesempatan saya untuk bertemu dan membaca kitab “Daqoi-qu Al-Minhaj” karya An-Nawawi. Ternyata definisi kesalihan dijelaskan dengan gamblang oleh An-Nawawi di sana. An-Nawawi menulis,
“Orang salih adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah ta’ala dan menunaikan hak-hak hamba” (Daqoiq Al-Minhaj hlm 26)
Dari sini akhirnya saya menduga bahwa Nawawi Al-jawi mengambil dari kitab ini, mengingat beliau adalah salah satu tokoh besar ulama Asy-Syafi’iyyah sebagaimana An-Nawawi.
Nah, kitab inilah yang akan kita resensi dalam catatan kali ini.
Kitab “Daqo-iqu Al-Minhaj” (دقائق المنهاج) adalah kitab yang berfungsi seperti glosarium untuk kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Nama lengkapnya, “Ad-Durru Al-Wahhaj Fi Syarhi Daqo-iqi Al-Minhaj”. Penulisnya adalah An-Nawawi sendiri. Jadi, “Daqo-iqu Al-Minhaj” adalah kitab glosairum yang dikarang oleh seorang ulama untuk karyanya sendiri. Penulisan kitab ini diisyaratkan sendiri oleh An-Nawawi dalam muqoddimah “Minhaj Ath-Tholibin”. An-Nawawi menulis,
“Saya juga telah mulai menyusun satu kitab kecil yang berbentuk syarah untuk makna-makna halus yang terdapat pada mukhtashor (Minhaj Ath-Tholibin) ini” (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 8)
Tujuan An-Nawawi menulis kitab ini adalah memberikan penjelasan lafaz-lafaz dan istilah-istilah khusus yang terdapat dalam kitab “Minhaj Ath-Tholibin” yang barangkali tidak bisa dipecahkan jika hanya mengandalkan pengetahuan bahasa Arab semata. Dalam kitab ini, An-Nawawi juga memberikan penjelasan mengapa beliau menggunakan redaksi yang berbeda dengan redaksi yang dipakai Ar-Rofi’i dalam “Al-Muharror” pada saat menerangkan satu ringkasan fikih. An-Nawawi juga bermaksud memberikan penjelasan mengapa dalam sejumlah redaksi beliau merasa harus memasukkan sejumlah “qoid”, “harf”, atau syarat pada satu kasus fikih tertentu.
Dengan deskripsi seperti di atas, bisa dipahami jika pada zaman sekarang ada kamus istilah fuqoha’ yang tersohor seperti kitab “Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’” karya Rowwas Qol’ahji dkk, maka kitab “Daqo-iq Al-Minhaj” ini semakna dengan kitab tersebut. Hanya saja, medan istilah yang dibahas “Daqo-iq Al-Minhaj” terbatas pada lafaz-lafaz yang terdapat pada kitab “Minhaj Ath-Tholibin” saja, tidak semua kitab fikih secara umum.
Dalam menulis kitab ini, An-Nawawi bukan hanya menjelaskan lafaz-lafaz dalam “Minhaj Ath-Tholibin” tetapi juga mengulik makna-makna lembut yang tersembunyi pada lafaz-lafaz itu. Bahkan, An-Nawawi juga menganalisis dan membandingkan dengan lafaz yang terdapat dalam “Al-Muharror” karya Ar-Rofi’i yang merupakan kitab sumber “Minhaj Ath-Tholibin”. Contohnya bisa kita saksikan saat An-Nawawi menjelaskan lafaz yang terkait kapan hak bermalam bagi wanita yang dipoligami menjadi gugur. An-Nawawi menulis,
“Ucapan (Ar-Rofi’i dalam) ‘Al-Muharror’, ‘Jika istri melakukan safar atas seizin suaminya, maka gugurlah hak pembagian jatah waktu bermalam untuknya menurut pendapat (Asy-Syafi’i) yang jadid (baru). (An-Nawawi menjelaskan) maksudnya, (hukum itu berlaku) jika istri melakukan safar untuk kepentingannya. Jika istri melakukan safar untuk kepentingan suaminya, maka hak waktu bermalam itu tidak gugur secara pasti sebagaimana dinyatakan dengan lugas dalam ‘Al-Minhaj’” (Daqo-iqu Al-Minhaj, hlm 69).
