Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara hal yang menunjukkan besarnya rahmat dan ‘inayah yang diberikan Allah kepada An-Nawawi adalah keajaiban yang bisa ditemukan pada karya-karya beliau. Taqiyyuddin As-Subki (w. 771 H) adalah salah satu ulama yang menemukannya. Hal yang menakjubkan itu pada intinya adalah adanya tulisan An-Nawawi yang mengesankan bahwa beliau zhohirnya salah analisis, salah menyimpulkan, salah memahami dan mengalami waham. Akan tetapi, apa yang kita sangka keliru itu jika diteliti lebih serius lagi, dikaji secara mendalam, dipelajari secara luas dan diteliti secara komprehensif, maka apa yang kita anggap salah justru itulah yang benar. Menulis salah tetapi ternyata malah benar adalah keajaiban yang hanya mungkin dijelaskan secara imani, yakni adanya penjagaan, pengawasan dan inayah dari Allah yang membimbing jemari An-Nawawi sehingga saat menulis diberi ilham menulis kata-kata yang sesuai dengan kenyataan.
Contoh pembahasan fikih dalam kitab An-Nawawi yang menunjukkan pernyataan di atas, secara ringkas diuraikan di bawah ini.
Jika ada orang yang bermaksiat, entah itu berzina, meminum khomr atau mencuri, lalu dia menyatakan dirinya bertaubat, bagaimanakah cara kita mengetahui bahwa dia sungguh-sungguh dalam taubatnya, tidak sekedar “lip service”?
Caranya adalah harus diuji. Ujian kesungguhan taubat ini tidak hanya dilakukan sekali tetapi harus beberapa kali dalam jangka waktu (muddah) tertentu, sampai timbul dugaan kuat bahwa dia jujur dalam taubatnya dan benar-benar memperbaiki amal serta hatinya.
Pertanyaannya, masa ujian untuk mengetahui keistiqomahan dia itu apakah perlu dibatasi jangka waktunya ataukah tidak?
Jawaban pertanyaan ini tidak satu kata. Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah berbeda pendapat. Menurut Al-Juwaini, Al-‘Abbadi dan Al-Ghozzali, kita tidak perlu menetapkan jangka waktu tertentu. Selama kita sudah yakin atau menduga kuat berdasarkan bukti-bukti bahwa seseorang telah bersungguh-sungguh dalam taubatnya, maka hal itu sudah cukup untuk menilainya sungguh-sungguh bertaubat.
Adapun ulama Asy-Syafi’iyyah yang lain, mereka berpendapat perlu ditetapkan jangka waktu tertentu. Yang berpendapat seperti ini dalam menentukan ukuran jangka waktu tertentu tersebut juga berbeda pendapat. Ada yang berpendapat minimal 6 bulan, ada yang berpendapat minimal 1 tahun dan lain-lain. Hanya saja, mayoritas berpendapat jangka waktunya minimal 1 tahun. Ar-Rofi’i menulis,
“Apakah jangka waktu (yang diperlukan untuk mengetes kesungguhan orang yang bertaubat) itu perlu ditetapkan ukurannya? Sebagian ulama berpendapat; Tidak. Yang dijadikan ukuran hanyalah terealisasinya dugaan kuat bahwa dia jujur. Hal itu bisa berbeda-beda tergantung pribadi orang yang bertaubat dan tanda-tanda kejujurannya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Juwaini, Al-‘Abbadi dan yang diisyaratkan oleh penulis kitab (yakni Al-Ghozzali) ketika beliau berkata, ‘Hingga dia (orang yang bertaubat itu) dibersihkan (dites kesungguhannya bertaubat) dalam jangka waktu tertentu sehingga bisa diketahui sampai akhir hayatnya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa jangka waktu tertentu itu perlu ditetapkan ukurannya. Dalam pendapat ini ada dua variasi pendapat lagi, tetapi mayoritas berpendapat jangka waktu untuk mengujinya adalah satu tahun…” (Asy-Syarhu Al-Kabir, juz 13 hlm 40)
Dari tulisan Ar-Rofi’i di atas, tampak jelas bahwa pendapat yang menyatakan perlu jangka waktu minimal 1 tahun adalah mayoritas ash-hab (ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin sebelum abad 4 H). YANG BERPENDAPAT PERLUNYA JANGKA WAKTU, bukan MAYORITAS ASH-HAB SECARA MUTLAK. Jadi, adalah kesalahan jika pernyataan Ar-Rofi’i di atas disimpulkan mayoritas ash-hab itu berpendapat bahwa dalam taubat perlu jangka waktu tertentu. Lebih salah lagi jika pernyataan Ar-Rofi’i di atas disimpulkan bahwa mayoritas ash-hab itu berpendapat bahwa dalam taubat perlu jangka waktu tertentu yaitu selama 1 tahun.
Akan tetapi, An-Nawawi menegaskan dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” bahwa MAYORITAS ASH-HAB berpendapat taubat itu untuk pembuktian kesungguhannya perlu jangka waktu tertentu yaitu selama 1 tahun. An-Nawawi menulis,
“Terkait ukuran jangka waktu (pembuktian taubat) ini, ada sejumlah pendapat. Mayoritas (ash-hab) berpendapat satu tahun” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 11, hlm 248)
Mengingat kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” adalah ringkasan dari kitab “Asy-Syarhu Al-Kabir”/”Al-Fathu Al-‘Aziz”/”Fathu Al-‘Aziz”/”Al-‘Aziz”, seharusnya apa yang ditulis An-Nawawi adalah mencerminkan konten kitab tersebut apa adanya tanpa mengubahnya. Jika An-Nawawi mengoreksi, maka semestinya dipisah dengan keterangan “qultu” atau lafaz yang semakna dengannya.
Jadi apa yang ditulis An-Nawawi ini adalah seperti waham kecil beliau. Hanya saja, setelah diteliti ternyata justru penegasan An-Nawawi itulah yang benar. Maksudnya, pernyataan bahwa yang menetapkan pendapat durasi minimal satu tahun adalah pendapat mayoritas ashhab itu memang sesuai dengan kenyataan, bukan seperti tulisan Ar-Rofi’i yang mengatakan bahwa ulama mayoritas itu adalah ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat durasi taubat itu perlu ditentukan lamanya.
Lah, sekarang malah Ar-Rofi’i yang terbukti melakukan waham dan dikoreksi An-Nawawi secara “tidak sengaja”!
Bukti-bukti kebenaran pernyataan An-Nawawi di antaranya bisa ditemukan dalam kitab “At-Ta’liqoh” karya Abu Hamid Al-Isfaroyini, “At-Ta’liqoh” karya Al-Qodhi Husain, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi, dan “At-Tahdzib” karya Al-Baghowi.
Oleh karena itulah, Tajuddin As-Subki berkomentar dengan penuh ketakjuban,
“Jelas sekali bagi siapapun yang memiliki mata batin yang tajam bahwa Allah tabaroka wata’ala memberikan ‘inayah kepada An-Nawawi dan karangan-karangannya” (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro, juz 8 hlm 398)
Akhirnya, seakan-akan dengan akal yang sudah takluk tanpa bisa lagi menemukan alasan yang rasional lagi, As-Subki menutup pembahasan tentang keajaiban tulisan An-Nawawi ini dengan mengatakan bahwa tidak mungkin lahir sebuah tulisan yang tidak sengaja keliru seperti itu tapi malah benar dan sesuai dengan kenyataan jika tidak dibimbing oleh Allah. As-Subki menulis,
“Dengan demikian, tampaklah keindahan cara An-Nawawi dalam menulis meskipun beliau tidak menyengajanya, sebagai bentuk ‘inayah dari Allah ta’ala kepada beliau” (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro, juz 8 hlm 400)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
Anwar
Sepertinya buku2 karya imam nawawi punya keberkahan tersendiri, sampai sekarang masih ada dan banyak di jadikan materi2 pengajian..
Admin
Benar. An-Nawawi adalah di antara ayat Allah di bumi tentang ketekunan, kesungguhan, sifat zuhud, sifat waro’, dan keikhlasan.
Semoga kita bisa meneladaninya