Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum membuat sutroh sholat dari kayu seperti yang banyak terlihat di masjid-masjid, apakah benar ada tuntunan sunnahnya?
2. Berapa jarak batasan kita boleh lewat depan orang yang sedang sholat?
3. Sajadah apakah cukup menjadi sutroh?
4. Bukan mengenai sutroh, apakah sikap kita pada saat sedang menjalankan sholat jamaah, kemudian di tengah-tengah sholat kita persis di depan kita ada shaf yang kosong, apakah kita maju mengisi shaf kosong tersebut? (+62 xxxxxxx-7530)
JAWABAN
Syariat sutroh (السترة) dimaksudkan untuk mencegah orang lain lewat di depan orang yang salat sehingga dia bisa lebih khusyu menjalankan salatnya. Matanya juga terbatasi untuk tidak melihat area di luar sutroh. Dasarnya adalah hadis ini,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ (سنن ابن ماجه (3/ 215)
“Dari Abdurrahman bin Abi Sa’id, dari ayahnya, ia berkata, ‘Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Jika salah seorang diantara kalian salat, maka hendaklah salat menghadap sutrah dan hendaknya mendekat padanya dan jangan membiarkan seorangpun lewat di depannya. Jika ada orang yang datang lewat maka hendaklah dicegah sekuatnya karena sesungguhnya dia setan” (H.R. Ibnu Majah)
Hukum memasang sutroh adalah sunnah, bukan wajib. Dalil yang menunjukkan adalah adanya riwayat bahwa Rasulullah pernah salat tanpa sutroh,
عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ (سنن أبى داود (2/ 376)
“Dari Al-Fadl bin Abbas ia berkata, ‘Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendatangi kami sementara kami berada di desa kami. Beliau ditemani Al-Abbas. Lalu beliau salat di padang sahara sementara di depan beliau tidak ada sutrah. Waktu itu ada keledai dan anjing milik kami yang bermain-main di depan beliau tetapi beliau tidak mempedulikan hal tersebut” (H.R, Abu Dawud)
Hanya saja, sutroh itu disunnahkan jika kuatir ada orang lewat di depannya. Jika tidak ada kekhawatiran itu maka tidak lagi disunnahkan. Al-Marghinani berkata,
ولا بأس بترك السترة إذا أمن المرور (الهداية شرح البداية (1/ 63)
“Tidak mengapa meninggalkan sutrah jika aman dari orang yang lewat” (Al-Hidayah, juz 1 hlm 63)
Sutroh bisa berupa dinding, tiang masjid, tongkat, tas, dan semisalnya. Bahkan garis pada lantai karpet masjid atau sajadah sudah cukup mewakili sutroh. An-Nawawi berkata
“Yang menjadi sunnah bagi seseorang yang salat adalah memasang sutrah di depannya, baik berupa dinding, tiang masjid, atau selainnya dan mendekat padanya” (Al-Majmu’ juz 3 hlm 247)
Ibnu Qudamah berkata,
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ سُتْرَةً خَطَّ خَطًّا، وَصَلَّى إلَيْهِ، وَقَامَ ذَلِكَ مَقَامَ السُّتْرَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ. وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَالْأَوْزَاعِيُّ (المغني لابن قدامة (2/ 177)
“Jika tidak mendapati sutrah maka hendaklah membuat garis dan salat ke arahnya dan yang seperti itu menggantikan sutrah. Ahmad menyatakan hal tersebut dan ini adalah pendapat Said bin Jubair dan Al-Auza’i” (Al-Mughni juz 2 hlm 177)
وَإِنْ كَانَ مَعَهُ عَصَا فَلَمْ يُمْكِنْهُ نَصْبُهَا. فَقَالَ الْأَثْرَمُ: قُلْت لِأَحْمَدَ: الرَّجُلُ يَكُونُ مَعَهُ عَصًا، لَمْ يَقْدِرْ عَلَى غَرْزِهَا، فَأَلْقَاهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، أَيُلْقِيهَا طُولًا أَمْ عَرْضًا؟ قَالَ: لَا، بَلْ عَرْضًا. وَكَذَلِكَ قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَالْأَوْزَاعِيُّ. وَكَرِهَهُ النَّخَعِيُّ. وَلَنَا، أَنَّ هَذَا فِي مَعْنَى الْخَطِّ، فَيَقُومُ مَقَامَهُ، وَقَدْ ثَبَتَ اسْتِحْبَابُ الْخَطِّ بِالْحَدِيثِ الَّذِي رَوَيْنَاهُ (المغني لابن قدامة (2/ 177)
“Jika dia memiliki tongkat dan tidak bisa memasangnya maka Al-Atsrom berkata, ‘Aku bertanya kepada Ahmad , ‘Ada seorang lelaki yang memiliki tongkat, tetapi dia tidak bisa menancapkannya lalu dia melemparkan di depannya. Apakah dia melemparkannya secara vertikal atau horizontal? Ahmad menjawab, ‘Tidak (dilemparkan secara vertikal) tetapi horizontal.’ Demikianlah pendapat Said bin Zubair dan Al-Auza’i. An-Nakho’i tidak menyukainya. Adapun argumentasi kami, sesungguhnya (melemparkan tongkat secara horizontal) ini semakna dengan garis sehingga mewakilinya dan sudah terbukti disunnahkannya membuat garis berdasarkan hadis yang kami riwayatkan” (Al-Mughni, juz 2 hlm 177)
Jarak dengan sutroh jangan sampai lebih dari 3 dziro’ (sekitar 140 cm). An-Nawawi berkata,
وَالسُّنَّةُ أَنْ لَا يَزِيدَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ (المجموع شرح المهذب (3/ 247)
“Yang menjadi sunnah adalah hendaknya jarak pemasangan sutrah itu tidak melebihi 3 dziro’” (Al-Majmu’, juz 3 hlm 247)
Adapun jawaban pertanyaannya, penjelasannya sebagai berikut.
1.Membuat sutroh dari kayu dan memasangnya tidak dilarang, hanya saja itu takalluf (berlebihan) dan tidak pernah dilakukan di zaman Nabi
2. Jarak batasan kita boleh lewat depan orang yang sedang sholat adalah sekitar 3 dziro’ (140 cm). Lebih dari itu kita boleh lewat di depan orang yang salat. Atau kalau di masjid yang lebih dari garis shaf atau ujung sajadah sudah cukup jadi ukuran.
3. Sajadah cukup menjadi sutroh
4. Pada saat sedang menjalankan sholat jamaah, kemudian di tengah-tengah sholat kita persis di depan kita ada shaf yang kosong, maju-lah mengisi shaf kosong tersebut. Asy-Syirbini berkata,
وَيُسَنُّ سَدُّ فُرَجِ الصُّفُوفِ (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج (1/ 493)
“Disunnahkan untuk mengisi celah-celah shof” (Mughni Al-Muhtaj, juz 1 hlm 493)
Wallahua’lam