Apa ada pendapat keempat madzhab tentang mathla’? (62 xxx-xxxx-169)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ibnu Abidin, salah satu ulama bermazhab Hanafi mengatakan bahwa perbedaan mathla’ tidak dipertimbangkan,
“Yang menjadi ikhtilaf adalah, ‘Apakah perbedaan mathla’ dipertimbangkan dengan makna, apakah menjadi kewajiban setiap kaum untuk mempertimbangkan mathla’ mereka sehingga tidak menjadi kewajiban seseorang untuk beramal berdasarkan mathla’ orang lain ataukah perbedaan mathla’ itu tidak dipertimbangkan sehingga wajib untuk beramal dengan orang yang lebih dulu melihat hilal sampai taraf seandainya di timur terlihat hilal pada malam Jumat sementara di barat terlihat pada malam Sabtu maka wajib bagi penduduk yang berada di barat untuk mengamalkan apa yang dilihat oleh penduduk di timur?
Ada yang mengambil pendapat yang pertama dan ini yang dipakai oleh Az-Zaila’i dan pengarang kitab Al-Faidh dan inilah yang terkuat menurut Asy-Syafi’iyyah. Alasannya, setiap kaum diseru berdasarkan apa yang ada pada mereka sebagaimana pada waktu-waktu salat. Yang seperti ini dikuatkan dalam kitab Ad-Duror dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya terkait tidak wajibnya salat Isya dan Witir bagi orang yang tidak bisa mengetahui waktunya.
Adapula yang memilih pendapat yang kedua dan inilah pendapat mu’tamad menurut kami (Hanafiyyah), Malikiyah dan Hanabilah. Alasannya, hal ini terkait dengan khithob sebagai bentuk sebagai pengamalan kemutlakan rukyat pada hadis ‘shumu liru’yatih’i (berpuasalah karena melihat hilal) . Hal ini tidak bisa disamakan dengan waktu-waktu sholat” (Ad-Durru Al-Mukhtar, juz 2 hlm 393)
Ad-Dardir, ulama bermazhab Maliki juga berpendapat perbedaan mathla’ tidak diperhitungkan,
“Kewajiban puasa berlaku secara umum dan mengenai semua negeri yang lain baik dekat maupun jauh. Tidak diperhatikan dalam hal itu jarak qashar atau kesatuan mathla’ atau perbedaan mathla’. Jadi, puasa tetap wajib bagi setiap orang yang mendapatkan berita rukyatul Hilal” (Asy-Syarhu Al-Kabir, juz 1 hlm 510)
Mazhab Asy-Syafi’i mempertimbangkan perbedaan mathla. An-Nawawi berkata,
“Jika hilal terlihat pada suatu negeri, maka hukumnya berlaku pada negeri yang dekat dan tidak berlaku pada negeri yang jauh dalam pendapat yang paling kuat. Jarak negeri yang jauh adalah jarak qashar. Pendapat lain, didasarkan pada perbedaan mathla’. Saya berkata inilah (didasarkan pada perbedaan mathla’) pendapat yang paling kuat wallahualam” (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 74)
Ibnu Abi Taghlib, salah seorang ulama bermazhab Hanbali berpendapat bahwa perbedaan mathla’ tidak diperhitungkan,
“Wajib berpuasa bulan Romadhon berdasarkan rukyatul hilal. Disunnahkan bagi orang yang melihat hilal untuk berdoa sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Ia berkata, ‘Adalah Rasulullah ﷺ jika melihat hilal beliau berdoa, ‘Allahuakbar. Ya Allah, terbitkanlah hilal itu pada kami dengan membawa keamanan, iman, keselamatan, Islam dan pertolongan untuk melakukan apa yang Engkau sukai dan Engkau ridhoi. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai hilal) adalah Allah’. (doa ini) Diriwayatkan oleh Al-Atsrom dan Ad-Darimi. Wajibnya (puasa Ramadan) ini berlaku bagi seluruh manusia dan hukum orang yang tidak melihat hilal sama dengan hukum orang yang melihatnya meskipun mathla’nya berbeda” (Nailu Al-Ma’rob, juz 1 hlm 269)
Bisa disimpulkan secara umum, yang mempertimbangkan perbedaan mathla’ hanyalah mazhab Asy-Syafi’i. 3 mazhab sisanya tidak mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Wallahua’lam