Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Yang dimaksud ortografi Arab secara mudah adalah “ilmu yang membahas tentang sistem penulisan lafaz Arab”. Dalam khazanah kaum muslimin, ilmu yang mengupas soal dunia tulis menulis dengan segala tetek bengek-nya biasanya dibahas dalam ilmu “imla’”, ilmu “khoth”, ilmu “insya’”, ilmu “dhobth”, ilmu “tash-hif wa tahrif”, dan semisalnya. Jadi, judul “ortografi Arab” yang saya ambil sebenarnya tidak membahas tuntas cakupan ilmu ini. Tetapi sebenarnya hanya mengupas secara lebih serius salah satu sub-bab pembahasannya. Lebih tepatnya, tulisan kali ini sebenarnya adalah bentuk pengembangan dari artikel saya yang pernah dipublikasikan seputar “dhobth” yang berjudul “Memahami Seputar Dhobth“. Dengan bahasa lain, bolehlah judul artikel ini diganti menjadi “mengenal kaidah dan cara melakukan dhobth lafaz Arab”.
Untuk bisa melafalkan tulisan Arab secara akurat, baik melafalkan konsonan maupun vokalnya, tentu saja pertama-tama kita harus mengenal huruf-huruf Arab (arabic letters) yang mencerminkan konsonan dan sistem harokatnya (vowels) yang mencerminkan vokal. Yang dimaksud disini bukan pembahasan fonologinya, tetapi identifikasi huruf dan harokat yang membuat kita mampu melafalkan sesuai dengan huruf yang tertulis (tidak salah terka huruf) dan harokat yang tertulis (tidak sampai salah terka harokat).
Pada zaman sekarang, dengan kemajuan teknologi dan kemapanan ilmu ortografi, praktis cara pelafalan huruf Arab sudah tidak mengalami masalah yang berarti karena setiap huruf sudah dibedakan secara tegas dengan bentuk-bentuk tertentu, penandaan titik dan pemberian harokat.
Adapun pada zaman dulu, ketika titik dan harokat masih belum mapan dikembangkan, yakni ketika huruf Arab masih berupa huruf “gundul” tanpa harokat bahkan tanpa titik, maka tidak semua orang bisa melafalkan tulisan Arab dengan baik. Yang terjadi adalah banyaknya orang yang keliru melafalkan karena belum terbiasa dengan gaya tulisan yang dipakai oleh para ulama klasik. Berangkat dari masalah inilah, demi menjaga kekeliruan cara pelafalan, maka para ulama menjelaskan cara melafalkannya dengan cara melakukan “dhobth” huruf dan harokat. Cara ini masih banyak dipakai dalam kitab-kitab turots Islam dan manuskrip, sehingga menjadi penting bagi kita saat ini untuk mengkajinya supaya tidak keliru dalam memecahkan istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama tersebut. Terutama bagi siapapun yang terbiasa menggeluti manuskrip Islam dan kitab-kitab lama.
SUMBER ILMU “DHOBTH”
Pembahasan seputar “dhobth” lafaz terserak-serak dalam berbagai macam kitab ulama. Belum terkumpul dalam satu kitab tersendiri. Secara ringkas, kaidah ilmu ini bisa dilacak dan dikumpulkan dari 5 macam kitab, yaitu,
Pertama, kitab-kitab yang dikarang untuk mengoreksi “tash-hif” dan “tahrif” misalnya kitab “Syarhu Ma Yaqo’u fihi At-Tash-hif wa At-Tahrif” karya Al-‘Askari.
Kedua, kitab-kitab mustholah hadis , terutama saat membahas nama-nama perawi yang mungkin dilafalkan secara salah, atau lafaz-lafaz hadis tertentu yang mungkin dilafalkan secara salah. Contoh kitab-kitab jenis ini adalah “Fathu Al-Mughits” karya As-Sakhowi, “Tadribu Ar-Rowi “ karya As-Suyuthi, “Al-Mu’talif wa Al-Mukhtalif” karya Al-Amidi, “Tabshiru Al-Muntabih bi Tahriri Al-Musytabih” karya Ibnu Hajar, dan “Taudhihu Al-Musytabih” karya Ibnu Nashiriddin.
Ketiga, kitab-kitab Imla’ seperti “Al-Matholi’ An-Nashriyyah” karya Al-Hurini, dan “Shubhu Al-A’sya’ karya Al-Qolqosyandi.
Keempat, kitab-kitab yang salah satu subbabnya memberi perhatian terhadap huruf Arab seperti “Sirru Shina’ati Al-I’rob” karya Ibnu Jinni, “Naqthu Al-Mashohif” karya Abu ‘Amr Ad-Dani, “Lisanu Al-‘Arob” karya Ibnu Manzhur, “Tanbihu Al-Ghofilin” karya Ash-Shofaqusi, “Dhobthu Al-A’lam” karya Ahmad Taimur Basya, dan“Al-Wafi bi Al-Wafayat” karya Ash-Shofadi.
Kelima, kitab-kitab tahqiq turots misalnya “Tahqiqu An-Nushush wa Nasyruha” karya Abdus Salam Harun, “Madkol Ila tarikhi Nasyri At-Turots Al-‘Arobi Ma’a Muhadhorotin ‘an At-Tash-hif wa At-Tahrif” karya Mahmud Ath-Thonahi, “Manahiju Tahqiqi At-Turots baina Al-Qudama wa Al-Muhdatsin” karya Romadhon Abdut Tawwab, “Tahqiq Nushush At-Turots fi Al-Qodim wa Al-Hadits” karya Ash-Shodiq Abdurrahman Al-Ghiryani, “Tautsiqu An-Nushush wa Dhobthuha ‘inda Al-Muhadditsin” karya Muwaffaq bin Abdullah, dan “Manhaju Tahqiqi Al-Makhthuthot” karya Iyad Kholid Ath-Thobba’.
SEKILAS PENULISAN HURUF ARAB
Huruf Arab itu berjumlah 28 atau 29 (ada ikhtilaf dalam hal ini). Jumlah huruf ini dalam tulisan Arab modern juga dinyatakan dalam 29 bentuk huruf. Akan tetap dalam “khoth” (tulisan) orang Arab klasik, dari 28 atau 29 huruf ini, mereka hanya membuat 19 bentuk huruf saja, tidak 28 atau 29. Tujuan inovasi ini sederhana saja yaitu untuk maksud meringkas (ikhtishor) dan mengefisienkan waktu. Konsekuensinya, ada satu bentuk yang mewakili lebih dari satu huruf. Berikut ini rincian bentuk tulisan huruf yang mewakili beberapa huruf.
Ba’, ta’, tsa’ (ب، ت، ث) diwakili satu bentuk, yakni bentuk seperti huruf ba’ tanpa titik.
Jim, ha’, kho (ج، ح، خ) diwakili satu bentuk yakni bentuk seperti huruf ha’.
Dal, dzal (د، ذ) diwakili satu bentuk yakni bentuk huruf dal.
Ro’, zay (ر، ز) diwakili satu bentuk yakni bentuk seperti huruf ro’.
Sin, syin (س، ش) diwakili satu bentuk yakni bentuk huruf sin.
Shod, dhod (ص، ض) diwakili satu bentuk, yakni bentuk huruf shod.
Tho, zho (ط، ظ) diwakili satu bentuk, yakni bentuk huruf tho’.
‘ain, ghoin (ع، غ) diwakili satu bentuk, yakni bentuk huruf ‘ain.
Fa’, qof (ف، ق) diwakili satu bentuk yakni bentuk huruf fa’ tanpa titik.
Huruf sisanya “dimiliki” sendiri oleh masing-masing, tidak “berserikat’ dengan huruf lainnya sehingga jumlah total bentuk tulisan Arab klasik adalah 19 buah bentuk huruf. Gagasan menciptakan hanya 19 huruf ini dilakukan dengan maksud meringkas seperti yang telah saya singgung di atas sebagaimana diterangkan Al-Qolqosyandi dalam kitab “Shubhu Al-A’sya”.
KAIDAH UMUM TERKAIT ISTILAH “DHOBTH”
Perlu ditegaskan kembali, tulisan Arab klasik itu tidak memiliki titik dan harokat. Oleh karena itu, para ulama yang menerangkan cara pelafalan sebuah kata menciptakan sejumlah istilah untuk menyebut titik dan harokat agar huruf yang dimaksud dalam tulisan bisa dilafalkan secara akurat. Secara ringkas istilah-istilah yang mereka pakai adalah sebagai berikut.
Huruf yang bertitik mereka sebut dengan istilah “mu’jam” (المعجم) atau “manquth” (المنقوط)
Huruf yang tidak bertitik mereka sebut dengan istilah “muhmal” (المهمل) atau “mughfal” (المغفل)
Jika ada huruf yang titiknya cuma satu, maka mereka menyebutnya ”muwahhadah” (الموحدة)
Jika ada huruf yang titiknya dua, maka mereka menyebutnya ”mutsannat” (المثناة)
Jika ada huruf yang titiknya tiga, maka mereka menyebutnya ”mutsallatsah” (المثلثة)
Hanya saja tidak semua yang bertitik disebut “mu’jam” dan tidak semua yang tidak bertitik disebut “muhmal”. Ini adalah kaidah umum saja.
CARA MEMBACA HURUF-HURUF KHUSUS
Oleh karena satu bentuk tulisan huruf kadang mewakili beberapa huruf, maka pada saat menerangkan huruf-huruf yang berpeluang menimbulkan ambiguitas, para ulama menciptakan istilah khusus untuk menyebut huruf-huruf tertentu. Istilah ini perlu kita kenali dan kita hafalkan untuk memudahkan pemahaman saat berinteraksi dengan kitab-kitab mereka. Berikut istilah-istilah khusus yang diciptakan oleh mereka untuk menyebut huruf-huruf “khusus” tersebut.
Ba’(ب)= diistilahkan dengan sebutan “ba’ muwahhadah” (الباء الموحدة) atau “ba’ biwahidah” (الباء بواحدة). Kadang disebut “tsani/tsaniyah al huruf” (ثانية الحروف) untuk menunjukkan bahwa huruf ini berada pada urutan kedua dalam sistem alfabetik Arab.
Ta’(ت)= diistilahkan dengan sebutan “ta’ mutsannat min fauqiha” (التاء المثناة من فوقها) atau “ta’ mutsannat min fauq” (التاء المثناة من فوق) atau “ta’ mutsannat fauqiyyah” (التاء المثناة الفوقية) atau “ta’ mutsannat fauqoniyyah” (التاء المثناة الفوقانية). Kadang disebut “tsalitsu/tsalitsatu al-huruf” (ثالثة الحروف) untuk menunjukkan bahwa huruf ini berada pada urutan ketiga dalam sistem alfabetik Arab. Kadang disebut “ta’ maftuhah” (التاء المفتوحة) -yaitu lawan “ta’ marbuthoh” (التاء المربوطة) yang mana “ta’ marbuthoh” ini memiliki nama lain “ha’ mundarijah taa-an” (الهاء المندرجة تاء)- atau “ta’ mamthuthoh” (التاء الممطوطة) atau “ta’ mabsuthoh” (التاء المبسوطة) atau “ta’ majdzubah” (التاء المجذوبة) atau “ta’ majburoh” (التاء المجبورة).
Tsa’(ث)= diistilahkan dengan sebutan “tsa’ mutsallatsah” (الثاء المثلثة). Kadang disebut “robi’ /robi’atu al-huruf “(رابعة الحروف) untuk menunjukkan bahwa huruf ini berada pada urutan keempat dalam sistem alfabetik Arab.
Jim (ج)= kadang juga diistilahkan dengan sebutan “mu’atthosyah”| (المعطشة).
Ro’ (ر)= diistilahkan dengan sebutan “ro’ muhmalah” (الراء المهملة) dan kadang juga diistilahkan dengan sebutan “mukarroroh” (المكررة).
Shod (ص)= diistilahkan dengan sebutan “shod muhmalah” (الصاد المهملة) dan kadang juga diistilahkan dengan sebutan”kholishoh” (الخالصة).
Dhod (ض)= diistilahkan dengan sebutan “dhod mu’jamah” (الضاد المعجمة) dan kadang juga diistilahkan dengan sebutan “dhod saqithoh” (الضاد الساقطة) atau “dhod munbathihah” (الضاد المنبطحة).
Tho’ (ط)= diistilahkan dengan sebutan “tho’ muhmalah” (الطاء المهملة) dan kadang juga diistilahkan dengan sebutan “tho’ musyaalah” (الطاء المشالة).
Zho’(ظ)= diistilahkan dengan sebutan “zho’ mu’jamah” (الظاء المعجمة) dan kadang juga diistilahkan dengan sebutan “zho’ qo-imah” (الظاء القائمة).
Qof (ق)= kadang juga diistilahkan dengan sebutan ”ma’qudah” (المعقودة).
Ha’(ه)= kadang juga diistilahkan dengan sebutan “ha’ shorihah” (الهاء الصريحة).
Ya’(ي)= diistilahkan dengan sebutan “ya’ mutsannat min tahtiha (الياء المثناة من تحتها) atau “ya’ mutsannat min taht” (الياء المثناة من تحت) atau “ ya’ mutsannat tahtiyyah” (الياء المثناة التحتية). Kadang disebut “akhirul huruf” (آخر الحروف) atau “akhirul huruf at-tahtiyyah” (آخر الحروف التحتية) untuk menunjukkan bahwa huruf ini berada pada urutan terakhir dalam sistem alfabetik Arab.
Ini semua adalah penjelasan istilah yang dipakai ulama untuk menyebut huruf-huruf tertentu dalam bahasa Arab.
Adapun istilah yang dipakai untuk menyebut harokat, maka ini lebih sederhana. Untuk “dhommah” biasanya pakai lafaz “dhomm” (الضم) atau dijadikan sifat menjadi “madhmumah” (المضمومة). Untuk “fathah” biasanya pakai lafaz “fath” (الفتح) atau dijadikan sifat menjadi “maftuhah” (المفتوحة). Untuk “kasroh” biasanya pakai lafaz “kasr” (الكسر) atau dijadikan sifat menjadi “maksuroh” (المكسورة). Untuk “sukun” biasanya pakai lafaz “sukun” (السكون) atau “taskin” (التسكين) atau dijadikan sifat menjadi “maskunah” (المسكونة) atau “musakkanah” (المسكنة).
METODE PARA ULAMA DALAM MENDESKRIPSIKAN HURUF ARAB DAN HAROKATNYA
Tulisan pada bagian ini adalah praktek dan penggunaan kaidah umum yang diterangkan di atas. Sudah disinggung sebelumnya bahwa tulisan Arab klasik karena sistemnya meringkas beberapa huruf yang mirip menjadi satu bentuk tulisan, hal itu berpeluang menciptakan ambiguitas sehingga membuat orang bisa salah baca. Demi mencegah kesalahan melafalkan, para ulama mendeskripsikan huruf yang berpotensi ambigu tersebut dengan istilah-istilah khas yang mereka ciptakan. Jadi deskripsi yang mereka lakukan tujuannya adalah melakukan “tamyiz lafzhi” (membedakan lafaz) agar orang tidak salah membaca huruf.
Jika diamati bagaimana cara-cara para ulama dalam mendeskripsikan huruf dan harokatnya dalam kitab-kitab mereka, maka secara ringkas metode mereka bisa simpulkan menjadi empat cara saja yaitu,
Pertama, menyebutkan nama huruf saja (jika sudah cukup menjelaskan dan tidak menimbulkan ambiguitas). Contoh,
“Hamzah dan Al-Kisa-i membaca ‘nasyaron’ dengan nun dan memfathahkannya” (Tafsir Al-Baghowi, juz 3 hlm 238)
Dalam contoh di atas, Al-Baghowi hanya menyebut nama huruf saja yaitu “nun” dan tidak memberi keterangan tambahan karena bentuk huruf “nun” memang hanya dimiliki oleh “nun” saja, tidak “berserikat” dengan huruf yang lain.
Kedua, menyebutkan sifat huruf saja. Sifat ini bisa berupa keterangan bahwa hurufnya bertitik atau tidak bertitik. Bisa juga berupa keterangan jumlah titik dalam huruf tersebut. Contoh,
“Namanya Ghoniyyah, dengan memfathahkan mu’jamah” (Intiqodh Al-I’tirodh, juz 1 hlm 137)
Dalam contoh di atas, Ibnu Hajar hanya menyebut sifat huruf yaitu “mu’jamah”. Makna “mu’jamah” adalah bertitik. Maksudnya dalam konteks ini adalah “ghoin” agar terbedakan dengan ‘ain, karena bedanya “ghoin” dengan ‘ain hanya pada titik saja.
“Tsabir dengan huruf tsa’ yang difathahkan”(At-Taudhih, juz 12 hlm 14)
Dalam contoh di atas, Ash-Shon’ani hanya menyebut sifat huruf yaitu “mutsallatsah”. Makna “mutsallatsah” adalah “yang bertitik tiga”. Maksudnya dalam konteks ini adalah huruf tsa’, untuk membedakan dengan ta’ yang bertitik dua dan ba’ yang bertitik satu.
Ketiga, menyebut nama huruf sekaligus sifatnya dari sisi apakah bertitik ataukah tidak. Jika diperlukan, jumlah titik ini diterangkan (apakah satu, dua ataukah tiga). Jika masih ambigu, maka diterangkan lokasi titiknya (apakah di bawah ataukah di atas)
“Asyhal bin Hatim adalah dengan huruf syin’ mu’jamah (Matholi’ Al-Anwar, juz 1 hlm 383)
Dalam contoh di atas, Ibnu Qurqul menyebut nama huruf yaitu “syin” sekaligus sifatnya, yakni “mu’jamah” untuk membedakan dengan “sin” yang tidak bertitik.
“Adapun ri’yan, maka lafaz ini dibaca dengan 5 cara karena lafaz tersebut bisa dibaca dengan ro’ yang pada bagian atasnya tidak ada titiknya atau dengan zay yang di atasnya ada titiknya”
(Mafatih Al-Ghoib, juz 21 hlm 561)
Dalam contoh di atas, Ar-Rozi menyebut nama huruf yaitu ro’ sekaligus sifatnya, yakni “allati laisa fauqoha nuqthoh” (yang pada bagian atasnya tidak ada titiknya).
“Dutsur adalah dengan huruf tsa’. Bentuk tunggalnya datsarun” (juz 5, hlm 92)
Dalam contoh di atas, An-Nawawi menyebut nama huruf yaitu “tsa’ sekaligus sifatnya yaitu “mutsallatsah” yang bermakna “bertitik tiga”, untuk membedakan dengan ta’ yang bertitik dua dan ba’ yang bertitik satu.
“dari Jabir bin ‘Atik, dengan memfathahkan ‘ain dan mengkasrohkan ta’ (Mirqot Al-Mafatih, juz 5 hlm 255)
Dalam contoh di atas, Ubaidullah Al-Mubarokfuri menyebut nama huruf yaitu ‘ain sekaligus sifatnya yaitu “muhmalah” yang bermakna “tidak bertitik” untuk membedakan dengan “ghoin” yang bertitik.
Keempat, menganalogkan pada wazan tertentu. Contoh,
“Kholid bin Kholy adalah dengan memfathahkan kho’ dengan wazan Aly”(Intiqodh Al-I’tirodh, juz hlm 126)
Dalam contoh di atas, Ibnu Hajar menganalogkan cara membaca “kholiyy” dengan kata ‘Aliyy. Wallahua’lam