PERTANYAAN
Bismillah. Assalamu ‘alaikum ustadz Muafa, ana (Vita, Ummu Shofiyyah) memdapatkan nomor ustadz dari ustadz Heri Suheri.
Afwan ada hal terkait warisan yang ingin ana tanyakan, pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan titipan dari teman saya karena beliau sungkan untuk bertanya ke Ustadz, dan mohon maaf tidak saya edit:
“Jadi begini umm. Ana kan 2 bersaudara tapi kakak ana (laki-laki) sudah meninggal 5 tahun lalu dan beliau punya anak lelaki 1. Papa ana sudah nikah lagi tapi tidak punya anak dari istrinya yang sekarang, tapi istrinya punya tanah warisan dari orangtuanya dan dibangun rumah oleh papa ana.. Terus nenek ana yang dari papa sudah kasih jatah buat anaknya masing-masing, terus ibu tiri ana bilang jatah papa ana buat anaknya (maksudnya ana). Nenek sama papa ana setuju… Nah umm klo menurut Islam itu seharusnya pembagian yang seharusnya bagaimana?
Jujur ana pribadi sih tidak terlalu mengharapkan harta warisan dan tidak mau meributkannya. Oh iya 1 lagi. Ibu kandung ana belum dicerai resmi sama papa ana. Minta solusinya umm. Jadi kira-kira siapa aja yang nanti akan dapat dan berapa persenkah? Terus bagaimana sama ibu kandung dan ibu tiri ana? Dapat berapa persenkah? Begitu juga sama anaknya kakak ana umm.. Terus sama rumah yang di bangun sama papa ana di tanah warisan istrinya apa ana juga ada hak disana atau tidak atau bagaimana gitu umm . Waktu orangtua ana masih bersama, sempat punya tanah kurleb 500m dan tanah itu dijual sama orangtua dari papa ana tanpa sepengetahuan mama ana.. Nah itu gmn ya umm? (Ummu Shofi, Bekasi)
JAWABAN
Oleh; Ummu Muhammad (dikoreksi Muafa)
Wa’alaikumussalalam warahmatullaah wabarokaatuh.
Dari fakta yang diceritakan, nampaknya penanya memaksudkan bagaimana pembagian waris jika ayahnya meninggal dunia. Ini yang akan kita jadikan asumsi untuk memecahkan kasus waris ini.
Dengan asumsi demikian, maka data yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut,
Muwarrits atau orang yang (diasumsikan) meninggalkan harta warisan adalah ayah Ummu Shofie.
Ahli warisnya adalah,
- 2 istri (dengan asumsi ibu kandung belum sah dicerai secara syar’i),
- satu putri (Ummu Shofi),
- satu putranya putra (putra kakak Ummu Shofie)
- ibu (nenek Ummu Shofie)
Ayahnya ayah penanya (kakek Ummu Shofie) diasumsikan saat ini sudah wafat, karena tidak diceritakan dalam pertanyaan, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam daftar ahli waris.
Adapun harta yang ditinggalkan oleh muwarrits (tarikah) adalah bangunan rumah (tidak termasuk tanahnya) dan seluruh harta milik muwarrits yang mungkin belum disebutkan. Mengenai rumah tersebut, karena muwarrits hanya memiliki bangunannya dan bukan tanahnya, maka yang bisa dibagi hanya bangunannya. Untuk memudahkan, ahli waris bisa menjual rumah tersebut dan memperkirakan nominal harga masing-masing bangunan dan tanahnya, sehingga harta yang seharga bangunan rumah itu bisa dibagi dengan mudah.
Harta lain yang bisa diperkirakan akan menjadi harta warisan adalah tanah dari nenek Ummu Shofie yang menurut informasi sudah dijadikan jatah untuk ayah Ummu Shofie (dan direncanakan untuk diberikan kepada Ummu Shofie). Tanah ini harus diperjelas statusnya. Jika sudah jelas dihibahkan kepada ayah Ummu Shofie, maka itu nanti bisa dimasukkan sekalian sebagai harta tinggalan ayah Ummu Shofie. Tapi jika hibah itu masih rencana, dan belum diberikan secara riil, maka tanah tersebut justru akan menjadi harta tinggalan nenek Ummu Shofie jika nenek tersebut wafat. Jika tanah tersebut riil dihibahkan kepada Ummu Shofie saat nenek masih hidup, maka tanah tersebut sah menjadi milik Ummu Shofie dan tidak perlu dimasukkan dalam kelompok harta tinggalan/tarikah ayah Ummu Shofie.
Setelah jelas siapa muwarrits, ahli waris, dan tarikah-nya, maka kita tentukan jatah warisan.
Ketentuannya adalah sebagai berikut,
Bagian istri adalah 1/8 karena muwarrits memiliki anak berdasarkan ayat berikut,
Artinya:
“Dan bagi mereka (istri-istri kalian) adalah seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak punya anak. Jika kalian punya anak, maka bagi mereka adalah seperdelapan dari apa yang kalian tinggalkan setelah ditunaikan wasiat yang mereka berwasiat dengannya, atau pelunasan hutang” (An-Nisa: 12).