Dalam lafaz yang tercantum dalam “Al-Muharror”, ada kesan bahwa seorang istri yang melakukan safar atas seizin suaminya maka hak bermalam dengan suami menjadi gugur tanpa membedakan apakah safar tersebut untuk kepentingan suami ataukah untuk kepentingan istri. Tetapi An-Nawawi memberi “qoid” untuk pernyataan “muthlaq” ini dengan menjelaskan bahwa gugurnya hak bermalam itu adalah jika maksud safar itu untuk kepentingan istri (misalnya minta izin berhaji/berumroh). Jika untuk kepentingan suami (misalnya suami minta tolong kepada istri untuk menguruskan legalisasi ijazah suami), maka hak bermalam sama sekali tidak gugur dan suami wajib mengqodho’nya.
Pandangan sekilas terhadap cara An-Nawawi menulis kitab ini memberi kesimpulan bahwa hanya orang yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang tinggi dan pengetahuan fikih yang luas yang bisa membuat “glosarium” sedalam “Daqo-iqu Al-Minhaj” ini.
Hanya saja, An-Nawawi tidak menjelaskan semua istilah dan ungkapan dalam semua topik. Bab dan topik yang tercatat dalam “Daqo-iq Al-Minhaj” hanyalah bab thoharoh, salat, zakat, jual beli, nikah dan jiroh.
Selain kitab “Daqo-iqu Al-Minhaj”, ada sejumlah kitab lain yang juga berminat menjelaskan lafaz-lafaz dan istilah yang ada dalam kitab “Minhaj Ath-Tholibin”. Bisa kita katakan kitab-kitab itu sejenis dengan “Minhaj Ath-Tholibin” dari sisi funginya sebagai glosarium untuk “Minhaj Ath-Tholibin”. Di antaranya adalah kitab “ Al-Isyarot Ila ma Waqo’a Fi Al-Minhaj Min Al-Asma’ Wa Al-Ma’ani Wa Al-Lughot’ karya Ibnu Al-Mulaqqin, “Ujalatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Al-Mulaqqin (yang kemudian disyarah oleh Al-Yamani dalam kitab berjudul “Ash-Shuqolah Fi Zawa-idi Al-‘Ujalah), “At-Taj Fi I’robi Musykili Al-Minhaj” karya As-Suyuthi, “Al-Ibtihaj Fi Bayani Ishthilahi Al-Minhaj” karya Al-‘Alawi Al-Hadhromi, “Sullamu Al-Muta’allim Al-Muhtaj ila Ma’rifati Rumuzi Al-Minhaj” karya Al-Ahdal dan lain-lain.
Manuskrip “Daqo-iqu Al-Minhaj” bisa ditemukan di sejumlah perpustakaan seperti “Maktabah Azh-Zhohiriyyah” di Damaskus; Suriah, “Maktabah Al-Auqof” di Mosul; Irak, “Ma’had Al-Makhthuthot Al-‘Arobiyyah” di Kairo; Mesir, “Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah” di Kairo; Mesir, perpustakaan “Chester Beatty” di Dublin; Irlandia, dan lain-lain.
Di antara penerbit yang pernah mencetaknya, ‘Syarikatu At-Turots lil Barmajiyyat” tahun 2010, “Al-Maktabah Al-Makkiyyah” di Mekah, “Dar Ibni Hazm” di Libanon, “Dar Al-Ulum” di Damaskus atas jasa tahqiq Iman Zahro’ dan Tsana’ Al-Hawwari, dan lain-lain.
“Dar Ibni Hazm” di Beirut; Libanon mencetaknya tahun 1416 H/1996 dengan ketebalan 96 halaman atas jasa tahqiq Iyad Ahmad Al-Ghouj. Dalam melakukan tahqiq, Al-Ghouj meneliti manuskrip yang diperoleh dari perpustakaan “Chester Beatty” di Dublin; Irlandia.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين