Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Yang dimaksud khilafah (الخلافة) dalam tulisan ini adalah “kepemimpinan global yang bersifat politik untuk seluruh kaum muslimin guna menjaga dien dan mengurus urusan dunia”. Terkadang ia disebut imamah (الإمامة) atau lebih spesifik lagi disebut imamah uzhma (الإمامة العظمى) untuk membedakan dengan imamah sughro, yakni aktifitas mengimami dalam salat. Terkadang ia juga disebut imamah kubro (الإمامة الكبرى).
Penggunaan istilah khilafah terkait dengan makna bahasanya. Khilafah berasal dari kata “kholafa” (خلف) yang bermakna “menggantikan”. Dalam konteks politik, makna “menggantikan” yang dimaksud adalah “menggantikan kepemimpinan”. Kekhilafahan Abu Bakar disebut demikian karena Abu Bakar menggantikan Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin politik (bukan menggantikan aspek kenabiannya). Demikian pula para Kholifah sesudahnya. Begitu datang zaman dinasti, mulai Bani Umayyah, Abbasiyyah sampai Utsmaniyyah, lafaz khilafah ini tetap dipakai secara majasi meskipun bentuk pemerintahan telah berubah menjadi sistem kerajaan/monarki yang mana pergantian kekuasaan dilakukan dengan cara pewarisan tahta, bukan musyawarah kaum muslimin atau yang mewakilinya.
Adapun pandangan Asy-Syafi’i terhadap khilafah, maka kita bisa memulainya dengan memberikan selayang pandang terhadap kitab “masterpiece” beliau, yakni kitab “Al-Umm”.
Di antara hal yang sangat menarik dan mengejutkan terkait dengan kitab “Al-Umm” adalah tidak adanya pembahasan secara khusus terkait tema khilafah/imamah atau yang semakna dengannya. Asy-Syafi’i tidak membuat bab khusus tentang khilafah dan bahkan beliau juga tidak menulis tentang topik itu dalam satu “fashl” kecil sekalipun. Asy-Syafi’i membuat bab khusus yang menerangkan bagaimana sikap terhadap pemberontak kekuasaan sah dalam bab yang berjudul “qital ahli al-baghyi”, akan tetapi pembahasan induk yang menjadi “kepalanya” yakni khilafah justru malah sama sekali tidak dilakukan. Tidak ada pembahasan tentang hukum menegakkan khilafah, hukum melengserkannya, cara perpindahan kekuasaan, syarat-syarat kholifah, dan pembahasan yang semisal dengannya. Jika pembahasan tentang hukum mewujudkan khilafah saja tidak dilakukan Asy-Syafi’i dalam bab khusus dalam “Al-Umm”, maka pembahasan yang lebih jauh dari itu, yakni pembahasan tentang sistem pemerintahan yang menerangkan organ-organ pemerintahan serta hubungan satu organ dengan organ yang lainnya tentu lebih tidak mungkin ada. Faktanya memang demikian. “Al-Umm” tidak mengandung pembahasan hukum khilafah dalam satu bab spesifik, apalagi pembahasan sistem pemerintahan yang dinamakan khilafah/imamah itu.
Hal ini sebenarnya sungguh mengherankan, karena kita tahu Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Jadi, masa hidup Asy-Syafi’i adalah masa yang masih “panas-panasnya” terjadi perebutan kekuasaan dan pergantian pemerintahan dari masa dinasti Bani Umayyah yang berpindah ke masa Bani Abbasiyyah. Sebelum masa Umayyah juga sangat terkenal konflik antara Ali dengan Muawiyah ditambah konflik Ali dengan Aisyah. Di masa sebelumnya juga terjadi upaya pelengseran Utsman dari tampuk kekuasaan karena ketidakpuasan atas kebijakan Utsman dan berakhir dengan syahidnya Utsman karena dibunuh pemberontak. Asy-Syafi’i juga pasti tahu bagaimana wafatnya Umar karena dibunuh sehingga pergantian kekuasaan waktu itu dilakukan dengan pembetukan satu komite khusus yang terdiri dari sejumlah calon pengganti Umar. Asy-Syafi’i juga pasti tahu bagaimana para shahabat nyaris berpecah antara Muhajirin dengan Anshor sebelum terpilihnya Abu Bakr sebagai Kholifah, dan semua peristiwa-peristiwa politik yang semakna.
Seharusnya peristiwa politik yang mencekam dan melahirkan banyak problem ini -jika dianggap persoalan hukum syara’- sudah semestinya dibahas oleh Asy-Syafi’i dan dicarikan jawabannya menurut dalil. Sudah pasti ada banyak pertanyaan yang harus diselesaikan terkait khilafah, misalnya,
- “Bagaimana sebenarnya cara pengangkatan seorang kholifah agar peristiwa saqifah bani Sa’idah yang mengancam persatuan kaum muslimin itu tidak sampai berulang?”,
- “Bagaimana sebenarnya hukum “istikhlaf” untuk mengangkat kholifah sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar saat menunjukk Umar sebagai penggantinya?”