Karena ada dua istri, maka keduanya berserikat dalam bagian 1/8 tersebut.
Adapun ibu, maka bagiannya adalah 1/6 karena berdasarkan An-Nisa ayat 11 karena muwarrits memiliki anak,
Artinya:
“Dan bagi ayah dan ibu setiap dari mereka mendapatkan seperenam dari apa yang ditinggalkan, jika mayit memiliki anak” (An-Nisa: 11).
Putri, karena seorang diri, maka mendapatkan bagian ½ berdasarkan surah An-Nisa ayat 11 berikut:
Artinya:
“Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh” (An-Nisa:11).
Ayat di atas sangat jelas menerangkan bagian anak perempuan jika sendirian yaitu mendapat separuh atau ½.
Putranya putra berposisi sebagai ashobah, yakni mendapatkan harta sisa, karena dalam kasus ini ia merupakan lelaki terdekat dari muwarrits. Hal ini berdasarkan hadis nabi berikut ini,
“Dari Ibnu Abbas beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Berikanlah jatah-jatah waris itu kepada pemiliknya (orang yang berhak), apa yang tersisa maka itu untuk laki-laki yang terdekat” (H.R. Al-Bukhari)
Sekali lagi, bagian untuk 2 istri adalah 1/8, ibu adalah 1/6, 1 putri adalah 1/2 dan 1 putra putra adalah sisanya. Jika, penyebutnya disamakan untuk memperoleh bilangan bulat, maka jatah masing-masing ahli waris adalah,
istri pertama= 3/48
istri kedua=3/48
ibu =8/48
putri=24/48
putra putra=10/48.
Ini semua mengasumsikan jika ibu kandung Ummu Shofie belum dicerai secara syar’i dan hanya ditinggal begitu saja. Dalam kondisi demikian, maka status ibu kandung Ummu Shofie masih sah sebagai istri sehingga seandainya ayah Ummu Shofie wafat, maka ibu kandung Ummu Shofie masih sah sebagai istri dan berhak mendapatkan jatah warisan sebesar 3/48 sebagaimana telah dihitungkan dalam analisa di atas.
Adapun jika Ummu Shofie memaksudkan ibu kandungnya sebenarnya sudah ditalak secara syar’i (menurut agama) dan sah talak tersebut, hanya saja belum mendapatkan akta cerai dari Pengadilan Agama, tetapi, maka status ibu kandung Ummu Shofie tidak lagi sebagai istri. Dengan demikian, seandainya ayah Ummu Shofie wafat, maka ibu kandung ummu shofie sudah tidak sah sebagai istri dan tidak berhak mendapatkan jatah warisan. Oleh karena itu yang berhak mendapatkan warisan hanyalah istri barunya. Artinya jatah warisan 1/8 dikuasai penuh istri baru (ibu tiri Ummu Shofie).
Adapun jika saat ayah Ummu Shofie wafat ternyata ibunya (nenek Ummu Shofie) sudah wafat sebelumnya, berarti ahli warisnya cuma 3 orang, yaitu,
- Ummu Shofie
- Ibu tiri Ummu Shofie
- Putra kakak Ummu Shofie
Jika seperti ini kondisinya, maka jatah warisan Ummu Shofie adalah ½, ibu tiri Ummu Shofie adalah 1/8 dan sisanya adalah jatah putra kakak Ummu Shofie. Dengan kata lain Ummu Shofie mendapatkan 4/8, ibu tiri Ummu Shofie mendapatkan 1/8 dan putra kakak Ummu Shofie mendapatkan 3/8.
Yang perlu ditekankan, rumah hasil kerja ayah Ummu Shofie itulah harta warisan/tarikah yang akan dibagi-bagi. Adapun tanah dari nenek Ummu Shofi, maka itu satusnya bisa tetap hak milik nenek Ummu Shofi, bisa menjadi hak milik ayah Ummu Shofie atau bahkan bisa menjadi hak milik Ummu Shofie. Semua tergantung dari akad hibah riil yang terjadi.
Untuk tanah bersama sekitar 500 M, maka sattus kepemilikannya adalah milik orangtua Ummu Shofie. Jika dijual orang tua ayah Ummu Shofie tanpa sepengetahuan, maka itu adalah ghoshob dan menjadi hutangnya. Ibu kandung Ummu Shofie tetap berhak 50% dari tanah itu dan ayah Ummu Shofie juga berhak 50% dari tanah itu. Jika ayah Ummu Shofie wafat, maka nilai tanah 50% itu dimasukkan dalam harta tinggalan/tarikah yang harus dibagi menurut hukum waris Islam.
Ringkasnya, ini hanya perkiraan kasar. Cara membagi warisan nanti harus tetap didasarkan data riil saat ayah Ummu Shofie wafat, karena ketentuannya bisa berubah-ubah sesuai kondisi riil yang ada.
Wallahu a’lam bis showwab.