Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika engkau dalam kondisi miskin, tidak punya uang, kelaparan, dan tidak ada orang yang mengetahui penderitaanmu kemudian ada manusia yang bertanya kabar kepadamu, kemudian engkau menjawab,
“Alhamdulillah, aku berada dalam keadaan sehat wal afiat. Nikmat Allah luar biasa banyak diberikan oleh-Nya padaku pada hari ini. Aku bangun tidur dalam keadaan sehat, tidak sakit. penglihatanku normal, pendengaranku normal dan akalku juga normal, tidak gila. Aku bangun juga dalam keadaan aman, tidak ketakutan seperti orang-orang yang berada di negeri konflik. Subhanallah, Masyaallah, Lailahaillallah, Allahuakbar. Alangkah banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepadaku”
Nah, jawabanmu seperti itulah yang dinamakan “tahadduts bin-ni’mah”, yakni menceritakan kebaikan-kebaikan Allah dalam rangka bersyukur untuk melaksanakan perintah Allah dalam ayat ini,
“Adapun nikmat tuhanmu, maka kabarkanlah” (Adh-Dhuha; 11)
Engkau memuji-Nya dan menampakkan kebaikan-Nya di saat hawa nafsumu cenderung mengeluh dan meremehkan nikmat-Nya.
Engkau menyebut-nyebut kebaikan-Nya di saat syetan membisikimu untuk mengeluh dan meratapi takdir.
Engkau menyebut-nyebut anugerah dan pemberian-Nya di saat manusia jahil banyak yang memprovokasi agar tidak terima dengan segala kesempitan hidup dan penderitaan.
Inilah makna “tahadduts bin-ni’mah” yang sejalan dengan banyak nash yang lain.
Jangan sampai ayat ini dijadikan kedok dan topeng untuk maksud pamer, riya’, “sum’ah” dan “fakhr”, yakni menampakkan kelebihan dunia maupun diennya di hadapan manusia demi menampakkan keunggulan dirinya dibandingkan hamba Allah yang lain.
Misalnya mengatakan,
“Alhamdulillah, ini bukan pamer ya, bukan riya. Tidak sombong saya. Hanya sekedar ‘tahadduts bin ni’mah’. Anak saya si fulan itu lulus doktoral dari universitas Cambridge dan sekarang bekerja di Amerika dengan gaji perbulan sekitar 500 juta.”
“ Alhamdulillah.. Anak sudah jadi dokter spesialis jantung. Setiap hari pasiennya sampai ngantri-ngantri. Maklumlah, anak saya kan memang pintar. Cekatan nangani pasien. Makanya banyak yang suka berobat ke dia. Pemasukannya per bulan sampai ratusan juta loh. Dua hari lagi, mobil barunya bakalan diantar sama dealer. Ya syukurlah, masih muda tapi sudah bisa beli mobil. Belum nikah tapi sudah punya rumah sendiri.. Sudah bisa membahagiakan saya sebagai ibunya. Gelang yang saya pakai ini dibelikan sama dia. Emas murni lagi. Makanya bagus banget kan.. Kelihatan berkilau..”
“Bu, tolong tamu kita dibuatkan minuman ya. Tapi pakailah gelas yang kita beli dari haji yang ketiga”
Sungguh, ini adalah perilaku mungkar dan batil karena jelas melanggar ayat Allah yang berbunyi,
“Allah tidak suka setiap orang yang sombong melagak lagi gemar membanggakan diri” (Al-Hadid; 23)
“Tahadduts bin ni’mah” itu jika penerapannya benar, maka “ending”nya hanya Allah-lah yang “besar”, yang “unggul”, yang “hebat”, dan “dikagumi”. Tidak pernah buruk sangka kepada Allah, dan selalu menghargai nikmat Allah sekecil apapun. Adapun pamer, riya, “sum’ah” dan “fakhr”, maka yang berusaha dihebatkan dan di”wow”kan itu kita sendiri. Kalau ini yang terjadi, maka jelaslah kita telah terjatuh dalam kemungkaran, kesombongan dan kemaksiatan.
“Tahadduts bin ni’mah” itu tanda bersyukur, memuji atas kebaikan-Nya dan salah satu cara berterima kasih kepada-Nya seperti saat kita menghargai kebaikan orang dengan mengucapkan terima kasih kepadanya.
***
Penjelasan di atas adalah penjelasan yang mengasumsikan bahwa “ni’mah” yang disebutkan Allah dalam surah Ad-Dhuha di atas bersifat umum mencakup semua “ni’mah”.
Adapun jika “ni’mah” di sana dipahami bersifat khusus, seperti penafsiran sebagian mufassirin yang memahaminya sebagai nikmat yang diberikan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم seperti nikmat Nubuwwah, Al-Qur’an, “huda”, “jabrul yatim”, “ighna’” dan amal salih maka makna “tahadduts bin ni’mah” lebih jelas lagi, yakni beramal saleh menyebarkan dien atau mengajak orang berbuat kebaikan dan tidak mungkin dimaknai bolehnya pamer atas nama syukur.
Mengabarkan nikmat Al-Qur’an misalnya, bermakna melaksanakan kewajiban tabligh wahyu Allah agar menjadi pelita umat manusia. Mengabarkan nikmat nubuwwah bermakna mengajak manusia agar beriman kepada beliau sebagai utusan Allah agar ditaati. Mengabarkan nikmat huda bermakna berdakwah menyebarkan petunjuk Allah untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan.
Jadi mulai hari ini, HENTIKAN KEBIASAAN SUKA PAMER dengan alasan “tahadduts bin’ni’mah”
Karena bukan seperti itu makna ayat ini.
Wallahua’lam.
2 Comments
seoktavian
sangat membantu sekali artikelnya, terimakasih telah berbagi informasi
Admin
alhamdulillah