- “Apakah “istikhlaf” itu sah semata-mata “istikhlaf” ataukah harus disertai dengan baiat baru sah sebagai kholifah?”
- “Bagaimana cara pengangkatan kholifah jika tidak ada “istikhlaf” karena kholifah wafat tiba-tiba seperti yang terjadi di masa Umar?”
- “Pembentukan komite calon kholifah itu status hukumnya bagaimana?”
- “Kalau dibuat semacam pemilihan umum seperti pemilhan Utsman bagaimana status hukumnya?”
- “Seperti apa status hukumnya jika kholifah langsung diangkat sebagian kaum muslimin tanpa melalui proses pemilu seperti yang terjadi pada pemilihan Ali?”
- “Bagaimana jika ada pemberontak yang memerangi kholifah yang sah kemudian pemberontak ini menang? Apakah dia menjadi penguasa sah yang baru sebagaimana kemenangan Muawiyah atau seperti kemenangan Abbasiyyah saat menggulingkan Umayyah?”
- “Bagaimana sebenarnya hukum menegakkan kekhilafahan dengan sistem monarki?”
- “Bolehkah dalam Darul Islam membentuk kelompok-kelompok yang bertujuan politis untuk meraih kekuasaan seperti kelompok syiah, khowarij, kelompok Umayyah, kelompok Abbasiyyah dan semisal dengan mereka?”
Asy-Syafi’i juga pasti tahu hukum wajibnya menegakkan hudud, wajibnya menegakkan hukum jinayat, wajibnya mengadili manusia dengan adil, wajibnya jihad dan semua hukum fikih yang membutuhkan kehadiran negara. Menjadi pertanyaan politik-fikih penting, yakni “Apakah hukum-hukum ini tidak mengharuskan dibentuk organ-organ pemerintahan seperti peradilan, militer, polisi, wali dan seterusnya yang sifatnya wajib diwujudkan?”
Dan banyak lagi problem-problem politik yang mungkin berjumlah puluhan atau bahkan mungkin ratusan yang layak untuk dibahas dan diijtihadi. Anehnya, dengan segenap latar belakang sejarah politik umat Islam “semencekam” ini, ternyata tidak ada satu hurufpun Asy-Syafi’i menulis, membahas, mengupas dan berijtihad seputar khilafah/imamah maupun pembahasan yang sifatnya menyinggung sistem pemerintahan.
Ini benar-benar menarik, karena Asy-Syafi’i dikenal kejeliannya yang luar biasa dalam membahas hukum. Membahas masalah air untuk bersuci saja Asy-Syafi’i sampai membahas berbagai fakta air seperti air hujan, air salju, air es, air sumur, air sumber, air laut, air musyammas, air yang bercampur dengan benda suci, air yang bercampur najis dan seterusnya. Padahal pembahasan tentang air ini hanya diturunkan terutama dari satu ayat dalam surah Al-Furqon; 48 yang kemudian diperkuat dengan sejumlah hadis. Dalam kitab “Ar-Risalah” Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia itu pasti ada hukumnya dan dalil dari Al-Qur’an serta As-Sunnah sudah cukup untuk menjawab semua masalah hukum itu. Oleh karena itu menjadi menarik, ajaib, dan “aneh” jika Asy-Syafi’i tidak membahas hukum khilafah dan segala sesuatu yang terkait dengannya sama sekali.
Ada sejumlah kemungkinan Asy-Syafi’i tidak membahas khilafah dalam kitab “Al-Umm”. Di antaranya adalah bisa jadi karena beliau memandang persoalan itu sebagai urusan dunia dan tidak ada kaitannya dengan dien. Khilafah memang perlu, tetapi keharusan adanya adalah didasarkan pada alasan rasional bahwa fakta hidup manusia memang perlu untuk menegakkan kekuasaan yang bisa mengurusi agama dan dunia. Pendapat bahwa khilafah harus ada karena alasan rasional bukan karena dalil adalah salah satu pendapat yang dikutip Al-Mawardi dalam kitab “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah”.
Kemungkinan yang lain, khilafah termasuk hukum syara’ hanya saja tidak dibahas Asy-Syafi’i adalah karena tema ini sangat rawan dan mengancam nyawa jika sampai dianggap mengganggu penguasa. Sudah terkenal bagaimana ujian yang menimpa imam Malik gara-gara fatwa beliau terkait politik. Asy-Syafi’i sendiri sempat hampir terbunuh karena dituduh hendak memberontak Harun Ar-Rasyid. Jika benar alasan ini, maka kejadiannya mungkin mirip dengan Ash-Shon’ani yang “terpaksa” harus mengutip pendapat-pendapat syiah zaidiyyah/hadawiyyah dalam kitab “Subulu As-Salam” karena beliau hidup dalam kekuasan pemerintah yang menganut mazhab zaidiyyah. Beliau khawatir kitabnya dibakar atau bahkan penulisnya dibunuh jika tidak memasukkan pembahasan fikih zaidiyyah di dalamnya. Kemungkinan ini bisa jadi lebih dekat karena dalam bab “shifatu al-a-immah”, Asy-Syafi’i membahas kriteria-kriteria imam salat yang memberi isyarat kriteria imamah uzhma juga. Hal ini menunjukkan bahwa masalah khilafah adalah masalah syar’i yang dibangun berdasarkan dalil, bukan urusan dunia murni. Selain itu, ulama Asy-Syafi’iyyah di masa belakangan, yakni Al-Mawardi (w. 450 H) mengarang kitab khusus tentang Imamah/Khilafah dan menjelaskan dasar-dasar syar’i menurut mazhab Asy-Syafi’i. Pada masa belakangan, An-Nawawi mengkaji serius peninggalan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah terkait imamah ini kemudian menuangkan hasil ringkasannya dalam kitab “Minhaj Ath-Tholibin” dan “Roudhotu Ath-Tholibin”, yakni dalam bab memerangi para bughot.
Ini adalah pembahasan dari sisi kemungkinan alasan terkait mengapa Asy-Syafi’i tidak membahas hukum fikih mewujudkan khilafah. Adapun dari sisi tidak dibahasnya sistem pemerintahan dalam Islam (dengan mafhum “sistem”/”nizhom” di alam pemikiran manusia zaman sekarang) dalam kitab “Al-Umm”, maka kemungkinan yang lebih logis adalah karena Asy-Syafi’i memandangnya sebagai persoalan wasilah/uslub/teknis. Oleh karena hal tersebut adalah persoalan wasilah, maka ia termasuk urusan dunia yang bisa berubah-ubah bentuknya mengikuti perkembangan zaman selama merealisasikan fungsi “hirosatud din” (menjaga agama) dan “siyasatud dun-ya” (mengurus dunia). Alasannya, Al-Qur’an telah turun dengan sempurna. Semua sunnah Nabi ﷺ yang sahih juga telah terkumpul nyaris sempurna di zaman Asy-Syafi’i dan dikuasai olehnya. Allah sendiri dalam Al-Qur’an telah menjamin terpeliharanya “adz-dzikr” sebagai petunjuk umat Islam. Kata Ibnu Hazm, “adz-dzikr” itu mencakup Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi kita harus yakin bahwa As-Sunnah telah terjaga sempurna sebagaimana Al-Qur’an, sehingga tidak ada satupun petunjuk dien yang hilang atau tidak diketahui kaum muslimin. Nah, dari seluruh ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ yang diketahui oleh Asy-Syafi’i itu, nampaknya tidak ada satupun dalil yang bisa dijadikan dasar untuk mewajibkan organ-organ tertentu dalam pemerintahan atau mengatur bentuk pemerintahan tertentu yang menjelaskan bagaimana cara pembagian kekuasaannya. Oleh karena itu, Asy-Syafi’i tidak membahasnya dan menyerahkan kepada kaum muslimin di berbagai zaman selama bisa melaksanakan tugas menerapakan hukum-hukum Islam dan merealisasikan maslahat serta mencegah mafsadat untuk kaum muslimin. Kemungkinan alasan ini lebih dekat karena sampai zaman Al-Mawardi, Al-Juwaini sampai Ibnu Taimiyyah sekalipun (artinya sampai 5 abad lebih ) tidak ada satupun di antara ulama-ulama brilian itu yang mengkonsep sistem pemerintahan tertentu yang wajib diikuti. Susah menerima penjelasan bahwa sebuah kewajiban baru ditemukan di zaman kontemporer oleh tokoh tertentu, sementara kewajiban itu “hilang” selama berabad-abad dan tidak sanggup “ditemukan” oleh para mujtahid muthlaq yang membentang panjang mulai zaman Asy-Syafi’i sampai Ibnu Taimiyyah.
Sampai di sini bisa ditegaskan bahwa Asy-Syafi’i tidak pernah membahas secara khusus topik tentang khilafah dalam “Al-Umm” apalagi topik tentang sistem pemerintahan dalam Islam.
Dengan demikian, sumber untuk mengetahui sikap Asy-Syafi’i terhadap khilafah tidak mungkin dicari di “Al-Umm”, tetapi harus dicari di sumber lain. Setelah diteliti, ternyata sikap-sikap Asy-Syafi’i yang terkait khilafah dan politik secara umum malah ada di kitab-kitab yang membahas “manaqib” dan biografi Asy-Syafi’i, yakni sikap-sikap yang diriwayatkan oleh murid-muridnya. Berikut ini secara ringkas sikap-sikap Asy-Syafi’i terkait khilafah dan politik Islam secara umum berdasarkan kajian singkat, sekilas dan terbatas yang saya lakukan.
Asy-Syafi’i memandang bahwa khilafah itu harus ada. Gunanya adalah untuk melindungi mukmin, menaungi kafir, memerangi musuh, mengamankan masyarakat, menyebarkan keadilan dengan menindak tegas si zalim dan mengambilkan hak untuk si lemah.
Hanya saja, kholifah yang diangkat harus dari keturunan Quraisy. Tidak sah Kholifah jika tidak berasal dari Quraisy. Dalam kitab Al-Minhaj, An-Nawawi mengutip pernyataan Qodhi ‘Iyadh yang menegaskan bahwa hanya ahlul bid’ah yang berpendapat kholifah tidak harus Quraisy.
Terkait dengan cara pengangkatan Kholifah, normalnya adalah dengan baiat. Hanya saja, baiat ini tidak menjadi keharusan yang menentukan keabsahan kholifah jika ada kondisi darurat. Dalam kondisi tertentu, boleh tanpa baiat. Bahkan, kekhilafahan juga bisa sah dengan kudeta/”istila’/”taghollub”/”qohr”. Selama terealisasi dua syarat, yakni kholifah dari keturunan Quraisy dan kepemimpinannya disepakati kaum muslimin maka sah-lah kekhilafahannya. Asy-Syafi’i berkata,
“Semua orang yang bisa merebut kekhilafahan dengan pedang sampai dipanggil kholifah dan disetujui oleh khalayak, maka dia adalah kholifah. Harmalah mengatakan; Yakni jika dia berasal dari Quroisy. (kaum muslimin harus) berjihad bersamanya dan salat jumat di belakangnya. Siapapun yang tidak melakukan itu, maka dia adalah pelaku bid’ah” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm 222)
Menurut Asy-Syafi’i, kholifah itu hanya lima. Lima orang yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Pernyataan ini tidak mungkin dipahami bahwa Asy-Syafi’i tidak mengakui kekhilafahan Al-Hasan, Mu’awiyah, Yazid sampai Harun Ar-Rosyid di zamannya. Yang lebih dekat adalah memahami bahwa Asy-Syafi’i memaksudkan 5 orang tersebut sebagai khulafa’ur rosyidin. Adapun kholifah selain mereka, tidak ada yang tergolong khulafa’ur rosyidin karena mereka semua adalah raja-raja yang dipanggil Khalifah secara majasi saja.
Asy-Syafi’i dikenal sangat mencintai Ali, sampai dituduh beberapa orang yang tidak suka dengan beliau sebagai bagian dari kelompok rafidhi/syi’i. Hanya saja, dalam hal keutamaan, Asy-Syafi’i tetap jujur dengan ilmunya dan mengutamakan Abu Bakar dalam kekholifahan, kemudian Umar, lalu Utsman, baru Ali.
Pada kasus perselisihan antara Ali dengan Muawiyah, Asy-Syafi’i berpendapat Ali-lah yang benar sementara Mu’awiyah berada pada pihak bughot. Hanya saja, mereka tetap disebut mukmin dan tidak boleh dihina-hina. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab “Fadhoil Ash-Shohabah” bahwa semua shahabat yang memerangi Ali pada akhir hayatnya mengaku bersalah kemudian bertaubat.
Demikianlah secara ringkas sikap Asy-Syafi’i terhadap kekhilafahan dan sikap-sikap politiknya merespon sejarah politik. Untuk mengetahui lebih dalam, tentu saja harus dilakukan penelitian serius dalam waktu yang lama dengan cara mengeksplorasi semua riwayat yang ada dalam kitab-kitab biografi Asy-Syafi’i atau kitab-kitab fikih mazhab Asy-Syafi’i yang meriwayatkan ucapan Asy-Syafi’i yang terkait khilafah dan politik Islam.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
4 Comments
Puspita
Tulisan yang mencerahkan, Ustaz. Jazakumullah khairan katsir. ?
Admin
Alhamdulillah, waiyyaki
Hilmy
Jadi bikin saya sangat rindu khilafah ?
Indra Ganie al-Hindi al-Bantani,– Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
Izinkanlah saya menulis / menebar sejumlah doa, semoga Allaah SWT mengabulkan, antara lain mempercepat kebangkitan KAUM MUSLIM, memulihkan kejayaan KAUM MUSLIM, melindungi KAUM MUSLIM dari kesesatan dan memberi KAUM MUSLIM tempat yang mulia di akhirat. Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘alamiin.
Lebih dan kurang saya mohon maaf. Semoga Allaah SWT selalu mencurahkan kasih sayang kepada KAUM MUSLIM : yang hidup maupun yang mati, di dunia maupun di akhirat – KHUSUSNYA SAYYIDINA WA NABIYYINA WA MAULAANAA MUHAMMAD SHALLALLAAHU’ALAIHI WA AALIHI WA SHAHBIHI WA UMMATIHI WA BARAKA WAS SALLAM, PARA LELUHUR BELIAU – KHUSUSNYA NABI IBRAAHIIM ‘ALAIHISSALAAM, PARA KELUARGA BELIAU – KHUSUSNYA AHLUL BAIT, PARA SAHABAT BELIAU – KHUSUSNYA KHULAFAUR RASYIDIIN, PARA SALAF AL-SHAALIH – KHUSUSNYA 10 SAHABAT YANG DIJAMIN MASUK SURGA, PARA SYUHADA – KHUSUSNYA SAYYIDINAA HAMZAH BIN ‘ABDUL MUTHTHAALIB, PARA IMAM – KHUSUSNYA 4 IMAM BESAR MADZHAB AHLUS SUNNAH & 12 IMAM BESAR MADZHAB SYI’AH, PARA WALI – KHUSUSNYA PARA ANGGOTA “WALI SONGO”, PARA ULAMA KHUSUSNYA KH HASYIM ASY’ARI (NAHDHATUL ‘ULAMA) & KH AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYAH). Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.
PEMBUKA
اشهد ان لا إله إلا الله وأشهد ان محمد رسول الله
Asyhaduu anlaa ilaaha illallaah wa asyhaduu anna muhammadarrasuulullaah
أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِِْ
A’uudzubillaahiminasysyaithaanirrajiim
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin,
Arrahmaanirrahiim
Maaliki yaumiddiin,
Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin,
Ihdinashirratal mustaqiim,
Shiraatalladziina an’amta alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladhaaliin
آمِيْن يَا اللّٰهُ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin
SHALAWAT
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِىْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَارَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, hamdan yuwaafi ni’amahu, wa yukafi maziidahu, ya rabbanaa lakal hamdu. Wa lakasysyukru kamaa yanbaghi lii jalaali wajhika, wa ‘azhiimi sulthaanika.
Dengan nama Allaah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allaah Tuhan Semesta Alam. Pujian yang sebanding dengan nikmat-nikmat-Nya dan menjamin tambahannya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, dan bagi-Mu-lah segala syukur, sebagaimana layak bagi keluhuran Zat-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.
اللهم صل و سلم و بارك على سيدنا محمد و إخوانه من الانبياء والمرسلين
وأزواجهم والهم و ذريتهم واصحابهم وامتهم أجمعين.
Allaahumma shalli wa sallim wa baarik, ‘alaa Sayyidinaa wa Nabiyyinaa wa Maulaanaa wa Maulaanaa Muhammadin wa ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wa azwaajihim wa aalihim wa dzurriyyaatihim wa ash-haabihim wa ummatihim ajma’iin.
Ya Allaah, berilah shalawat serta keselamatan dan keberkahan, untuk junjungan, nabi dan pemimpin kami Muhammad SAW dan saudara-saudaranya dari para Nabi dan Rasul, dan istri-istri mereka semua, keluarga mereka, turunan-turunan mereka, dan sahabat-sahabat dari semua Nabi dan Rasul, termasuk Sahabat-Sahabatnya Nabi Muhammad semua dan semua yang terkait dengan Nabi Muhammad SAW.
RAGAM DOA
اللَّهُمَّ اِنَّا
نَسْئَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ
اللَّهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ الْجَنَّةَ
وَ نعوذبك
بِكَ مِنَ النَّارِ
Allaahumma innaa nas-aluka bi-anna lakal hamda, laa ilaha illa anta al-mannaan badii’us samaawaati wal ardhi, yaa dzal jalaali wal ikram, yaa hayyu yaa qayyum. Allahumma innaa nas-alukal jannata wa na’uudzubika minannaar.
Ya Allaah, kami meminta pada-Mu karena segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Banyak Memberi Karunia, Yang Menciptakan langit dan bumi, Wahai Allaah yang Maha Mulia dan Penuh Kemuliaan, Ya Hayyu Ya Qayyum –Yang Maha Hidup dan Tidak Bergantung pada Makhluk-Nya. Ya Allaah, kami memohon kepada Engkau surga, dan berlindung kepada Engkau dari neraka.
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
ALLAAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QAYYUUMU. LAA TA’KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM. LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA FIL ARDHI. MAN DZAL LADZII YASYFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI. YA’LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WA MAA KHALFAHUM. WA LAA YUHITHUUNA BI SYAI-IN MIN ‘ILMIHII ILLAA BI MAASYAA-A. WASI’A KURSIYYUHUSSAMAAWAATI WAL ARDHA. WA LAA YA-UDHUU HIFZHUHUMAA WAHUWAL ‘ALIYYUL AZHIIM.
Allaah, tidak ada Tuhan (yang berhak atau boleh disembah), melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Yang tidak mengantuk dan tidak juga tertidur. Kepunyaan-Nya adalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allaah tanpa izin-Nya.
Sesungguhnya Allaah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allaah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allaah meliputi langit dan bumi. Dan Allaah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allaah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Surat Al-Baqarah ayat 255).
اللَّهُمَّ
إنا نعوذبك مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Allaahumma innaa na’uudzubika min ‘adzaabi jahannam, wamin ‘adzaabil qabri, wamin fitnatil mahya wal mamaati, wa min syarri fitnatil masiihid dajjal.
Ya Allaah kami berlindung kepada Engkau dari azab Jahannam, siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari keburukan fitnah Al-Masih Dajjal.
ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ‘ALAYYA MIN KHAZAA INI RAHMATIKA YAA ARHAMAR-RAAHIMIIN.
Ya Allaah bukakanlah bagiku hikmah-Mu dan limpahkanlah padaku keberkahan-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang
رَبِّ إِنِّيْ لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرِ فَقِيْرٌ
RABBI INNII LIMAA ANZALTA ILAYYA MIN KHAIRIN FAQIIR.
Ya Rabb, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْ بَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَ يْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُ نْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Rabbanaa laa tuzigh qulubanaa ba’da idz hadaitanaa wahab lanaa min ladunka rahmatan innaka antal-wahhaab.
Ya Allaah Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan kami sesudah mendapatkan petunjuk, berilah kami karunia. Engkaulah Yang Maha Pemurah. (QS. Ali Imran [3]:8)
رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ
Rabbanaa waj’alnaa muslimaini laka wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimatal laka.
Ya Tuhan, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan jadikanlah pula keturunan kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu.
Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaaf: 15).
رَبَّنَا غْفِرْلَنَا وَلِوَالِدِيْنَ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ أَلْأَ حْيَآءِمِنْهُمْ وَاْلأَ مْوَاتِ, اِنَّكَ عَلَى قُلِّ ثَيْءٍقَدِيْرِ
Rabbanaghfir lana wa li walidiina wa li jamii’il-muslimiina wal-muslimaati wal-mu’miniina wal-mu’miniati al-ahyaa-i minhum wal amwaat innaka ‘ala qulli syai- in qadiir.
Ya Allaah ya Tuhan kami, ampunilah segala dosa kami dan segala dosa orang tua kami, dan bagi semua Muslim lelaki dan Muslim perempuan dan mu’min lelaki dan mu’min perempuan, yang masih hidup maupun yang sudah mati. Sesungguhnya Engkau Zat Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Ya Allaah, terimalah amal saleh kami, ampunilah amal salah kami, wujudkanlah niat kami, rahasiakanlah cela kami, mudahkanlah urusan kami, lindungilah kepentingan kami, ridhailah kegiatan kami, angkatlah derajat kami dan hilangkanlah masalah kami.Sekarang dan selamanya.
Ya Allaah, berilah kami kesanggupan dalam menjalani berbagai ragam / corak kehidupan ini. Berilah impahkan Kasih Sayang-MU kepada kami, sehingga kami bisa mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang selalu membawa kebaikan buat kami. Sekarang dan selamanya.
Ya Allaah, tetapkanlah kami selamanya menjadi Muslim, tetapkanlah kami selamanya dalam agama yang kau ridhai – Islam, tetapkanlah kami selamanya menjadi umat dari manusia yang paling engkau muliakan – Sayyidinaa wa Nabiyyinaa wa Maulaanaa Muhammad Shallallaahu’alaihi wa aalihi wa shahbihi wa ummatihi, wa baraka wassallam.
اللَّهُمَّ اِنَّا
نَسْئَلُكَ إِيْمَانًا لَا يَرْتَدُّ وَنَعِيْمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةُ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَمُرَافَقَةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى
جنة الْخُلْدِ
Allaahumma innaa nas-aluka iimaanan laa yartaddu wa na’iiman laa yanfadu wa qurrota ‘ainin laa tanqathi’u wa muraafaqata nabiyyika Muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallam fii a’laa jannati khuldi.
Ya Allaah, kami memohon kepada-Mu keimanan yang tidak pernah berbalik kepada kekufuran; kenikmatan yang tidak pernah habis; cindera mata kebahagiaan yang tiada berakhir dan kenikmatan untuk dapat mendampingi Nabi Muhammad SAW di dalam surga yang paling tinggi nan kekal abadi. (Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Nasha’ihul ‘Ibad).
Ya Allaah, berilah pelajaran keras sekaligus dapat menyadarkan siapapun yang telah dan sedang zhalim / jahat kepada kaum Muslim, bahwa kaum Muslim layak dihormati – bahkan dicintai siapapun.
Ya Allaah, batalkanlah niat siapapun yang akan zhalim / jahat kepada kaum Muslim. Sekarang dan selamanya.
Ya Allaah, percepatlah kebangkitan KAUM MUSLIM. Pulihkanlah kejayaan KAUM MUSLIM, Lindungilah KAUM MUSLIM dari kesesatan – terutama dari perpecahah dan kemurtadan, serta berilah KAUM MUSLIM tempat mulia di akhirat.
