Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Di antara tindak kejahatan yang tergolong kriminal tetapi diremehkan di zaman sekarang adalah fatwa-fatwa yang terbit dari para juhala’. Mereka tidak bisa bahasa Arab, tidak kenal kitab-kitab fikih, tidak terbiasa dengan dalil, istidlal dan wajhul istidlal tetapi dengan penuh “keberanian” berfatwa dan menjelma menjadi mufti-mufti dadakan. Kadang ada yang sedikit bisa bahasa Arab di kalangan mereka, tetapi masih belum pernah mengenal pelik-pelik fikih, ushul fikih, mana perkara ikhtilaf, mana perkara ijmak, mana perkara qoth’i, mana perkara zhonni, mana perkara yang harus disikapi dengan keras, mana perkara yang harus disikapi dengan lapang dada, dan tidak pernah belajar adab berfatwa. Kendati demikian, dengan mudah lisan mereka mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Ringan juga lisan mereka mencela dan mencaci ulama yang belasan atau puluhan tahun bergelut dengan kitab dan ilmu, seolah-olah mereka adalah mujtahid muthlaq sementara ulama yang dikritiknya bagaikan anak TK yang tidak paham apapun tentang agama. Merekalah sesungguhnya mufti-mufti ruwaibidhoh, mufti-mufti penyeret ke neraka, mufti-mufti palsu, mufti-mufti berbahaya, mufti-mufti yang harus dijauhi, dan para penjahat agama.
Orang-orang seperti ini harus dijauhi dan ditindak keras. Mereka adalah “penjahat” dalam dien. Tindakan mereka jauh lebih buruk daripada seorang pencuri. Seorang pencuri maksimal yang dirugikan adalah harta duniawi orang lain. Tapi orang bodoh yang memberi fatwa, jika dia diikuti dan ditaati kejahatannya sangat mengerikan karena bisa menyeret orang yang minta fatwa kepadanya ke neraka.
“Robi’ah berkata, ‘Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih pantas dipenjara daripada para pencuri!” (Adabu Al-Mufti wa Al-Mustafti, hlm 85)