Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara fatwa yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kefaqihan imam Ahmad adalah riwayat yang ditulis oleh Ibnu Al-‘Utsaimin berikut ini,
“Sungguh, Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam salat Subuh itu bid’ah. Kendati demikian beliau memfatwakan, ‘Jika engkau bermakmum kepada seorang imam yang berqunut, maka ikutilah dalam qunutnya dan aminkan doanya. Semua itu adalah untuk kesatuan barisan, harmoni hati dan menghindarkan kebencian satu sama lain” (Asy-Syarhu Al-Mumti’, juz 4 hlm 64)
Dengan fatwa ini seolah-olah beliau memberikan kepada kita satu kaidah penting yang berbunyi,
“Meskipun engkau menganggap sesuatu itu haram dan bid’ah, selama engkau tahu bahwa itu persoalan ijtihadiyyah dan ikhtilaf, maka menyatukan hati kaum muslimin tetap didahulukan. “Tahrisy” (merusak hubungan kaum muslimin) harus diperangi. Pertimbangan memerangi “tahrisy” harus didahulukan daripada mempertajam persoalan khilafiyyah yang ending akhirnya hanya untuk meyakinkan kekuatan ijtihad tertentu apalagi jika tujuannya hanyalah untuk memasuki afiliasi tertentu”.
Sikap dan tindakan semacam ini juga bisa kita temukan pada sejumlah shahabat besar yang faqih nan berilmu. Contohnya seperti kisah Ibnu Mas’ud yang mengkritik ijtihad Utsman ketika salat “itmam” (tidak mengqoshor) di Mina, tetapi dalam praktek tetap mengikuti ijtihad Utsman. Demikian pula kisah Utsman yang siap meninggalkan ijtihadnya dan mengikuti ijtihad Abu Bakar dan Umar demi persatuan kaum muslimin.
Umat Islam hari ini berselisih dan terpecah karena banyak faktor. Bisa jadi karena perbedaan metodologi memahami Islam, kecenderungan mazhab, afiliasi organisasi, afiliasi harokah dan lain-lain. Akan tetapi faktor pemecah yang terlihat cukup dahsyat pengaruhnya adalah perbedaan pandangan dan ijtihad politik.
Jangankan di level dunia yang sudah sangat jelas terpecah menjadi banyak negara, level satu negeri saja ada sekian varian cara pandang politik yang sangat tajam perselisihan dan gesekannya.
Apa yang menyebabkan perbedaan pandangan politik itu susah disatukan?
Mungkin bisa dikemukakan sejumlah jawaban. Akan tetapi, yang utama adalah barangkali dikarenakan belum timbulnya kesadaran umum bahwa suatu pandangan/keputusan poilitik yang diikuti dan dibela itu sesungguhnya hanyalah berada di level strategi.
Sebagian yang lain mungkin juga belum memiliki kesadaran bahwa pandangan/keputusan politik yang diikuti dan dibela itu sebenarnya hanyalah berada di level “ijtihad” yang bersifat zhonni, yang sangat berpeluang salah -bahkan blunder- sehingga harus dikoreksi.
Yang tampak, banyak sekali hal-hal terkait politik yang sebenarnya tergolong strategi/wasilah/uslub atau perkara ijtihad, tetapi diperlakukan seolah-olah perkara ushul dan qoth’i yang haram diubah sampai hari kiamat. Akhirnya kesan yang timbul adalah sakralisasi strategi dan ijtihad tersebut.
Akibatnya, perpecahan dan perselisihan internal umat Islam seolah-olah terus “langgeng” dan tidak pernah bergerak menuju persatuan. Hanya peristiwa “extraordinary” saja (yang menyinggung simbol-simbol sakral umat Islam) yang sesekali bisa mempersatukan, itupun sifatnya sangat temporal dan tidak kokoh.
Apakah kita tidak merasakan bahwa sikap-sikap kepala batu semacam itu justru malah memecah umat Islam, dan tidak pernah menciptakan suatu kondisi yang bisa menggiring kesepakatan politik yang bisa memberikan maslahat nyata untuk dien dan umat Islam?
Tidak kah kita bisa merasakan bahwa memecah belah umat Islam itu dosa besar yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya? Jika bukan dosa yang sangat besar, bagaimana mungkin Islam memberikan ajaran tegas yang membolehkan membunuh pemecah belah meskipun jumlah mereka banyak?!