Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Assalamu’alaikum
Ustadz, Nama saya triono. Mau bertanya. Bagaimana hukum suara wanita (qasidah), diiringi rebana apabila didengarkan semua orang? Misal ketika peringatan hari besar. Syukron. (Triono)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Suara wanita ada dua macam; suara natural dan suara yang bernada.
Untuk suara natural maka tidak larangan berbicara dengan wanita dengan suara naturalnya dan mendengar suaranya. Seperti itulah kehidupan wajar di zaman Nabi ﷺ. Para wanita bertanya kepada Nabi ﷺ , ngobrol dengan belau, berkonsultasi, mengucapkan salam, bahkan mendebat. Semuanya dilakukan tanpa ada pengingkaran dan ini menunjukkan mendengar suara natural wanita adalah mubah karena suara wanita memang bukan aurat. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata,
“Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa ucapan wanita ajnabiyah hukumnya adalah mubah untuk didengarkan dan bahwasanya suaranya bukanlah aurat” (Fathu Al-Bari, juz 13 hlm 204)
An-Nawawi juga menjelaskan senada,
“Dalam hadis ini terdapat pengertian bahwa ucapan wanita ajnabiyah itu boleh didengarkan jika dibutuhkan dan bahwasanya suaranya bukan aurat” (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, juz 13 hlm 10)
Pembahasan lebih panjang tentang suara wanita apakah aurat atau bukan bisa dibaca dalam tautan ini,
https://irtaqi.net/2016/09/26/apakah-suara-wanita-termasuk-aurat/
Adapun suara yang bernada, maka suara wanita memungkinkan untuk menimbulkan fitnah sebagaimana diisyaratkan Allah dalam ayat ini,
“Janganlah kalian melunak-lunakkan suara sehingga orang yang dalam hatinya terdapat penyakit menjadi berminat dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf” (Al-Ahzab; 32)
Karena itulah dalam talbiyah yang perintahnya diucapkan keras, Asy-Syafi’i memfatwakan bahwa khusus untuk wanita diperintahkan pelan. Asy-Syafi’i berkata,
“Para wanita diperintahkan untuk menutup diri. Jika suaranya tidak bisa didengar oleh siapapun maka itu lebih utama baginya dan lebih menjaga kehormatannya. Jadi, seorang wanita janganlah mengeraskan suaranya untuk bertalbiyah dan cukup bersuara (dengan volume) yang memperdengarkan dirinya saja” (Al-Umm, juz 2 hlm 170)
Termasuk juga dalam salat, wanita dimakruhkan bersuara keras jika ada lelaki ajnabi. Ar-Romli berkata,
“Para ulama telah menegaskan makruhnya wanita mengeraskan suara dalam salat di depan lelaki ajnabi. Mereka menjelaskan, alasannya bahwa itu dikarenakan kuatir fitnah” (Nihayatu Al-Muhtaj, juz 1 hlm 408)
Kata An-Nawawi, jika mendengar suara wanita bisa menimbulkan fitnah, maka hukum mendengar suara wanita yang seperti ini statusnya adalah jatuh haram. Dalam konteks kuatir menimbulkan fitnah, jika ada tamu, menjawabnya jangan pakai suara lembut nan halus, tapi pakailah suara kasar. An-Nawawi berkata,
“Suaranya bukanlah aurat menurut pendapat yang paling kuat. Akan tetapi, haram mendengarkan suaranya ketika dikuatirkan fitnah. Jika ada orang yang mengetuk pintunya maka seyogyanya dia (wanita itu) tidak menjawabnya dengan suara yang lembut tetapi hendaknya mengkasarkan suaranya” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 7 hlm 21)
Khusus untuk nyanyian wanita, Ibnu Al-Jauzi menukil bahwa salah seorang ulama Asy-Syafi’iyyah bernama Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari memfatwakan tidak boleh mendengar nyanyian wanita yang bukan mahram tanpa membedakan apakah wanita itu merdeka ataukah budak. Ibnu Al-Jauzi berkata,
“Dari Abu Ath-Thoyib Ath-Thobary, dia berkata, ‘Adapun mendengarkan nyanyian dari seorang wanita yang bukan mahram, maka ulama-ulama Syafi’iyah mutaqaddimin mengatakan bahwa hal itu tidak boleh. Sama saja apakah wanita itu merdeka ataukah budak” (Talbis Iblis, hlm 215)
Asy-Syafi’i bahkan konon mengatakan orang yang mengumpulkan khalayak untuk mendengarkan nyanyian wanita adalah orang tolol yang ditolak persaksiannya (diserupakan dengan orang fasik),
“Asy-Syafi’i berkata, ‘Orang yang memiliki budak wanita, jika dia mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan nyanyiannya, maka dia itu safih (tolol) yang ditolak persaksiannya. Kemudian beliau menyatakan lebih keras lagi dan berkata, ‘Dia itu dayyatsah’ (Talbis Iblis, hlm 215)
Dikecualikan dalam kondisi ini, nyanyian wanita mubah didengarkan jika aman dari fitnah seperti kisah Rasulullah ﷺ mendengarkan nyanyian dua wanita yang bernadzar bernyanyi di hadapan Nabi. At-Tirmidzi meriwayatkan,
Rasullah ﷺ bepergian pada suatu peperangan, tatkala pulang datang seorang budak hitam berkata : Wahai Rasulullah saya bernazar jika Allah menyelamatkanmu dalam peperangan saya akan memukul rebana di depanmu dan bersenandung syair. Lalu mulailah budak wanita itu memukul rebana. Kemudian Abu Bakar masuk (menemui Rasulullah) dan budak itu masih memukul rebana. Lalu masuk Ali bin Abi Thalib, diapun tetap memukul rebana, kemudian datang Utsman bin Affan, dan budak wanita itu masih memukul rebana, dan tatkala Umar bin Khattab masuk, budak wanita itupun melempar rebana di bawah pantatnya dan mendudukinya. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya syaitan benar-benar takut darimu wahai Umar, tatkala aku duduk budak wanita itu memukul rebana, lalu masuk Abu Bakar, Ali dan Utsman, dia masih memukul rebana, tatkala dirimu yang datang budak wanita itu melemparkan rebananya.”
Abdurrahman Al-Mubarokfuri menjelaskan hadis ini dengan berkata,
“Lafaz ‘ataghonna’ (Aku bernyanyi) adalah dalil bahwasanya mendengarkan suara wanita untuk bernyanyi adalah mubah jika bebas dari fitnah” (Tuhfatu Al-Ahwadzi, juz 10 hlm 122)
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani juga menjelaskan kaidah ini (bolehnya mendengar nyanyian wanita jika aman dari fitnah). Dalam Fathu Al-Bari beliau berkata,
“Hadits ini dijadikan dalil kebolehan mendengarkan suara gadis yang bernyanyi meskipun bukan seorang budak, karena Nabi ﷺ tidak mengingkari Abu Bakar ketika mendengarkannya bahkan mengingkari pengingkarannya. Dua gadis itu meneruskan nyanyiannya sampai Aisyah memberi isyarat kepada keduanya agar mereka keluar. Tidak ada kesamaran bahwa kebolehannya adalah jika terealisasi aman dari fitnah wallahualam” (Fathu Al-Bari, juz 2 hlm 443)
Wallahua’lam
2 Comments
yhann
Ustadz Bukankah Hukun Musik Itu HARAM karna musik itu illat nya Melalaikan serta dalil dari Al-Qur’an ialah Surah Luqman:31/Ayat 6-7 dengan Tafsir Lafadz لهو الحديث” yang ditafsirkan nyanyian oleh Sahabat Terkenal seperti Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dan yang lainnya serta ada dalil Dari Hadits sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”
Lalu Katanya Musik ini Sudah Ijma’ Salafus Sholih baik dari 4 Madzahib Fuqaha’ yang mengatakan bahwa musik ini haram apalagi dinyanyikan wanita yang konsekuensinya akan menimbulkan fitnah syahwat bagi lelaki ajnabi , Mohon Ustadz jika ada kesalahan Tolong dikoreksi , Jazakallahu Khairan
Admin
Jika dikatakan ada ulama yang mengharamkannya, maka itu betul.
Tapi jika dikatakan bahwa sudah ijmak haram, maka itu yang tidak tepat, karena soal musik ini memang soal ikhtilaf sejak dari dulu.
Imam Malik dikenal tidak mengharamkan musik.
Salah satu perawi yang dipakai Al-Bukhari bahkan bernyanyi dulu sebelum meriwayatkan hadis karena ada muridnya yang bersikap terlalu keras terhadap musik. Beliau melakukan itu agar sikap muridnya proporsional.
Asy-Syaukani bahkan punya kitab khusus yang membantah pendapat yang mengharamkan mendengarkan lagu secara mutlak. Nama kitabnya berjudul “Ibthal Da’wa Al-Ijma’ ala Tahrimi Muthlaqi As-Sama’” (membatalkan klaim ijmak tentang haramnya mendengarkan nyanyian secara mutlak)
Tentang hadis bahwa akan ada umat Islam yang mengharamkan ma’azif/alat musik, maka Asy-Syaukani menjelaskan bahwa tidak semua athaf itu konsekuensi hukumnya sama.
Wallahua’lam (Muafa)