Assalamualaikum,
Ustadz, kapan/bagaimana kaidahnya memberikan nasihat/bantahan secara terang-terangan? Lalu seandainya pemerintah dan atau da’i membuat kekeliruan apakah boleh dinasihati terang-terangan atau tetap harus sembunyi-sembunyi? Jazakallah khair. (Fulan)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Sebuah kemungkaran, jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka nasihatnya harus sembunyi-sembunyi. Jika kemungkaran itu dilakukan terang-terangan tanpa malu, maka amar makruf nahi mungkar dan nasihatnya juga harus terang-terangan. Adapun menyebut nama orang yang melakukan kemungkaran, maka itu melihat maslahatnya. Jika maslahatnya disebut nama, maka tidak mengapa menyebut nama. Jika maslahatnya tidak menyebut nama, maka tidak perlu menyebut nama. Ibnu Al-‘Utsaimin berkata,
“Sebuah kemungkaran jika dilakukan terang-terangan maka wajib diingkari secara terang-terangan. Akan tetapi, apakah wajib disebutkan nama orang yang melakukannya? Hal ini harus diteliti kemaslahatannya. Jika kemaslahatan menuntut untuk menyebut nama, agar orang yang melakukannya berhenti melakukan kemungkaran tersebut, maka hendaklah disebut namanya. Akan tetapi, jika kemaslahatan menuntut agar nasehat itu bersifat umum, misalnya mengatakan, ‘Ada orang yang melakukan begini’ atau, ‘Mengapa ada orang-orang yang melakukan begini’ atau yang semisal dengan itu, maka itu baik. Yang penting, kemungkaran itu jika dilakukan terang-terangan maka wajib diingkari terang-terangan. Akan tetapi, untuk menyebut nama pelaku harus dilihat maslahatnya” (Liqo’ Al-bab Al-Maftuh juz 12 hlm 54)
Rasulullah ﷺ pernah menasihati secara pribadi dan pernah mengoreksi kekeliruan secara terang-terangan juga.
Contoh Rasulullah ﷺ mengoreksi terang-terangan tapi tidak menyebut nama adalah pada saat mengoreksi adanya penetapan syarat yang salah dalam penjualan budak. Al-Bukhari meriwayatkan,
“..Mengapa ada orang-orang yang membuat syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah? Barangsiapa menetapkan syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah maka itu tidak ada hak baginya meskipun dia mensyaratkan 100 syarat” (H.R. Al-Bukhari)
Contoh Rasulullah ﷺ mengoreksi terang-terangan dengan meyebut nama adalah pada saat mengoreksi Abu As-Sanabil karena salah memberikan fatwa terkait kapan habis masa iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. Al-Baihaqi meriwayatkan,
“Dari Abdullah bin Utbah, bahwasanya Subai’ah binti Al Haris melahirkan 15 hari setelah wafatnya suaminya. Kemudian Abu As-Sanabil melewatinya dan berkata, ‘Sepertinya kamu ingin menikah lagi?’ Dia menjawab, ‘Betul’ atau (jawaban lain) yang semakna dengan itu. Dia (Abu As-Sanabil) berkomentar, ‘Tidak bisa (kamu menikah lagi) sampai berlalu 4 bulan 10 hari. Maka wanita itu (Subai’ah) mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Maka Rasulullah bersabda, ‘Dusta Abu As-Sanabil. Kalau ada orang yang engkau sukai, maka beritahulah aku” (H.R. Al-Baihaqi)
Rasulullah ﷺ juga pernah sangat kecewa dengan Kholid bin Walid dan mengecam keras kemungkarannya sampai menyebut namanya dalam doa dengan keras sehingga bisa didengar shahabat lainnya. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Ya Allah aku berlepas diri kepadamu dari apa yang diperbuat Khalid. (beliau mengucapkan kalimat ini) dua kali” (H.R. Al-Bukhari)
Wallahua’lam