Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pada saat menelaah kitab-kitab ulama di masa lalu, kadang-kadang kita mendapati satu istilah dan ungkapan yang bisa jadi membuat kita mengerenyitkan dahi. Istilah tersebut adalah ungkapan “tabyidh” (التَّبْيِيْضُ) atau “bayyadho” (بَيَّضَ). Istilah semacam ini sering muncul pada tulisan-tulisan para ulama pada saat berbicara tentang karya-karya ulama, kitab tertentu, resensi terhadapnya dan kondisi manuskripnya. Kita ambil contoh pernyataan As-Suyuthi dalam kitab “Al-Minhaj As-Sawiyy” berikut ini,
“dan (An-Nawawi juga mengarang kitab yang berjudul) Mukhtashor At-Tirmidzi. (jumlahnya) satu jilid. Saya mendapati (manuskrip)nya dengan tulisan tangan beliau dalam bentuk ‘musawwadah’ dan beliau (baru sempat) melakukan ‘tabyidh’ beberapa lembar saja” (Al-Minhaj As-Sawiyy, hlm 64)
Pertanyaannya, “Apa sebenarnya makna “tabyidh”/”bayyadho” itu? Apa pula makna musawwadah?”
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut.
Makna “tabyidh” secara mudah adalah “menulis ulang sebuah kitab sekaligus mengoreksinya”. “Tabyidh” diperlukan untuk membersihkan kitab dari kesalahan-kesalahan penulisan, kata yang hilang, kata yang tidak efektif, diksi yang kurang tepat, termasuk menambahi beberapa hal yang belum trecantumkan pada saat menulis kitab pertama kali. Ahmad Mukhtar Umar berkata,
“Melakukan “tabyidh” surat dan semisalnya bermakna mengoreksinya. Yakni menulis ulang sambil mengoreksinya.” (Mu’jam Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Mu’ashiroh, juz 1 hlm 270)
Memang, secara ringkas proses menulis kitab oleh para ulama di masa dulu itu melewati tiga tahapan,
Pertama, “taswid” (التسويد)
Kedua , “tabyidh” (التبييض)
Ketiga, imla (الإملاء)
Maksud dari “taswid” adalah menulis kitab pertama kali. Yakni menulis kitab dalam bentuk naskah mula-mula (belum dikoreksi dan belum diedit sehingga memungkinkan banyak terjadi kesalahan) dan belum berbentuk naskah final. Ahmad Mukhtar Umar berkata,
“Melakukan “taswid” surat atau kitab bermakna menulisnya untuk pertama kali. Yakni sebelum disajikan dalam bentuk finalnya” (Mu’jam Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Mu’ashiroh, juz 1 hlm 270)
Pada zaman dulu (ketika masih belum ada mesin ketik, komputer, printer dan mesin cetak) orang menulis kitab secara manual dengan tulisan tangan. Media tulisnya bisa berupa kertas papirus (waroq bardy/auroq bardiyyah), perkamen (riqq/ruquq), kertas biasa/paper/kaghod atau media yang lain yang memungkinkan. Produk tulisan mereka diistilahkan dengan nama manuskrip (المخطوطات). Oleh karena pada zaman dulu belum ditemukan teknologi komputer, tentu saja kesalahan tulis tidak bisa dikoreksi dengan “delete” saja. Seorang ulama yang menulis sebuah kitab akan memulai pekerjaannya dengan aktivitas menulis yang fokus pada materi dan konten kitab, tanpa memperdulikan kesalahan khoth, kelemahan diksi, kekuranglengkapan pembahasan dan sebagainya. Keputusan fokus pada isi kitab ini adalah jalan yang paling logis, karena jika seorang penulis memfokuskan perhatian pada kesalahan-kesalahn teknis (pada saat sedang menulis), bisa jadi ide-ide briliannya malah tidak keluar karena tersibukkan mengurus hal teknis tersebut. Hal ini malah akan mengurangi mutu kitab yang ditulis. Nah, tahapan menulis kitab pertama kali tanpa peduli kesalahan yang mungkin muncul inilah yang disebut dengan tahapan “taswid”. Produk tulisannya dinamakan musawwadah (المسودة). Dengan demikian, “musawwadah” secara mudah boleh kita terjemahkan “draf/draft kitab”.
Setelah selesai tahap “taswid”, penulis masuk ke tahap “tabyidh”. Pada tahap “tabyidh” ini, penulis kitab menulis ulang draf kitabnya untuk mengoreksi sejumlah kesalahan pada draf kitab, mengganti unggapan, menambahi hal-hal yang luput ditulis, membuang hal-hal yang dianggap keliru, dan lain-lain. Istilah lain untuk “tabyidh” ini adalah “tahrir” atau “tanqih”. Produk tulisannya disebut “mubayyadhoh”. Dengan demikian, “tabyidh” secara mudah boleh kita terjemahkan “editing”. Biasanya sebuah kitab tidak akan dipublikasikan ke pada masyarakat sebelum masuk tahap “tabyidh” ini.
Setelah selesai “tabyidh”, barulah masuk tahap imla’. Makna imla’ adalah “mendiktekan”. Pada tahapan ini, seorang ulama yang menulis sebuah kitab mendektekan kitabnya di sebuah majelis di hadapan sejumlah murid. Tujuan dari dikte ini tentu saja untuk menyebarkan ilmu yang dikandung kitab sekaligus dipakai sebagai metode menyalin kitab secara manual. Maksudnya, setelah adanya imla’, murid-murid yang menulis kitab sang guru akhirnya mendapatkan salinan naskah kitab guru yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri. Jadi, metode imla’ adalah cara sederhana untuk “mengcopy” kitab di masa lalu. Melalui cara seperti ini pula mulai muncul sanad kitab sebagai media penting memvalidasi keotentikan isi sebuah kitab.
Setelah tahapan imla’ ini, barulah kitab bisa menyebar ke masyarakat secara lebih luas baik dengan cara diimla’-kan lagi, disalin (naskh) oleh para penyalin (nassakh/warroq), dihibahkan, diperjual belikan, dan lain-lain.
Oleh karena fakta penyalinan naskah kitab adalah sebuah manfaat yang mungkin dimintakan kompensasi, maka berlakulah hukum ekonomi sehingga muncul profesi “wiroqoh” (tukang salin). Orang yang punya ketrampilan menyalin disebut warroq atau nassakh. Tukang salin inilah yang berposisi seperti penerbit buku pada zaman sekarang. Melalui peran mereka banyak kitab bisa diproduksi dan menyebar ke berbagai negeri. Pada saat ditemukan mesin cetak di Jerman pada masa Bani Utsmaniyyah, orang-orang berprofesi ini merasa terancam pekerjaannya sehingga sempat memusuhi percetakan. Tetapi kemajuan teknologi memang tak terbendung. Lama-lama profesi tukang salin jadi hilang dan saat ini seluruh dunia Islam sudah mengadopsi percetakan untuk penyebaran ilmu-ilmu Islam.
Dengan demikian, ungkapan As-Suyuthi di atas berdasarkan penjelasan ini bisa kita terjemahkan sebagai berikut,
“dan (An-Nawawi juga mengarang kitab yang berjudul) Mukhtashor At-Tirmidzi. (jumlahnya) satu jilid. Saya mendapati (manuskrip)nya dengan tulisan tangan beliau dalam bentuk draf kitab dan beliau (baru sempat) melakukan editing beberapa lembar saja” (Al-Minhaj As-Sawiyy, hlm 64)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
One Comment
iceh
dalam ilmu barat namanya filologi