Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Istilah “ta’liq” (التعليق) disebut juga “ta’liqoh” (التعليقة). Bentuk jamaknya adalah “ta’liqot (التعليقات) atau “ta’aliq” (التعاليق). Secara bahasa, makna ta’liq adalah “komentar” atau “penjelasan” atau “catatan”. Kalimat yang berbunyi “u’alliqu ‘ala kalamihi” bermakna, “Saya mengomentari ucapannya”
Adapun dalam istilah ulama yang menulis kitab, makna “ta’liq” secara umum mirip adalah hasyiyah. Jadi, siapapun yang telah memahami dengan baik perbedaan “syarah” dengan “hasyiyah”, insya Allah juga sudah memahami secara umum makna “ta’liq” dan perbedaannya dengan “syarah”. Silakan dibaca catatan saya yang berjudul “Apa Bedanya Syarah Dengan “Hasyiyah”?” Sebagian ulama malah menegaskan bahwa “ta’liq” itu adalah sinonim dari “hasyiyah”. Contoh ulama yang menyamakan “hasyiyah” dengan “ta’liq” adalah Haji Kholifah. Beliau berkata,
“Hasyiyah adalah istilah untuk menyebut pinggiran kitab. Setelah itu bermakna tulisan yang diletakkan pada pinggiran kitab termasuk juga catatan yang dipisahkan lalu dikodifikasi secara independen. Hasyiyah disebut juga “ta’liqoh” (Kasyfu Azh-Zhunun, juz 1 hlm 623)
Dalam penggunaan, istilah “ta’liq” kadang juga dipakai dengan makna “syarah” untuk bagian tertentu dari sebuah kitab. Dalam konteks yang lain, kadang dipakai dengan makna “amali” (الأمالي). “Ta’liq” juga bisa dipakai dengan makna cuplikan dari kitab tertentu.
Contoh “ta’liq” adalah “Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari”. Kitab “Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari” adalah semacam “hasyiyah” untuk “Mukhtashor Al-Muzani”. Dari “ta’liqoh” ini lahir kitab “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi. Lalu, dari Al-Muhadzdzab itu lahir “Al-Bayan” karya Al-‘Imroni dan “Al-Majmu’” karya An-Nawawi. Uraian lebih detail tentang “Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari” bisa dibaca pada catatan saya yang berjudul, “Mengenal Kitab At-Ta’liqoh Karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari”.
Contoh “ta’liq” lain yang masih merupakan komentar untuk “Mukhtashor Al-Muzani” adalah “Ta’liqoh Al-Qodhi Husain”. “Ta’liqoh” ini juga menjadi salah satu di antara referensi penting dalam mazhab Asy-Syafi’i, terutama untuk mengetahui variasi “wujuh” dan ikhtilaf internal ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah.
Contoh lain “ta’liq” terkenal adalah kitab “Al-Mankhul Fi ‘Ilmi Al-Ushul” karya Al-Ghozzali. Materinya diambil dari halaqoh-halaqoh bersama guru beliau yang bernama Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Lalu Al-Ghozzali menyuntingnya, mengeditnya, dan menambahi dengan telaah beliau sendiri.
Contoh lain “ta’liq” adalah “Ta’liqoh Abu Al-Aswad Ad-Du-ali, “Ta’liqoh ‘Ala At-Targhib wa At-Tarhib Lil Mundziri” karya An-Naji (w. 900 H), “Ta’aliq ‘Ala Kitabi Abi Nashr Al-Farobi Fi Al-Madkhol wa Al-Fushul Min Isaghuji” karya Ibnu Bajah (w. 533 H), “Ta’liqot fi Kitabi Bari Armenias wa Min Kitabi Al-‘Ibaroh li Abi Nashr Al-Farobi” karya Ibnu Bajah (w. 533 H), “Ta’liqoh At-Tauqoti (w. 900 H) ‘Ala Awa-ili Al-Bukhori”, “Ta’liqoh As-Sururi” (w. 969 H), “At-Ta’liq ‘Ala Qunun Al-Hajz Al-Idari”, dan lain-lain.
Adapun cara munculnya kitab berjenis “ta’liq”, maka secara umum biasanya adalah sebagai berikut.
Munculnya “ta’liq” sebenarnya sangat terkait dengan tradisi cara mendokumentasikan ilmu di masa lalu. Lafaz “ta’liq” sebagaimana disinggung di atas, berasal dari kata “‘allaqo” yang secara bahasa bisa bermakna “syaroha” (mensyarah/menjelaskan) atau “mencatat”. Biasanya, ketika seorang guru menerangkan suatu ilmu, ada murid cemerlang yang serius mencatat kandungan-kandungan ilmu ini dalam sebuah “tafkiroh/mufakkiroh” (semacam notepad/blocknote di zaman itu). Hasil catatan ini di waktu lain kemudian ditelaah ulang dan dihafalkan oleh sang murid. Pada saat berusaha me”review” materi itu, kadang timbul lintasan ide, gagasan, “khowathir” dan semisalnya yang terkait dengan ilmu lalu sang murid menambahkan catatan pribadinya pada “notepad” tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, sang murid bisa jadi menemukan sistematika yang lebih baik untuk catatan materi tersebut sehingga dia menyusun ulang, menyunting, mengedit, dan menambahi sana-sini. Nah, “catatan kajian” yang diurus sedemikian serius inilah yang disebut dengan istilah “ta’liq/ta’liqoh”.
Jadi istilah “ta’liq” ini sebenarnya adalah catatan “harian” murid dari hasil mengikuti majelis ilmu yang bermutu, yang kemudian “naik level” menjadi kitab karena diurus serius kontennya. Gambaran yang dekat dengan zaman sekarang mungkin seperti orang membuat catatan lepas, lalu karena mutunya bagus dikumpulkan jadi satu, disunting, disusun lebih bagus, ditambahi data sana-sini dan diedit akhirnya menjadi buku lengkap yang sistematis.
Dari sisi cara penyajian, “ta’liq” bisa ditulis dalam catatan pinggir seperti “hasyiyah”, bisa juga mengambil bentuk satu kitab tersendiri yang terpisah dengan kitab lain.
Kitab yang mengambil bentuk “ta’liq” ini kadang ada ulama yang bangkit membuatkan “hasyiyah”nya atau “syarah”nya atau bisa juga meng”aransemen” ulang dengan sejumlah tambahan.
Adapun perbedaannya dengan “syarah”, yang paling menonjol adalah pada fungsinya. “Syarah” itu bertanggungjawab menjelaskan semua hal yang tidak jelas, adapun “ta’liq”, ia hanya mengomentari dan memberi perhatian terhadap hal-hal yang penting saja. Adapun perbedaannya dengan “hasyiyah”, “ta’liq” itu bisa mengomentari mukhtashor atau kitab syarah, sementara “hasyiyah” itu mengomentari kitab “syarah”. Adapun perbedaan “ta’liq” dengan “nukat”, maka “ta’liq” tidak harus berisi hal-hal unik, lembut, langka dan halus. Berbeda dengan “nukat” yang menonjol sebagai karya tulis yang menghimpun lintasan-lintasan pemikiran yang biasanya bersifat orisinil dan belum pernah ditemukan uleh ulama sebelumnya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين