Oleh : Ust. Muafa
Kitab “At-Ta’liqoh” (التعليقة) adalah di antara syarah penting “Mukhtashor Al-Muzani”. Dari kitab ini lahir kitab “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi. Lalu, dari Al-Muhadzdzab itu lahir “Al-Bayan” karya Al-‘Imroni dan “Al-Majmu’” karya “An-Nawawi”.
Pengarangnya bernama Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari. Lengkapnya, Abu Ath-Thoyyib Thohir bin Abdullah Ath-Thobari. Seorang ulama faqih di Baghdad waktu itu dan qodhi di wilayah Al-Karkh yang menggantikan qodhi Ash-Shoimari. Beliau mulai belajar pada usia 14 tahun dan setelah itu, kata An-nawawi dalam Al-majmu’, tidak pernah absen belajar satu haripun hingga wafat.
Guru utama beliau adalah ulama besar mazhab Asy-Syafi’i sekaligus pemimpin aliran irak yaitu Abu Hamid Al-Isfaroyini (wafat 406 H). Sejarah mencatat, ada dua murid Abu Hamid Al-Isfaroyini yang menonjol dalam fikih yang tergolong ke dalam aliran Irak yaitu Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari dan Al-Mawardi pengarang “Al-Hawi”.
Fikih mazhab Asy-Syafi’i memang sempat membentuk dua aliran besar yakni aliran Irak dan aliran Khurosan sebagaimana pernah saya buatkan catatannya pada artikel yang berjudul “Dua Aliran Syafi’iyyah; Khurosaniyyun dan Iroqiyyun”. Aliran Irak “dipimpin” oleh Abu Hamid Al-Isfaroyini, sementara aliran Khurosan “dipimpin” oleh Al-Qoffal Ash-Shoghir (wafat 417 H). Untuk aliran Khurosan ini, murid menonjol Al-Qoffal Ash-Shoghir adalah Abu Muhammad Al-Juwaini, ayahanda Imamul Haromain; Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini.
Keilmuan Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari dalam mazhab Asy-Syafi’i tidak ada yang mengingkari. Beliau tergolong “ashabul wujuh” yakni ulama Asy-Syafi’iyyah yang mencapai derajat ijtihad, bisa menurunkan hukum dengan memakai kaidah dan ushul fikih imam Asy-Syafi’i untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang belum sempat dibahas oleh Asy-Syafi’i. Bisa dikatakan bahwa ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah aliran Irak, mereka mengambil dan menimba ilmu dari Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari ini. Sebagian ulama bahkan ada yang berpendapat bahwa Abu Ath-Thoyyib lebih fakih daripada gurunya; Abu Hamid Al-Isfaroyini. Padahal, kita tahu Abu Hamid dengan kedalalaman ilmunya dijuluki “Asy-Syafi’i ats-tsani” (lihat catatan saya yang berjudul “Asy-Syafi’i “Junior””).
Di antara “manaqib” Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari ditulis Adz-Dzahabi dalam “Siyaru A’lami An-Nubala“. Diriwayatkan, Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Dalam mimpinya itu Abu Ath-Thoyyib mengkonfirmasi apakah hadis yang awalnya berbunyi “nadh-dharollahum ro-an” itu benar pernah diucapkan Rasulullah ﷺ? Ternyata Rasulullah ﷺ membenarkan dan menjawab “na’am” (ya).
Adapun mengapa kitab ini dinamakan “At-Ta’liqoh”, hal itu terkait dengan tradisi cara mendokumentasikan ilmu di masa lalu. Lafaz “At-Ta’liqoh” berasal dari kata “‘allaqo” yang secara bahasa bisa bermakna “syaroha” (mensyarah/menjelaskan) atau “mencatat”. Biasanya, ketika seorang guru menerangkan suatu ilmu, ada murid cemerlang yang serius mencatat kandungan-kandungan ilmu ini dalam sebuah “tafkiroh/mufakkiroh” (semacam notepad/bloknote di zaman itu). Hasil catatan ini di waktu lain kemudian ditelaah ulang dan dihafalkan oleh sang murid. Pada saat berusaha me”review” materi itu, kadang timbul lintasan ide, gagasan, “khowathir” dan semisalnya yang terkait dengan ilmu lalu sang murid menambahkan catatan pribadinya pada notepad tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, sang murid bisa jadi menemukan sistematika yang lebih baik untuk catatan materi tersebut sehingga dia menyusun ulang, menyunting, mengedit, dan menambahi sana-sini. Nah, “catatan kajian” yang diurus sedemikian serius inilah yang disebut dengan istilah “At-Ta’liqoh”.
Jadi istilah “At-Ta’liqoh” ini sebenarnya adalah catatan “harian” murid dari hasil mengikuti majelis ilmu yang bermutu, yang kemudian “naik level” menjadi kitab karena diurus serius kontennya. Gambaran yang dekat dengan zaman sekarang mungkin seperti orang membuat catatan lepas, lalu karena mutunya bagus dikumpulkan jadi satu, disunting, disusun lebih bagus, ditambahi data sana-sini dan diedit akhirnya menjadi buku lengkap yang sistematis.
Contoh di antara “ta’liqoh” terkenal adalah kitab “Al-Mankhul Fi ‘Ilmi Al-Ushul” karya Al-Ghozzali. Materinya diambil dari halaqoh-halaqoh bersama guru beliau yang bernama Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Lalu Al-Ghozzali menyuntingnya, mengeditnya, dan menambahi dengan telaah beliau sendiri. Dalam fikih mazhab Asy-Syafi’i, kitab “ta’liqoh” yang terkenal ada dua yaitu “At-Ta’liqoh” karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari yang tengah kita bicarakan ini, dan “At-Ta’liqoh” karya Al-Qodhi Husain.
Kitab At-Ta’liqoh ini dipuji An-Nawawi sebagai karya terbaik Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari. Yang memuji bukan hanya An-Nawawi, tetapi juga umumnya ulama-ulama mujtahid mazhab Asy-Syafi’i. An-Nawawi menulis,
“…Beliau (Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari) memiliki banyak karya berharga dalam berbagai bidang ilmu. Di antaranya yang terbaik adalah “At-Ta’liqoh”nya dalam mazhab (Asy-Syafi’i). Saya dan juga ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah tidak pernah melihat kitab yang lebih bagus ‘uslub’nya daripada kitab tersebut…(Al-Majmu’, juz 1 hlm 509)
Wajar jika An-Nawawi cukup banyak menukil kitab ini dalam kitabnya yang bernama “Al-Majmu’”.
Dalam “At-Ta’liqoh” ini Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari menguraikan “aqwal” Asy-Syafi’i, “wujuh ash-hab”, ijtihad shahabat, ijtihad tabi’in, dan ijtihad imam-imam mazhab. Semua pendapat dijelaskan dalilnya termasuk kritikan-kritikannya dan dalilnya. Dilihat dari kedalaman tulisannya, tampaklah bahwa bahwa beliau memang seorang faqih mutabahhir yang telah mencapai derajat mujtahid mazhab.
Dari kitab “At-Ta’liqoh” Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari ini lahir kitab termasyhur mazhab Asy-Syafi’i, yaitu kitab “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi. Patut diketahui, Asy-Syirozi adalah murid cemerlang Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari. Bisa dikatakan istidlal Asy-Syorozi dalam “Al-Muhadzdzab” itu pada hakikatnya adalah mengambil dari “At-Ta’liqoh” gurunya. Kemudian kita tahu dari kitab Al-Muhadzdzab ini,seluruh kontennya dihafalkan oleh Al-‘Imroni kemudian disyarah oleh beliau dalam kitab berjudul “Al-Bayan”. Lalu, generasi berikutnya An-Nawawi juga bangkit mensyarah “Al-Muhadzdzab” sehingga lahir karya fenomenalnya yang bernama “Al-Majmu’”.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan, melalui karya Abu Ath-Thoyyib ini lahir tiga kitab termasyhur di kalangan Asy-Syafi’iyyah yaitu;
- Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirozi
- Al-Bayan karya Al-‘Imroni
- Al-Majmu’ karya An-Nawawi
Kitab “At-Ta’liqoh” karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari ini masih berupa manuskrip, yaitu di Turki, Mesir dan mungkin tempat-tempat lain. Sudah ada yang membuat penelitian khusus berupa tesis dan disertasi. Hanya saja untuk sampai di dunia percetakan sepertinya kita masih harus sabar menunggu karena tesis dan disertasi itu umumnya hanya mentahqiq topik-topik tertentu, bukan satu kitab utuh yang tuntas dan siap diterbitkan secara lengkap. Di antara yang sudah meneliti adalah Yusuf bin Abdul Lathif Al-‘Aqil untuk topik “An-Nikah”, “Ash-Shidaq”, “Al-Qosm”, dan “An-Nusyuz”. Juga disertasi ‘Id bin Salim Al-Utaibi untuk topik “Azh-Zhihar” sampai “Ar-Rodho’”.
Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari berumur panjang. Beliau wafat pada tahun 450 H dalam usia 102 tahun. Di usia itu, akal dan daya paham beliau tidak berubah. Tahun 450 H adalah tahun yang sama dengan wafatnya Al-Mawardi, pengarang Al-Hawi Al-Kabir.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين