PERTANYAAN
Assalamualaikum ustadz. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika pertanyaan saya ini terkesan saru/jorok. Apa hukumnya istri yang mengocok-kan kemaluan suami sampai orgasme/ keluar mani ? Mengingat saya pernah mendengar bahwa hukum onani baik yg dilakukan oleh tangan sendiri atau menggunakan tangan orang lain dihukumi haram/ berdosa. Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya saya berharap pencerahan tentang hal ini. Syukron katsiron. Wassalamu’alaikum wr.wb. (E.H.S.)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Harus saya tegaskan, tidak perlu sungkan-sungkan bertanya soal seks selama tujuannya adalah mencari tahu hukum syara’.
Dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat tentu hal demikian tidak terpuji, namun dalam pembahasan hukum syara’ tindakan tersebut bahkan diperlukan untuk menghindari keambiguan dan ketidak jelas hukum. Sejumlah ulama besar yang terhormatpun melakukannya. Misalnya Imam Malik, diriwayatkan beliau berkata;
Artinya: “Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/lenguhan panjang saat Jimak (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol.18 hlm 409) ”
Imam Malik dengan segala kehormatan dan reputasi beliau sebagai Ulama panutan, tidak perlu merasa jatuh kehormatannya ketika berbicara tentang fikih hubungan suami istri sampai urusan yang sedetail ini. Desahan, jeritan tertahan, rintihan, lenguhan panjang dan yang semakna dengannya memang termasuk persoalan cabang dalam fikih hubungan suami istri dalam Islam, dan beliau menyebutnya dengan lugas karena memang diperlukan untuk penjelasan hukum fikih.
Demikian pula Abu Hanifah. As-Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf,
Artinya: “Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol.12 hlm 68)
Demkian pula Mujahid ketika merekomendasikan bagaimana contoh cara bersenang-senang dengan istri saat istri dalam kondisi Haid. At-Thabari meriwayatkan;
Artinya: “Dari Laits beliau berkata; kami berdiskusi di dekat Mujahid tentang seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata; “Tusukkan penismu di manapun yang engkau kehendaki diantara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat Haid” (tasfir At-Thobari, vol; 4 hlm 380)
Demikian pula As-Suyuthi yang disebut mengarang kitab Fikih Jimak yang berjudul نواضر الأيك في معرفة النيك. Di dalamnya, beliau berbicara begitu detail sampai tataran praktis dalam hal rekomendasi posisi, gerakan, tehnik mencapai puncak dsb. Judul yang beliau ambil saja memakai istilah An-Naik. An-Naik dalam bahasa Arab termasuk kata yang paling vulgar untuk menyebut hubungan suami istri. Jika bahasa indonesia punya kata-kata halus untuk berhubungan suami istri seperti bercinta, berhubungan intim, ML (serapan dari bahasa inggris), maka An-Naik dari segi kevulgaran setara dengan istilah senggama atau bersetubuh. Jadi kira-kira terjemahan judul beliau adalah “Hijaunya pepohonan untuk mengenal ilmu senggama”.
Memang fikih harus jelas, lugas, exactly, dan tidak ambigu. Fikih harus hitam-putih karena berbicara halal-haram yang berkonsekuensi pahala dan dosa. Membahas masalah fikih dengan cara yang samar-samar bisa malah membuat timbulnya problem baru, kesalahfahaman, ketidakjelasan, salah konsep, salah penerapan, dan akibat-akibat negatif lainnya.
Para ulama yang memfatwakan onani itu haram mengatakan sebabnya adalah karena Allah dalam alquran menyebut penyaluran seks hanya pada istri atau budak wanita. Selain itu disebut melampaui batas. Karena itu onani dihukumi haram karena dipandang melampaui batas. Allah berfirman,
“Orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).
Adapun kocokan istri pada kemaluan suaminya sampai ejakulasi, maka ini halal karena termasuk istimta’ (bersenang-senang) dengan istri. Suami boleh merangsang istri sampai orgasme sebagaimana istri boleh merangsang suaminya sampai ejakulasi.
Dalil yang menunjukkan bolehnya istimta’ secara mutlak tanpa batasan adalah Nash–Nash berikut;
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (Al-Baqoroh; 187)
Dalam ayat di atas pasangan suami istri diumpamakan seperti pakaian. Suami menjadi pakaian istri dan istri menjadi pakaian suami. Ungkapan ini adalah kinayah intimnya relasi suami istri dan kedekatannya yang maksimal sehingga bersenang-senang model apapun selama dalam batas-batas syariat diizinkan. Suami boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan istri dengan cara dan model apapun, sebagaimana istri boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan suami dengan cara dan model apapun. Bersenang-senang itu tidak dibatasi hanya dalam Jimak saja, namun berlaku pula pada jenis menikmati tubuh yang lain. Jadi ayat ini menjadi dalil atas bolehnya istimta’ pasangan suami istri yang bersifat umum dan mutlak tanpa batasan.
Di zaman shahabat, ada riwayat bagaimana Shahabat tidak mengingkari istimta’ yang dilakukan dengan mengulum dan menghisap payudara istri. Imam Malik meriwayatkan;
Artinya: Dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ”Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa penyusuan.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)
Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Syara membolehkan Istimta’ bagi pasangan suami istri secara mutlak dan bersifat umum tanpa pembatasan. Kebolehan Istimta’ tersebut juga tidak membatasi apakah dilakukan dengan tangan, hidung, mulut, lidah, gigi, telinga, leher, payudara, pantat, betis, kaki dll. Oleh karena itu, kebolehan itu tidak boleh dibatasi kecuali dengan pembatasan yang dinyatakan oleh Nash. Artinya, Selama tidak ada Nash yang melarang, semua jenis cara Istimta’ diizinkan sehingga hukumnya mubah berdasarkan dalil umum kebolehan Istimta’ tersebut.
Jadi, istri boleh mengocok kemaluan suaminya sampai ejakulasi karena hal itu termasuk istimta’. Wallahua’lam.