Ya Allaah, jadikanlah INDONESIA DAN DUNIA MUSLIM tetap dimiliki KAUM MUSLIM, Jadikanlah INDONESIA DAN DUNIA MUSLIM baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Jadikanlah DUNIA NON MUSLIM dimiliki KAUM MUSLIM. Jadikanlah musuh Islam ditaklukan KAUM MUSLIM. Ya Allaah, jadikanlah MUSLIM AHLUS SUNNAH WAL JAMAA’AH sebagai pemimpin sedunia – khususnya dunia Muslim. Ya Allaah, jadikanlah karakter ISLAM NUSANTARA (NU) dan ISLAM BERKEMAJUAN (MUHAMMADIYAH) sebagai standar / acuan norma sedunia – khususnya dunia Muslim. Ya Allaah, jadikanlah INDONESIA sebagai standar / acuan kebajikan sedunia – khususnya dunia Muslim. Sekarang dan selamanya.
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَصِحَّةً فِى الْبَدَنِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ. اَللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِىْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ
Allaahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiini waddun-yaa wal aakhirati wa ’aafiyatan fil jasadi wa shihhatan fil badani wa ziyaadatan fil ‘ilmi wabarakatan firrizqi wa taubatan qablal mauti, wa rahmatan ‘indal mauti, wa maghfiratan ba’dal maut. Allaahuma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti, wannajaata minannaari wal ‘afwa ‘indal hisaab.
Ya Allaah, sesungguhnya kami memohon pada-Mu keselamatan dalam agama, dunia, akhirat, ke’afiyatan jasmani, kesehatan badan, bertambah ilmu pengetahuan, rezeki yang berkat, diterima taubat sebelum mati, dapat rahmat ketika mati dan dapat ampunan setelah mati. Ya Allah, mudahkanlah kami pada waktu sekarat dan selamatkanlah kami dari api neraka serta kami mohon kemaafan ketika dihisab.
اللَّهُمَّ
اِنَّا نَسْئَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
ALLAHUMMA INNAA NAS-ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AAFIYAH FID DIINI WAD DUN-YA WAL AAKHIRAH.
Ya Allaah kami berharap kemaafan dan himpunan kebaikan dalam agama, dunia dan akhirat.
اَللّهُمَّ اخْتِمْ لَنَا بِاْلاِسْلاَمِ وَاخْتِمْ لَنَا بِاْلاِيْمَانِ وَاخْتِمْ لَنَا بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ
Allaahummakhtim lanaa bil-islaami wakhtim lanaa bil-iimaani wakhtim lanaa bi husnil khaatimati.
Ya Allaah, akhirilah hidup kami dengan Islam, akhirilah hidup kami dengan membawa iman, akhirilah hidup kami dengan husnul khaatimah.
اللهم إنا نسئلك رضاك والجنة
ونعوذبك من سخطك والنار
Allaahuma innaa nas-aluka ridhaaka waljannata wana’uudzubika min shakhkhathika wannaar.
Ya Allaah, sesungguhnya kami mohon keridhaan-Mu dan surga, kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.
Allaahumma ashlih lanaa diinanal ladzii huwa ‘ishmatu amrina Wa ashlih lanaa dun-yaanal latii fii haa ma’asyunaa. Wa ashlih lanaa aakhiratanal latii ilaihaa ma’aadunaa. Waj’alil hayaata ziyadatan lanaa fii kulli khairin. Waj’alil mauta raahatan lanaa min kulli syarrin
Ya Allaah, perbaikilah agama kami karena itulah pedoman untuk urusan kami, Dan perbaikilah dunia kami karena itulah kehidupan kami. Dan perbaikilah akhirat kami karena itulah tujuan kami. Jadikanlah hidup kami sebagai tambahan kebajikan. Jadikanlah mati kami sebagi istirahat dari segala keburukan.
Ya Allaah, curahkanlah kami rezeki yang barakah, salamah dan karamah. Jika di langit, turunkanlah. Jika di bumi, keluarkanlah. Jika sulit, permudahlah. Jika jauh, dekatkanlah. Jika dekat, satukanlah. Jika sedikit, banyakkanlah. Jika haram, sucikanlah sekaligus halalkanlah. Sekarang dan selamanya.
Ya Allaah. Berilah kami kesehatan yang prima, kecerdasan yang serba bisa, kekuasaan yang menjaga, kekayaan yang berlipat ganda, pasangan yang sempurna dan keturunan yang berguna. Sekarang dan selamanya.
أَللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلغَلاَءَ وَالْبَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَلْمُنْكَرَ وَالسُّيُوْفَ اْلمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ مَا ضَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ, مِنْ بَلَدِنَاخَآصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً, إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرِ. غَفَرَ اللهُ لَنَ وَلَهُمْ, بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allahummaadfa’ ‘annal-ghalaa a wal balaa a wal wabaa a wal fahsyawa a wal-munkara was-suyufal-mukhtalifata wasy-syadaa-ida wal-mihana maa zhahara minha wa maa bathana, min baladinaa khaashatan wa min buldanil-muslimiina ’ammatan, innaka ‘ala kulli syai-in qadiir. Ghafarallaahu lana wa lahum birahmatika yaa arhamar-raahimiin.
Ya Allaah yang menghilangkan segala ‘bebendu’ (penderitaan / kesengsaraan), cobaan, kesusahan, kejelekan, kemungkaran, kekeliruan yang bermacam-macam, kesedihan, cobaan yang tampak serta cobaan yang tidak tampak dari negeri kami khususnya, dan umumnya dari negeri-negeri kaum Muslim, sesungguhnya Engkau Ya Allaah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allaah memberikan ampunan bagi kami dan mereka semua dengan Rahmat-MU Ya Allaah, wahai Zat Yang Maha Rahiim.”
YA ALLAAH, IZINKANLAH SEGALA NAMA TERBAIK-MU – ASMAA ALLAAH AL-HUSNA – SEKALIGUS SEGALA NAMA DAN GELAR SAYYIDINAA WA NABIYYINAA WA MAULAANAA MUHAMMAD SHALLALLAAHU’ALAIHI WA AALIHI WA SHAHBIHI WA UMMATIHI WA BARAKA WAS SALLAM MEWUJUDKAN KASIH SAYANG-MU SEMISAL BARAKAH, SALAMAH DAN KARAMAH KE SEANTERO SEMESTA – KHUSUSNYA BAGI KAMI, KELUARGA KAMI, NEGARA KAMI, BANGSA KAMI DAN UMAT SEAGAMA KAMI.SEKARANG DAN SELAMANYA.
YA ALLAAH, CURAHKANLAH SEGALA KASIH SAYANG-MU KE SEANTERO SEMESTA – KHUSUSNYA KAMI, KELUARGA KAMI, NEGARA KAMI, BANGSA KAMI, DAN UMAT SEAGAMA KAMI. SEKARANG DAN SELAMANYA.
YA ALLAAH, LINDUNGILAH / BEBASKANLAH SEANTERO SEMESTA DARI SEGALA BENCANA – KHUSUSNYA KAMI, KELUARGA KAMI, NEGARA KAMI, BANGSA KAMI, DAN UMAT SEAGAMA KAMI. SEKARANG DAN SELAMANYA.
—— doa khusus untuk PARA NABI, PARA KELUARGANYA, PARA SAHABATNYA, SEMUA YANG BERJASA PADA (PARA) NABI, PARA SALAF AL-SHAALIH, PARA SYUHADA, PARA WALI, PARA HABAIB, PARA IMAM, PARA ULAMA DAN SEMUA YANG BERJASA PADA ISLAM, SERTA SEMUA MUSLIM SALEH YANG (TELAH) WAFAT. Semoga Allaah selalu mencurahkan kasih sayang kepada mereka.
ALLAAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA’AAFIHIM WA’FU ‘ANHUM
ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUM WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUM WAGHFIRLANAA WALAHUM
———————
—— doa khusus untuk SELURUH RAKYAT INDONESIA YANG MENJADI KORBAN PENJAJAH 1511 – 1962, terutama anggota keluarga besar M HOESEN – NYI MAS MOERTASIAH yaitu RADEN SOEPARDAN (WAFAT 08/04/1946) dan HIDAJAT W (WAFAT 24/10/1947). Semoga Allaah selalu mencurahkan kasih sayang kepada mereka.
ALLAAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA’AAFIHIM WA’FU ‘ANHUM
ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUM WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUM WAGHFIRLANAA WALAHUM
———————
PENUTUP
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآ خِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِوَأَدْخِلْنَا الجَنَّةَ مَعَ اْلأَبْرَارِ
Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaabannaar wa adkhilnal jannata ma’al abraar.
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksaan neraka serta masukanlah kami ke surga bersama orang-orang baik.
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Rabbanaa taqabbal minna innaka antassamii’ul ‘aliimu wa tub’alainaa innaka antattawwaaburrahiim.
Tuhan kami, perkenankanlah doa-doa kami, karena sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.
Washshalallaahu ‘alaa sayyidinaa wa nabiyyinaa wa maulaanaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa ummatihi wa baraka wassallam.
Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada junjungan, nabi dan pemimpin kami Muhammad s.a.w, atas keluarganya, sahabatnya dan umatnya semuanya.
HASBUNALLAAH WANI’MAL WAKIIL NI’MAL MAULA WANI’MAN NASHIIR.
Cukuplah Allaah menjadi Penolong kami dan Allaah adalah sebaik-baik Pelindung, Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
سُبْحَانَ رَبِّكِ رَبِّ الْعِزَةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الانبياء وَ الْمُرْ سَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Subhana rabbika rabbil ‘izzati, ‘amma yasifuuna wa salamun ‘alal anbiyaa-i wal mursaliin, walhamdulillahirabbil ‘aalamiin.
آمِيْن يَا اللّٰهُ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.
Indra Ganie al-Hindi al-Bantani – Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten,