Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di antara ciri/karakter/sifat/watak orang salih, yang berilmu, yang bebas dari kepentingan duniawi, yang beramal ikhlas karena Allah tanpa mengharap tepuk tangan manusia, yang bersih dari semangat “ashobiyyah”/fanatisme golongan dan “munshif” (adil) adalah membela orang saleh yang lain yang dicitrakan buruk secara tidak proporsional. Perbuatannya ini tergolong membela kehormatan muslim dan melaksanakan perintah Nabi ﷺ untuk menghilangkan kezaliman. Ia tidak peduli untuk tetap menegur orang yang merendahkan kehormatan orang salih tersebut meski dia adalah seorang tokoh besar dan berilmu sangat tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Dari “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata “Rasulullah ﷺ bersabda: “Tolonglah saudaramu baik yang zalim maupun yang dizalimi,” para shahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya: “Wahai Rasulullah, aku paham perintah menolong orang yang dizalimi, maka bagaimanakah caraku menolong orang yang menzalimi?” beliau menjawab: “Kamu mencegahnya (untuk tidak melakukan kezaliman) maka itulah bentuk pertolongan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Kisah seperti ini pernah dilakukan Imam Ahmad, saat membela imam Asy-Syafi’i dari celaan Yahya bin Ma’in.
Semua orang tahu bahwa Yahya bin Ma’in bukanlah orang sembarangan. Beliau adalah ulama besar yang sangat dihormati dan dikenal sebagai salah satu kritikus hadis terbesar yang pernah dimiliki umat Islam. Beliau adalah di antara guru terbesar Al-Bukhori. Hanya saja, meskipun seorang ulama besar, sisi-sisi kemanusiaan beliau pada suatu waktu membuat beliau tergelincir sehingga mengucapkan kata-kata negatif terkait imam Asy-Syafi’i. Begitu imam Ahmad mendengar kata-kata yang tidak mengenakkan itu, segera saja beliau meluruskan Yahya bin Ma’in, menegurnya, mengingatkannya, dan membela kehormatan imam Asy-Syafi’i. Kisah singkatnya adalah sebagai berikut.
Yahya bin Ma’in menuduh Asy-Syafi’i sebagai orang berpaham Syiah atau cenderung Syiah. Ahmad yang mendengar tuduhan dan ucapan negatif ini segera saja mencoba mengklarifikasi,
Ahmad : “ Engkau berani berkata demikian untuk seorang imam di antara panutan-panutan kaum muslimin (mengapa engkau tega mengucapkan kata-kata buruk itu kepada beliau)?”
Yahya bin Ma’in :”Saya mengkaji kitabnya yang membahas topik memerangi bughot, ternyata dia mulai awal sampai akhir berhujjah dengan (tindakan) Ali bin Abi Tholib”
Ahmad :”Heran sekali engkau ini. (kalau tidak boleh berhujjah dengan Ali bin Abi Tholib), dengan siapa Asy-Syafi’i seharusnya berhujjah sementara orang pertama kali yang diuji di kalangan umat ini dengan peperangan melawan para bughot adalah Ali bin Abi Tholib? Beliaulah yang pertama kali memberi contoh memerangi mereka dan berijtihad terkait hukum-hukum mengenai mereka. Tidak ada sunnah (detail) dari Nabi ﷺ dan tidak ada (contoh) dari para Khalifah sesudah beliau. Jadi, dengan siapa seharusnya Asy-Syafi’i berhujjah?
Di situ, Yahya bin Ma’in menjadi malu karena hal tersebut.”
Al-Baihaqi menulis,
“Yahya bin Ma’in menisbatkan Asy-Syafi’i pada paham tasyayyu’. Maka Ahmad berkata, ‘engkau berani berkata demikian untuk seorang imam di antara panutan-panutan kaum muslimin?”
Yahya bin Ma’in menjawab, ‘Saya mengkaji kitabnya yang membahas topik memerangi bughot, ternyata dia mulai awal sampai akhir berhujjah dengan (tindakan) Ali bin Abi Tholib”. Ahmad berkomentar, ‘Heran sekali engkau ini, dengan siapa Asy-Syafi’i seharusnya berhujjah sementara orang pertama kali yang diuji di kalangan umat ini dengan peperangan melawan para bughot adalah Ali bin Abi Tholib? Beliaulah yang pertama kali memberi contoh memerangi mereka dan berijtihad terkait hukum-hukum mengenai mereka. Tidak ada sunnah (detail) dari Nabi ﷺ dan tidak ada (contoh) dari para Khalifah sesudah beliau. Jadi, dengan siapa seharusnya Asy-Syafi’i berhujjah? Maka Yahya bin Ma’in menjadi malu karena hal tersebut. (Manaqib Asy-Syafi’i, juz 1 hlm 451)
Perselisihan ulama yang hidup semasa akan selalu ada. Yang demikian itu adalah di antara ujian yang harus dihadapi oleh ulama-ulama tersebut. Bebas dari ujian fitnah sesama ulama ini adalah perkara yang hampir mustahil atau sangat sulit sekali. Dalam hal penyikapan, hanya ulama yang ikhlash saja yang insya Allah selamat untuk berbuat dosa pada saat mendapatkan ujian kebencian dari sesama ulama di masanya. Kaum muslimin yang tidak terlibat perselisihan itu biasanya akan mudah mengidentifikasi, siapa yang “menyerang” ulama lain atas dasar dorongan-dorongan pribadi dan siapa yang motivasinya pada nasihat yang tulus. Lepas dari semua itu, prinsip utama yang harus dipegang oleh umumnya kaum muslimin adalah, semua perselisihan di antara ulama itu tidak boleh dijadikan dasar untuk saling mentahdzir sebagaimana pernah saya tulis panjang lebar dalam catatan yang berjudul “Perselisihan Para Ulama, Bagaimana Menyikapinya?” dan “Tahdzir”
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين