Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Namanya Ghoilan bin Salamah (غيلان بن سلمة). Asalnya dari kabilah Tsaqif. Tergolong tokoh politik penting dalam kabilah tersebut. Beliau masuk Islam setelah Thoif ditaklukkan kaum muslimin. Parasnya tampan, berkulit putih dan tinggi. Beliau juga seorang ahli diplomasi dan cerdas. Saat kafilah dagang Quraisy dan Tsaqif terancam kematian oleh Kisra karena masuk negeri Persia tanpa izin, Ghoilan-lah yang maju berdiplomasi dan ia berhasil dalam misinya.
Istrinya sepuluh. Dengan tampang yang rupawan, gagah, kaya dan berkedudukan sosial tinggi, agaknya masuk akal jika Ghoilan mudah menikah sampai mendapatkan sepuluh wanita. Hanya saja, setelah dia masuk Islam dan turun ayat yang membatasi jumlah istri maksimal sampai empat, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk memilih empat orang di antara istri-istri itu untuk dipertahankan dan menceraikan enam sisanya. Ibnu Hibban meriwayatkan,
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, ‘Ghoilan Ats-Tsaqofi masuk Islam sementara dia memiliki sepuluh istri. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Pertahankan empat dan ceraikan sisanya” (H.R.Ibnu Hibban)
Dalam peristiwa ini, ujian yang terasa sekali adalah ujian ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak mudah bagi orang yang sudah lama mengarungi rumah tangga, sudah mulai terasa sangat nyaman dan lagi sayang-sayangnya lalu terpaksa harus berpisah padahal mungkin masih saling cinta. Ghoilan harus mencerai enam istrinya, bukan karena mereka melakukan tindak kriminal atau susah diatur atau sering menyakiti suami, tetapi Gholan harus mencerai mereka hanya karena satu alasan “sederhana”, yaitu, menaati hukum Allah.
Mencerai istri karena alasan ini benar-benar menguji ketaatan sekaligus menguji apakah dia sudah menjadikan cinta puncaknya hanya untuk Allah ataukah belum. Hanya orang yang menjadikan cinta puncaknya untuk Allah saja yang sanggup melakukan hal-hal seperti itu. Bukan pekerjaan mudah mengikis rasa cinta pada seseorang sementara tidak ada kesalahan fatal yang dilakukannya. Kira-kira, kecamuk perasaan Ghoilan dan keenam istrinya yang terpaksa harus diceraikan ini kalau dinovelkan di zaman sekarang mungkin akan menjadi novel “best seller” karena demikian “dramatis” dan mengaduk-aduk perasaan kisah percintaannya.
Di zaman Nabi ﷺ, yang mengalami ujian perasaan seperti ini sebenarnya bukan hanya Ghoilan saja. Di samping Ghoilan, ada juga lelaki yang bernama Naufal bin Mu’awiyah (نَوْفَلُ بْنُ مُعَاوِيَةَ) yang memiliki lima istri dan harus menceraikan salah satu di antara mereka karena syariat pembatasan jumlah istri ini. Ada pula lelaki yang bernama Al-Harits bin Qois (الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ) yang memiliki delapan istri sehingga terpaksa harus mencerai empat orang di antara mereka.
Mirip dengan peristiwa-peristiwa “melankolis” di atas adalah kisah Ibnu Umar. Beliau diperintahkan ayahnya; Umar bin Al-Khotthob untuk menceraikan istrinya yang cantik, cerdas dan sholihah hanya karena sang ayah kuatir anaknya lebih cinta istrinya daripada Allah dan Rasul-Nya. Memang, lelaki mana yang sanggup untuk tidak “jatuh cinta berat” kepada seorang yang wanita yang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan sholihah. Biasanya wanita jika cantik, kecerdasannya rendah. Amat jarang ada wanita yang menghimpun kecerdasan sekaligus kecantikan. Sebaliknya wanita-wanita yang cerdas, kebanyakan adalah mereka yang berparas biasa-biasa saja. Maka bayangkan betapa besar pengaruh istri Ibnu Umar yang menghimpun kecantikan, kecerdasan dan kesalihan. Wajar secara manusiawi jika Ibnu Umar “jatuh cinta berat” kepada istrinya, yang mana hal itu justru malah dikhawatirkan ayahnya mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hanya saja, semua kisah-kisah terkait rumah tangga di atas tidak pernah menjadi masalah besar dalam masyarakat Islam. Tidak pernah menjadi kasus berat yang harus ditangani sampai level kebijakan “negara”. Nampaknya, karena kaum muslimin waktu itu telah berhasil menjadikan Allah sebagai puncak cinta mereka, maka hal-hal “kecil” dalam rumah tangga seperti itu tidak pernah didramatisasi dan dibesar-besarkan.
Barangkali pula inilah yang menjadi rahasia mengapa wanita muslimah pada zaman itu mudah dipoligami. Disamping memang karena sebelum Islam tradisi poligami sudah menjadi persoalan jamak, alasan “ideologis” yang masuk akal yang membuat para wanita di zaman itu mudah dipoligami adalah alasan cara pandang terhadap kehidupan. Jika para wanita di zaman itu hidup di zaman sekarang kemudian ditanya,
“Mengapa ibu tidak berkeberatan suami berpoligami?”
Kira-kira mungkin jawabannya seperti ini,
“Begini ya, asal tahu saja. Saya memang mencintai suamiku. Tapi cintaku kepada Allah, jauh lebih tinggi daripada cintaku kepada suami!”
Lalu, seperti apa kadar cinta kita kepada Allah saat ini?