Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Al-Muzani, salah satu murid senior Asy-Syafi’i pernah bertestimoni begini,
“Saya mengkaji kitab ‘Ar-Risalah’ karya Asy-Syafi’i semenjak 50 tahun (yang lalu). Setiap kali saya mengkajinya sekali maka saya pasti mendapatlan faidah/ilmu baru yang belum kuketahui sebelumnya” (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 1 hlm 236).
Kalimat Al-Muzani yang menunjukkan perhatian beliau yang sangat tinggi terhadap kitab “Ar-Risalah” di atas akan semakin terasa dahsyatnya ketika kita mendapatkan data lain yang menginformasian bahwa dalam kurun waktu 50 tahun itu, Al-Muzani telah membaca Ar-Risalah sebanyak 500 kali!
500 kali dalam kurun waktu 50 tahun berarti rata-rata dalam setahun khatam 10 kali. Artinya, secara kasar Al-Muzani kira-kira mengkatamkan Ar-Risalah setiap bulan satu kali!
“Sehebat” itukah kitab “Ar-Risalah”?
Apa sebenarnya kitab “Ar-Risalah” itu?
Kitab “Ar-Risalah” adalah kitab fenomenal dan spektakuler yang dikarang oleh Asy-Syafi’i. Kitab ini bisa dihitung sebagai kitab ushul fikih pertama dalam sejarah umat Islam. Ia menjadi pionir bagi seluruh kitab ushul fikih yang lahir sesudahnya tanpa membedakan apakah kitab-kitab ushul fikih yang lahir sesudah “Ar-Risalah” sifatnya mendukung maupun menentang.
Memang benar sebelum masa Asy-Syafi’i sudah ada ijtihad dan mujtahid. Para mujathid itu tentu saja dalam berijtihad memakai kaidah-kaidah tertentu yang meskipun tidak mereka tulis tetapi menjiwai dan mengontrol seluruh produk ijtihad mereka. Ali bin Abi Tholib diriwayatkan pernah membahas sebagian persoalan ushul fikih seperti membincangkan soal “‘am-khosh”, “muthlaq-muqoyyad”, “nasikh-mansukh” dan sebagainya. Hanya saja, ulama yang pertama kali menulis rambu-rambu “istinbath” dalam bentuk kaidah holistik dan universal yang memungkinkan untuk dipraktekkan oleh siapapun hanyalah Asy-Syafi’i, dan belum pernah ada siapapun yang bangkit melakukannya sebelum beliau. Asy-Syafi’i adalah “arsitek’ dan perancang pertama ushul fikih Islam. Beliaulah “penemu” ushul fikih yang kelak menjadi salah satu cabang ilmu syar’i terpenting yang mencerminkan aspek epistemologis hukum Islam.
Semua mazhab bisa kita katakan dalam hal ushul fikih menginduk ke ushul fikih Asy-Syafi’i ini meskipun sedikit berbeda dalam hal perincian. Ushul fikih mazhab Hanbali misalnya, sangat dekat dengan Asy-Syafi’i mengingat Ahmad bin Hanbal adalah salah satu murid istimewa Asy-Syafi’i juga. Perbedaan menonjol antara ushul fikih Asy-Syafi’i dan mazhab Hanbali hanya terletak pada Ijmak sebagai sumber hukum. Mazhab Hanbali menjadikan Ijma’ Shahabat sebagai sumber hukum sementara Asy-Syafi’i menjadikan Ijmak kaum muslimin sebagai sumber hukum. Mazhab Maliki juga sangat dekat. Perbedaan menonjolnya hanyalah terletak pada sikap terhadap amalan penduduk Madinah. Mazhab Maliki menjadikan amalan penduduk Madinah sebagai sumber hukum sementara Asy-Syafi’i tidak. Mazhab Hanafi, meskipun perbedaanya sedikit lebih banyak dalam hal perincian kaidah, penggunaan istihsan dan semisalnya akan tetapi secara umum ulama-ulama ushul mereka tetap menginduk dan menimba ilmu dari ushul fikih Asy-Syafi’i.
Ilmu ushul fikih Asy-Syafi’i tersebar dan terserak-serak dalam sejumlah kitab seperti kitab “Ibtholu Al-Istihsan”, “Jima’ Al-‘Ilmi”, bahkan terkandung juga dalam kitab “Al-Umm” di tengah-tengah pembahasan cabang fikih, terutama saat Asy-Syafi’i melakukan “roddul mukholifin” (bantahan terhadap pendapat ulama yang berbeda). Hanya saja, karya utama Asy-Syafi’i dalam ushul fikih adalah kitab “Ar-Risalah” ini.
Kitab ini memang benar-benar fenomenal. Isinya sangat padat. Bahasanya menunjukkan bahwa penulisanya adalah orang yang sangat fasih dan sangat menguasai Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan atsar. Caranya dalam menganalisis sesuatu dan mengaitkannya dengan kondisi sosiologis masyarakat menunjukkan penulisnya adalah orang yang sangat cerdas, bahkan jenius. Wajar jika Al-Muzani bersaksi bahwa setiap kali beliau membaca “Ar-Risalah” pastilah beliau mendapatkan ilmu baru yang belum terilhamkan pada saat membaca sebelumnya. Dalam kurun waktu 50 tahun dan 500 kali membaca beliau selalu mendapatkan faidah dan ilmu baru dari kitab “Ar-Risalah”.
Saya sepenuhnya percaya pernyataan itu.
Tidak banyak, saya hanya membaca sekitar 11 paragraf saja dari kitab “Ar-Risalah” di bagian muqoddimah (sekitar dua halaman, terbitan penerbit “Mushthofa Al-Baby Al-Halaby” di Mesir, tahqiq Ahmad Syakir), itupun saya sudah mencatat 17 faidah dan ilmu baru. Dari bacaan sedikit itupula saya terinspirasi 10 judul artikel yang kualitasnya kira-kira seperti artikel yang selama ini saya sebar di FB dan website Irtaqi!
Bayangkan, orang seperti saya yang bagaikan setitik debu di tengah padang pasir saja merasakan demikian, kira-kira seperti apa yang dirasakan Al-Muzani? Sederas apa kira-kira ilmu yang didapatkan Al-Muzani saat membaca “Ar-Risalah”?
Bagaimana?
Tertarik mengkaji “Ar-Risalah”?
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
Catatan tambahan:
Ini baru buatan manusia.
Bagaimana dengan Al-Qur’an yang langsung turun dari Robbul ‘alamin?
Sederas apa ilmu yang semestinya kita dapatkan saat membaca Al-Qur’an?
Jika belum mencapai kondisi itu, di mana masalahnya?
Mudah-mudahan catatan singkat di atas bisa merevolusi cara kita dalam membaca Kitabullah. Al-Qur’an akan selalu memberi faidah dan ilmu baru setiap hari bahkan setiap saat jika pengkajinya memiliki penguasaan “sempurna” terhadap dua macam ilmu,
Pertama: Ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulumul qur’an dengan segala cabangnya, seperti yang diuraikan As-Suyuthi dalam kitab “Al-Itqon fi ‘Ulumi Al-Qur’an)
Kedua: Ilmu realitas. Maksudnya, menguasai betul fakta kehidupan, problem-problem manusia, perkembangan pemikirannya, evolusi peradabannya dan segala hal terkait realita dan fenomena kehidupan manusia.