Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Membahas perbedaan antara “wasthun” (وَسْط) dengan “wasathun” (وَسَط) sebenarnya adalah kajian “remeh’. Tetapi justru karena “remehnya” itu, malah banyak yang mengabaikan, dan berakibat jatuh dalam kekeliruan. Yang keliru ini bukan hanya orang yang baru belajar bahasa Arab, tetapi juga menimpa orang yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun berinteraksi dengan bahasa Arab. Lafaz yang seharusnya dibaca “wasthun” malah dibaca “wasathun”, atau sebaliknya lafaz yang seharusnya dibaca “wasathun” dibaca “wasthun”. Bisa jadi juga ada orang yang hanya kenal “wasathun” saja tanpa pernah mengenal “wasthun”, atau hanya mengenal “wasthun” saja tanpa pernah mengenal “wasathun”.
Untuk memahami bahasan ini, marilah kita mencoba menganalisis salah satu pernyataan dalam kitab “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi. Dalam bab pembahasan posisi imam wanita pada saat mengimami sesama wanita, Asy-Syirozi menulis,
“Yang menjadi sunnah adalah, wanita itu mengimami makmumnya dengan berdiri di tengah-tengah mereka, berdasarkan riwayat bahwasanya Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ’anhuma mengimami para wanita, lalu mereka berdiri di tengah-tengah mereka.
Pertanyaannya, lafaz yang ditulis (وسطهن) pada kalimat di atas apakah dibaca ““wastho”hunna” (وَسْطَهُنَّ) ataukah “wasathohunna” (وَسَطَهُنَّ)?
Nah, untuk bisa menajwab pertanyaan ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa perbedaan makna antara “wasthun” dengan “wasathun”.
Jika kita merujuk keterangan para ahli bahasa terkait dua lafaz ini, maka kita akan mendapatkan penjelasan perbedaan makna di antara dua kata tersebut sebagai berikut.
Kata “wasthun” (وَسْط), yakni dengan mensukunkan huruf “sin” adalah kata yang dikelompokkan pada golongan “zhorf” (ظرف). Oleh karena ia adalah “zhorf”, berarti ia menunjukkan keterangan tempat. Jika ada sebuah kata yang diterangkan lokasi tempatnya dengan kata “wasthun” ini, maka kata yang diterangkan itu bisa dipastikan bukan bagian dari kata yang dilekati “wasthun” dan menjadi sesuatu yang terpisah dengannya. Ciri mudah untuk mengidentifikasinya adalah kata “wasthun” bisa diganti dengan kata “baina” (di antara). Pokoknya ada lafaz (وسط) dan bisa diganti dengan “baina”, maka secara pasti cara membacanya adalah “wasthun” dan tidak boleh dibaca “wasathun”. Terjemahan paling dekat untuk kata “wasthun” dalam bahasa Indonesia adalah di tengah-tengah. Contoh,
Pada contoh di atas, kita bisa menerjemahkannya “saya duduk di tengah-tengah suatu kaum”.
Pelafalan “wastho” pada contoh di atas dan penerjemahan “di tengah-tengah” sudah tepat, karena posisi “wastho” adalah sebagai “zhorf”, yakni menunjukkan keterangan tempat dimana lokasi “saya” duduk. “Saya” pada contoh di atas juga jelas terpisah dengan kaum (bukan bagian yang selalu melekat kemanapun kaum pergi). Kata “wastho” di atas juga bisa diganti dengan kata “baina” (di antara) sehingga terjemahannya adalah “saya duduk di antara suatu kaum”. Dengan demikian, lafaz tersebut harus dibaca dengan “wasthun” dan di artikan “di tengah-tengah”.
Adapun kata “wasathun” (وَسَط) dengan memfathahkan huruf “sin”, maka kata ini dikelompokkan pada golongan “isim”. Karena ia “isim”, maka ia bisa menduduki semua posisi-posisi sintaksis yang biasa ditempati “isim” seperti menjadi “mubtada”, menjadi “fa’il”, menjadi “maf’ul bih”, dimasuki “harf jarr”, di”mudhofk”an, menjadi “mudhof ‘ilaih” dan lain-lain. Sesuatu yang dilekati kata “wasathun” juga menjadi bagian tak terpisahkan dengan yang diterangkan oleh “wasathun” itu. Ciri mudah untuk mengidentifikasinya adalah kata “wasathun” bisa diganti dengan kata “ba’dhun” (sebagian). Pokoknya ada lafaz (وسط) dan bisa diganti dengan “ba’dhun”, maka secara pasti cara membacanya adalah “wasathun” dan tidak boleh dibaca “wasthun”. Terjemahan paling dekat untuk kata “wasthun” dalam bahasa Indonesia adalah bagian tengah. Contoh,
Pada contoh di atas, kita bisa menerjemahkannya “ini adalah bagian tengah rumah”.
Pelafalan “wasatho” pada contoh di atas dan penerjemahan “bagian tengah” sudah tepat, karena posisi “wasatho” adalah sebagai “isim”, yakni menerangkan kata “hadza” (ini). “bagian tengah” pada contoh di atas juga jelas bersambung dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan rumah yang selalu melekat dengan rumah. Kata “wasatho” di atas juga bisa diganti dengan kata “ba’dhu” (sebagian) sehingga terjemahannya adalah “ini adalah sebagian rumah”. Dengan demikian, lafaz tersebut harus dibaca dengan “wasathun” dan di artikan “bagian tengah”.
Atas dasar ini, pernyatan Asy-Syirozi di atas, pengharokatan yang tepat adalah sebagai berikut,
“Yang menjadi sunnah adalah, wanita itu mengimami makmumnya dengan berdiri di tengah-tengah mereka, berdasarkan riwayat bahwasanya Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma mengimami para wanita, lalu mereka berdiri di tengah-tengah mereka.”
Wallahua’lam
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين