Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Beberapa kali saya ditanyai, “Untuk mengetahui pendapat mazhab Asy-Syafi’i, mengapa kita merujuk kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” atau “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi? Mengapa kita tidak langsung merujuk kitab “Al-Umm”? Bukankah kitab “Al-Umm” itu karangan langsung Asy-Syafi’i?”
Kadang pertanyaan itu ditambahi, “Mengapa orang yang memproklamasikan dirinya bermazhab Asy-Syafi’i kok malah tidak mengkaji kitab “Al-Umm”? apakah itu bukan sikap inkonsisten?”
Demikian kira-kira bunyi sejumlah pertanyaan yang pernah saya terima. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya adalah wajar dan lumayan masuk akal. Sebab, bagaimana bisa kitab yang disusun sendiri oleh pendiri mazhab malah “dikalahkan” oleh kitab yang disusun oleh pengikut mazhab Asy-Syafi’i ratusan tahun kemudian? Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H, sementara An-Nawawi wafat pada tahun 676 H. Jadi, jarak di antara Asy-Syafi’i dengan An-Nawawi adalah 472 tahun! Bagaimana bisa generasi belakangan yang terpisah jarak berabad-abad malah dianggap lebih valid dalam memberikan informasi pendapat “mu’tamad” daripada kitab karangan pendiri mazhab sendiri?!
Sebenarnya, obat dari pertanyaan ini jika ingin jawaban ideal adalah menjelaskan perkembangan mazhab Asy-Syafi’i secara detail mulai masa pendiriannya, penyebarannya, stabilisasinya sampai fase tahrir/tanqih-nya. Tetapi tentu saja penjelasan sedetail itu bisa memakan berlembar-lembar dan bisa dijadikan satu buku tersendiri. Oleh karena itu, dalam catatan ini insya Allah akan dijelaskan jawaban dari pertanyaan itu secara singkat melalui tinjauan dua hal, yakni fakta kitab “Al-Umm” dan fakta tahrir/tanqih mazhab Asy-Syafi’i.
Dari sisi fakta kitab, sesungguhnya kitab “Al-Umm” termasuk kitab “berat”. Bahkan “sangat berat”. Ada bagian-bagian tulisan Asy-Syafi’i yang kecil-kecil dan singkat-singkat yang nampaknya mudah dipahami. Bagian-bagian ini jika dibaca sekilas seolah-oleh menunjukkan “Al-Umm” itu kitab yang mudah dikaji. Tetapi jika sudah membahas hal-hal serius, yang ke arah “istinbath”, “wajhul istidlal”, “tafri’at” dan “roddul mukholifin”, maka akan kelihatan tidak semua orang sanggup memahami maksud detail Asy-Syafi’i.
Sekilas menelaah “Al-Umm” ada beberapa kesimpulan kemampuan yang harus dimiliki untuk memahami detail isi Al-Umm.
Di antaranya, penelaah harus kuat kemampuan bahasa Arab fush-ha-nya. Saya membayangkan jika seorang pengkaji memiliki kemampuan bahasa, keluasan perbendaharaan kosakata dan penguasaan syair-syair (yang menjadi “mashodir lughoh”nya) seperti Muhyiddin Abdul Hamid, pakar bahasa Mesir kontemporer, maka insya Allah lebih mudah memahami Al-Umm. Orang yang mengerti bahasa Arab, tahu nahwu shorof, balaghoh dan semua 10-an cabang ilmu bahasa Arab sekalipun tapi jika kosakata yang ia ketahui adalah kosakata bahasa Arab kontemporer, istilah-istilah kontemporer, dan uslub bahasa Arab modern atau abad pertengahan maka tetap akan kesulitan memahami “Al-Umm”. Hal itu dikarenakan di sana banyak dipakai kosakata, frase dan uslub Arab fusha yang “kuno” nan original. Lafaz “jima’” contohnya. Di zaman sekarang, jika disebut lafaz “jima’”, maka yang terbayang langsung biasanya adalah persetubuhan, padahal secara bahasa lafaz “jima’” bisa bermakna “jam’un” (mengumpulkan). Jadi, ketika Asy-Syafi’i membuat judul kitab “jima’ul ilmi” dalam “Al-Umm” misalnya, maka itu dimaksudkan upaya mengumpulkan seluruh ilmu dien dalam bentuk penjelasan-penjelasan pokoknya. Lafaz “jima’” dalam “Al-Umm” cukup sering dipakai Asy-Syafi’i dengan makna “jam’un”.
Ilmu lain yang diperlukan, harus paham betul kesimpulan fikih terkait topik fikih yang dibahas Asy-Syafi’i, minimal dari kitab-kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i yang ditulis ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah. Mulai dari “mukhtashorot”-nya, “mutasawasithot” maupun “muthowwalat”/”mabsuthot”-nya. Lebih bagus lagi jika juga menguasai pendapat mazhab-mazhab lain. Minimal 4 madzhab. Level pemahamannya tidak cukup hanya kesimpulan-kesimpulan fikihnya, tetapi juga harus mengerti dalil dan istinbathnya.
Saya sudah pernah mencoba mengkaji bab faroidh di kitab “Al-Umm”. Saya hanya membaca sekitar 3-5 paragraf dan langsung menyimpulkan, bahwa orang yang belum mengerti betul detail-detail fikih waris menurut mazhab Asy-Syafi’i, ikhtilaf internalnya, dalil-dalilnya, “wajhul istidlal”-nya, “tarjih-tarjih”nya dan juga ikhtilaf antar madzhab-nya pasti akan kesulitan memahami ‘ibarot-ibarot/ungkapan Asy-Syafi’i.
Jadi kitab “Al-Umm” ini tidak bisa dikaji oleh pemula, mutawassith sekalipun. Pasti “mumet”. Khatam kitab “Fathul Mu’in”, “Fathul Qorib”, “Umdatus Salik”, dan “Kifayatul Akhyar” saja belum menjamin bisa memahami detail-detail yang ditulis Asy-Syafi’i dalam “Al-Umm”. Jadi kitab ini seolah-olah ditujukan memang untuk calon-calon mujtahid seperti Al-Muzani, Ar-Robi’ dan murid-murid cemerlang Asy-Syafi’i yang lain serta yang semisal dengan mereka.
Luar biasa memang kedalaman ilmu sang Imam.
Ini dari sisi tidak mudahnya Al-Umm di kaji oleh orang awam, atau bahkan tholibul ilmi sekalipun. Adapun dari sisi pendapat “mu’tamad” mazhab Asy-Syafi’i (yang dilakukan melalui sebuah kerja keras yang disebut tahrir/tanqih), adalah sebuah ketidakhati-hatian dan bukan cerminan sifat waro’ jika membaca kitab “Al-Umm” kemudian pernyataan di dalamnya langsung diklaim pendapat “mu’tamad” atau pendapat mazhab Asy-Syafi’i.
Hal itu dikarenakan apa yang tercantum dalam kitab “Al-Umm”, maksimal hanya menunjukkan “manshushot” Asy-Syafi’i dan “aqwal”-nya. Tidak selalu mencerminkan pendapat “mu’tamad”.
Meskipun kitab “Al Umm” yang tersebar hari ini ditulis dan disempurnakan Asy-Syafi’i di Mesir dan mengekspresikan “qoul jadid” Asy-Syafi’i, tetapi titik penting yang harus kita perhatikan adalah bahwa “Al Umm” bukan satu-satunya sumber untuk menggali “aqwal” Asy-Syafi’i. Ada banyak sumber yang lain yang diteliti oleh para muharrir/munaqqih mazhab seperti riwayat murid-muridnya, kitab-kitab Asy-Syafi’i selain Al-Umm, “manqulat ash-habul wujuh” dan lain-lain. Sampai masa terbentuknya dua aliran pengikut mazhab Asy-Syafi’i, yakni aliran Khurosan dan Irak, variasi ikhtilaf penukilan aqwal Asy-Syafi’i ini sudah sangat banyak.
Inilah gunanya tahrir/tanqih mazhab itu.
Semua klaim “aqwal” Asy-Syafi’i diteliti riwayatnya, disaring mana riwayat yang sahih dengan kritik sanad dan matan persis seperti dalam dunia hadis, lalu riwayat yang sahih itu diteliti jika bertentangan mana yang qodim mana yang jadid, mana yang sesuai kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i mana yang tidak dan seterusnya. Hasil tarjih ikhtilaf riwayat “aqwal” itulah yang diungkapkan An-Nawawi dengan sebutan “zhohir”, “azh-har” dan “masyhur”. Pembahasan topik-topik seperti ini pernah saya ulas dalam catatan yang berjudul,
- Qoul, Wajh dan Thoriq dalam Istilah Ulama Syafi’iyyah
- Apa Bedanya Istilah Zhohir (الظاهر), Azh-Har (الأظهر) dan Masyhur (المشهور)?
- Apa Bedanya Istilah “Shohih” (الصحيح), “Ashohh” (الأصح) dan “Showab” (الصواب)?
Kesimpulannya, mengkaji kitab “Al-Umm” tidak cocok jika maksudnya mencari pendapat “mu’tamad”. Mengkaji “Al-Umm” untuk tholibul ilmi juga tidak cocok karena beratnya isinya. Mengkaji “Al-Umm” cocok untuk orang yang ingin mengasah kemampuan memahami dalil dan “wajhul istidlal” dan sudah menapaki jalan seakan-akan menuju level mujtahid atau minimal level pentarjih dengan hujjah. Menukil “Al-Umm” dengan maksud hanya sekedar legitimasi pendapat mazhab tertentu yang telah dipilih juga tidak masalah asalkan tidak langsung diklaim sebagai pendapat mazhab Asy-Syafi’i atau pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i. maksimal, cukup katakan “Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm”
Lebih dalam pembahasan topik ini bisa dibaca artikel saya yang berjudul,
- “Bisakah Isi Kitab Ulama Asy-Syafi’iyyah Langsung Dianggap Pendapat Asy-Syafi’i Atau Mazhab Asy-Syafi’i?”
- “Apa Bedanya “Pendapat Asy-Syafi’i” Dan “Mazhab Asy-Syafi’i”?”
Sebagai penutup, berikut ini saya cantumkan tulisan Asy-Syafi’i dalam “Al-Umm” dalam bab waris agar kita bisa merasakan bahwa kitab “Al-Umm” ini bukan kitab “sembarangan”,
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين