Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kitab “Qut Al-Muhtaj” (قوت المحتاج) adalah syarah untuk kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Makna “qut” adalah “makanan pokok/hidangan utama”. “Muhtaj” bermakna “orang yang membutuhkan”. Jadi, makna lengkap nama kitab ini adalah “makanan pokok untuk orang yang membutuhkan”. Dengan nama ini pengarangnya seolah-olah ingin menyamakan kandungan ilmu yang ditulis dalam bukunya dengan makanan pokok. Maksud makanan pokok di sini adalah sajian utama bagi orang yang ingin dan membutuhkan faham kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi.
Kitab “Qut Al-Muhtaj” termasuk salah satu referensi penting dan rujukan berharga jika orang ingin mengetahui syarah “Minhaj Ath-Tholibin”. Di antara yang menunjukkan nilai kitab ini adalah, jika disebut “Syarhu Al-Minhaj” tanpa qoid dan tanpa penjelasan lebih detail, maka yang dimaksud adalah “Qut al-Muhtaj” karya Al-Adzro’i ini. Kebiasaan ini di antaranya dipakai oleh Ibnu Al-‘Imad Al-Hanbali dalam kitabnya yang berjudul “Mu’thiyatu Al-Aman Min Hintsi Al-Aiman”.
Pengarangnya bernama Al-Adzro’i (الأذرعي). Nama lengkap beliau, Syihabuddin Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Hamdan Al-Adzro’i, seorang syaikh Halab (zaman sekarang disebut Aleppo) di masanya sekaligus muftinya. Asal beliau dari Adzri’at, sebuah kota di Syam. Jika melihat “dhobth” nama kota yang menjadi asalnya, yang terbayang langsung untuk laqobnya seharusnya dibaca Al-Adzri’i bukan Al-Adzro’i. Hanya saja, sudah populer di kalangan ulama jika beliau disebut Al-Adzro’i dengan memfathahkan ro’.
Beliau lahir pada tahun 708 H atau 707 H. Sejarah belajarnya baru dimulai saat beliau sudah dewasa. Konon, semangat beliau menjadi ulama baru muncul setelah mendapatkan mimpi tentang orang yang mendeklamasikan puisi terkait hamba Allah yang bermaksiat. Al-Adzro’i menjawab syair tersebut dalam mimpi dengan dua buah bait syait. Setelah terbangun, tiga bait syair itu sangat melekat di benaknya. Setelah itu beliau bersemangat tinggi mendalami ilmu. Di antara guru beliau yang terkenal adalah Ibnu ‘Asakir, Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi. Al Adzro’i dikenal sangat berhati-hati dalam urusan fatwa, terutama jika terkait talak.
Terkait syarah “Minhaj Ath-Tholibin”, sebenarnya Al-Adzro’i membuat dua kitab, yaitu “Qut Al-Muhtaj” yang hendak kita resensi ini dan “Ghunyatu Al-Muhtaj”. Ketebalan dua kitab ini berdekatan. Tiap-tiap kitab mengandung informasi yang tidak ada pada kitab yang lain. Hanya saja, salah satu dari keduanya sebenarnya diniatkan untuk membahas lafaz-lafaz kitab “Minhaj Ath-Tholibin” tapi ternyata itu juga ikut populer.
Referensi Al-Adzro’i dalam mensyarah sangat kaya. Beliau memanfaatkan sejumlah referensi sebagai sumber kajian di antaranya, “Al-Umm” karya Asy-Syafi’i, “Al-Hawi Al-Kabir” dan mukhtashornya yang bernama “Al-Iqna’” karya Al-Mawardi, “Al Ibanah ‘An Ahkami Furu’ Ad-Diyanah” karya Al-Furoni (w. 461 H), “At-Tatimmah” karya Abdurrahman Al-Mutawalli (478 H), “At-Ta’liqoh” karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari, “At-Ta’liqoh” karya Abu Hamid Al-Isfaroyini, “At-Ta’liqoh” karya Al-Qodhi Husain, “Bahru Al-Mazhab” karya Ar-Ruyani, “Ahkam Al-Khonatsi” karya Ibnu Abi ‘Aqomah, “Al-Istidzkar” karya Ibnu Abdil Barr, “Al-Ifshoh” karya Abu Ali Al-Husain (pengarangnya dikenal dengan nama Shohibul Ifshoh), “Al-Basith” karya Al-Ghozzali, “Al-Bayan” karya Al-Imroni, “At-Tahqiq” karya An-Nawawi, “Al-Idhoh” karya An-Nawawi, “Tash-hihu At-Tanbih” karya An-Nawawi, “Roudhotu Ath-Tholibin” karya An-Nawawi , “Al-Hawi Ash-Shoghir” karya Al-Qozwini, “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i, dan banyak lagi kitab-kitab Asy-Syafi’iyyah yang lain.
Dalam mensyarah, Al-Adzro’i memperhatikan penjelasan dalil baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ maupun ma’qulat. Al-Adzro’i juga memberi perhatian terhadap penjelasan kata sulit, istilah fikih, dan penjelasan nama-nama tokoh yang disebutkan oleh An-Nawawi. Al-Adzro’i juga membahas secara mendalam berbagai macam riwayat “aqwal”, “wujuh” dan “thuruq”. Beliau juga memberi perhatian terhadap ikhtilaf salaf dan pendapat berbagai mazhab yang kemudian diulas dan ditarjih mana pendapat yang terkuat. Setiap bab fikih tak lupa juga selalu diawali pembahasan definisi bahasa dan definisi istilah. Al-Adzro’i juga menuliskan banyak “fawaid”, “tatimmat”, “furu’” dan “nukat” yang menunjukkan keluasan ilmunya dan kedalaman pengetahuannya.
Kedalaman Al-Adzro’i dalam mensyarah kira-kira setara dengan kedalaman ilmu Ibnu Ar-Rif’ah yang dipuji Ibnu Taimiyyah sebagai syaikh Asy-Syafi’iyyah yang “bertetesan dari jenggotnya ilmu fikih mazhab Asy-Syafi’i”. Untuk mengecek kebenaran pernyataan ini, bisa dibandingkan tulisan dalam kitab “Qut Al-Muhtaj” dengan kitab “Kifayatu An-Nabih” karya Ibnu Ar-Rif’ah yang mensyarah matan “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi.
Kitab “Qut Al-Muhtaj” mendapatkan perhatian dari sejumlah ulama sehingga bangkit sejumlah ulama yang membuat mukhtashor-nya. Di antaranya, Mukhtashor ‘Isa Al-Ghozzi (w. 799 H), Mukhtashor Al-‘Aizari (w. 808 H), Mukhtashor Ath-Thoimani (w. 815 H), Mukhtashor Ibnu Khothib Ad-Dahsyah (834 H) dalam karya berjudul “Lubabu Al-Qut”, Mukhtashor Muhammad Al-Husaini (w. 854 H) yang bernama “Mukhtashor Al-Qut”, dan lain-lain.
Adapun untuk manuskripnya, kita bisa menemukannya dalam sejumlah perpustakaan seperti Perpustakaan “Markaz Al-Malik Faishol li Al-Buhuts wa Ad-Dirosat Al-Islamiyyah” di Riyadh; Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah di Al-Madinah Al-Munawwaroh; Saudi Arabia, “Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah” di Kairo; Mesir, “Al-Khudaiwiyyah” di Kairo; Mesir, “Ma’had Al-Makhthuthot Al-‘Arobiyyah” di Kairo; Mesir, “Al-Maktabah Al-Azhariyyah di Kairo; Mesir, “Maktabah Azh-Zhohiriyyah” di Damaskus; Suriah, “Maktabah Al-Makhthuthot” di Kuwait, “Ma’had Al-Makhthuthot Al-‘Arobiyyah” di Kuwait, “Maktabah Al-Auqof’ di Sulaimaniyyah; Irak, “Maktabah Al-Auqof” di Mosul; Irak, “Ma’had Al-Jami’ Al-Kabir di Shon’a; Yaman, Goethe-Institut di Goethe; Jerman, The Berlin State Library di Berlin: Jerman, Bibliothèque nationale de France di Paris; Prancis, “Chester Beatty” di Dublin; Irlandia, “Princeton Library” di Amerika Serikat, dan lain-lain.
Kitab ini termasuk kitab yang tersimpan lama dalam keadaan masih berupa manuskrip. Hanya baru-baru ini, yakni tahun 2015 untuk pertama kalinya dicetak. Hanya saja, kisah pencetakannya masih “penuh drama” yang menyisakan kesedihan karena mencerminkan kondisi memprihatinkan terkait dunia penerbitan kitab-kitab turots di dunia Islam. Kisah “memilukan” terkait pencetakan kitab “Qut Al-Muhtaj” ini ringkasnya bisa diuraikan sebagai berikut.
Pada tanggal 3 Januari 2016 di Jedah, Dr. Muhammad Abu Bakr Badzib membuat status khusus di Facebook yang mengingatkan dan mewanti-wanti kaum muslimin agar tidak membeli kitab “Qut Al-Muhtaj” cetakan penerbit “Dar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah”/DKI (دار الكتب العلمية). Alasannya, cetakan penerbit ini adalah hasil “curian”, “pengkhianatan” dan mengandung penipuan ilmiah.
Cerita awalnya, ada seorang peneliti yang pada mulanya mengumpulkan manuskrip kitab “Qut Al-Muhtaj” dengan maksud untuk ditahqiq dan dipublikasikan. Peneliti ini sudah selesai sampai “rubu’ ibadat” (1/4 dari keseluruhan isi kitab). Setelah itu, peneliti ini melakukan safar ke Kairo, Mesir, lalu melakukan kesepakatan dengan salah satu penerbit di sana untuk menyelesaikan tahqiq itu. Kerja tahqiq itupun selesai. Peneliti mendapatkan haknya dan penerbit tersebut juga mendapat hak naskahnya. Setelah beberapa tahun, peneliti dikagetkan dengan kenyataan bahwa “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah”/DKI menerbitkannya tahun 2015, bukan penerbit yang melakukan kesepakatan awal dengan peneliti. Ternyata penerbit Kairo itu menjual naskah tahqiq itu ke DKI.
Kenyataan yang lebih memprihatinkan adalah, DKI tidak punya naskah tahqiqan pada bagian awal-awal kitab (rub’u ‘ibadat). Untuk menutupi kekurangan ini, muhaqqiq mereka menulis sendiri ¼ bagian “Qut Al-Muhtaj” itu kemudian diatasnamakan Al-Adzro’i. Dalam menulis bagian “penambal” itu, muhaqqiq DKI ini mengambil bahan dari syarah-syarah “Minhaj Ath-Tholibin” yang lain seperti “Tuhfatu Al-Muhtaj”, “Mughni Al-Muhtaj” dan lain-lain. Atas dasar ini, DKI dianggap telah menipu kaum muslimin dengan memberi kesan bab ibadah adalah bagian kitab “Qut Al-Muhtajs” padahal bukan. Dr. Badzib menegaskan bahwa muqoddimah yang ditulis DKI dan diklaim muqoddimah Al-Adzro’i adalah muqoddimah palsu. Yang asli ada di tangan Dr. Badzib.
Jika berita ini benar, maka hal ini adalah salah satu dari sekian banyak testimoni reputasi “pencurian” naskah kitab oleh penerbit DKI. Dengan reputasi seperti ini ada yang menyebut DKI sebagai “Dar Al-Kutub Al-Haddamah”, “Dar Al-Haromiyyah”, “Dar As-Sariqoh” dan sebutan-sebutan negatif yang semakna. Sejumlah masyayikh dalam ceramah juga “memfatwakan haram” membeli kitab dari penerbit ini karena reputasi buruknya mereka dalam menjaga kualitas cetakan, pencurian naskah, “talifiq”, pembohongan, dan khiyanat ilmiyyah. Selain DKI, penerbit lain yang disoroti karena mirip dengan DKI adalah “Dar Al-Afkar Ad-Dauliyyah.”
Menjawab status ini, pemilik DKI yakni sayyid Baidhun mengatakan bahwa naskah tahqiq yang diperoleh DKI berasal dari muhaqqiq DKI yang bernama ‘Ied Muhammad Abdul Hamid. DKI tidak tahu menahu apa yang ditulis oleh Dr. Badzib. DKI juga menanyakan kenapa Dr. Badzib tidak menyebut siapa nama peneliti yang beliau maksud dan siapa nama penerbit Kairo yang beliau maksud. Baidhun menegaskan bahwa muhaqqiq DKI memang melakukan penyempurnaan terhadap “Qut Al-Muhtaj” dengan memakai kitab-kitab Asy-Syafi’iyyah karena manuskrip yang ada tidak lengkap dan sebagian rusak.
Jawaban Dr. Badzib terhadap bantahan DKI adalah, tentu saja nama penerbit dan nama peneliti yang beliau sebut secara “mubham” dalam status semua ada datanya. Hanya saja data tersebut tidak boleh dipublikasikan kecuali hanya yang berkepentingan karena akan bersentuhan dengan ranah hukum.
Demikianlah kisah “memilukan” percetakan kitab “Qut Al-Muhtaj“.
“Dar Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah” mencetak kitab “Qut Al-Muhtaj” dalam 12 jilid pada tahun 2015 untuk cetakan pertama dengan ketebalan 7280 halaman. Muhaqqiqnya bernama ‘Ied Muhammad Abdul Hamid.
Al-Adzro’i di akhir hayatnya menderita kelemahan pada penglihatan dan pendengaran. Suatu saat beliau jatuh dari tangga yang membuat kakinya patah. Sejak saat itu beliau sangat kesulitan berjalan. Akhirnya, Al-Adzro’i wafat pada Jumada Ats-Tsaniyah tahun 783 H di Aleppo.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين