Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebutan الْمُعَاهدُ adalah istilah dalam kajian politik Islam/”siyasah syar’iyyah” untuk menyebut orang kafir “harbi” yang yang membuat perjanjian dengan kaum muslimin tanpa membedakan apakah dia berupa individu, organisasi, maupun negara/institusi politik.
Pertanyaannya, bagaimana pelafalan yang lebih akurat untuk lafaz ini? Apakah dibaca “mu’ahad” (الْمُعَاهَدُ) ataukah “mu’ahid” (الْمُعَاهِدُ)?
Jawaban singkatnya adalah, dua-duanya boleh. Hanya saja yang lebih populer dan sering dipakai adalah “mu’ahad” (الْمُعَاهَدُ), yakni dengan mem”fathah”kan ha’. Melafalkan dengan cara mem”fathah”kan ha’ (“mu’ahad”) berarti memahami lafaz tersebut sebagai “isim maf’ul” sementara melafalkan dengan cara meng”kasroh”kan ha’ (“mu’ahid”) berarti memahami lafaz tersebut sebagai “isim fa’il”. Lafaz “mu’ahad” sebagai “isim maf’’ul” makna harfiahnya adalah “(orang) yang disasar/diikat dengan perjanjian”. Adapun lafaz “mu’ahid” sebagai “isim fa’il”, makna harfiahnya adalah “(orang) yang membuat ikatan perjanjian (dengan orang lain)”.
Al-Khorisyi berkata,
“Ucapan beliau ‘Untuk “mu’ahad”’ (lafaz “mu’ahad” ini adalah) dengan mem”fathah”kan huruf ha’. Inilah yang lebih populer dalam percakapan. (Makna “mu’ahad”) yakni, orang yang mana kaum muslimin membuat perjanjian dengannya. Maksudnya, kaum muslimin memberi mereka perjanjian bahwa mereka tidak akan diganggu. Boleh juga (lafaz “mu’ahad” dibaca dengan cara) di”kasroh”kan ha’nya (“mu’ahid”), dengan makna, orang yang membuat perjanjian dengan kaum muslimin. Artinya, dia mengambil perjanjian dari kaum muslimin untuk mendapatkan keamanan” (Syarah Mukhtashor Kholil, juz 5 hlm 80)
Senada dengan Al-Khorosyi, Al-‘Azizi juga berkata,
“Mu’ahad” adalah dengan mem’fathah’kan ha’ sebagai ‘isim maf’ul’, yakni orang yang diberi perjanjian, maksudnya diajak berdamai. Boleh juga di”kasroh”kan ha’nya dengan memahaminya sebagai ‘isim fa’il’, karena orang yang engkau membuat perjanjian dengannya maka dia juga membuat perjanjian denganmu. Hanya saja, membaca yang mem”fathah”kan ha’ itu lebih banyak” (As-Siroj Al-Munir, juz 4 hlm 315)
Demikian pula Ash-Shon’ani,
“Mu’ahad” adalah (dibaca) dengan mem”fathah”kan ha’, yakni orang-orang yang kaum muslimin membuat perjanjian dengannya. Boleh juga (lafaz tersebut dibaca dengan) meng”kasroh”kan ha’ (At-Tanwir, juz 10 hlm 341)
Adapun mengapa orang kafir jenis ini dinamakan “mu’ahad” dalam kajian Islam siyasah, maka secara ringkas penjelasannya adalah sebagai berikut.
Dari sisi ketundukan terhadap hukum-hukum Islam dan kewarganegaraan (tabi’iyyah/citizenship) pemerintahan Islam, orang-orang yang tidak beragama Islam secara umum dibagi menjadi dua macam, yakni kafir “dzimmi” (الذمي) dan kafir “harbi” (الحربي).
Maksud kafir “dzimmi” adalah orang kafir yang tunduk pada hukum-hukum Islam di bawah pemerintahan Islam dan mengambil kewarganegaraan pada pemerintahan Islam, sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk ditunjukkan keindahan penerapan Islam secara praktis dan mendapatkan kesempatan didakwahi Islam secara amali, meskipun dia tetap dalam agamanya dan dibiarkan dalam keyakinannya (karena memang tidak ada paksaan dalam agama). Ia dinamakan “dzimmi”, karena dia membuat perjanjian untuk dilindungi dan mendapatkan hak sebagai warga negara dalam pemerintahan Islam sesuai dengan kesepakatan akad “dzimmah”. “Dzimmah” sendiri secara bahasa bermakna “jaminan”, “tanggungan” atau “perlindungan”. Dalam akad “dzimmah” itu terutama sekali dibahas soal pembayarah “jizyah” (semacam pajak kepala yang dibayarkan setiap tahun) sebagai kompensasi mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara.
Adapun kafir “harbi”, maka yang dimaksud adalah kafir selain “dzimmi”. Dinamakan kafir “harbi” karena dia punya potensi untuk diperangi dalam konteks jihad fi sabilillah. Mereka ini terbagi menjadi dua, yakni kafir “harbi hukman” dan kafir “harbi fi’lan”. Kafir “harbi hukman” adalah orang-orang kafir yang punya potensi untuk diperangi tetapi tidak ada konflik riil dengan umat Islam sementara kafir “harbi fi’lan” adalah orang-orang kafir yang punya konfilk rill dengan umat Islam.
Kemudian, jika kafir “harbi” ini membuat perjanjian dengan kaum muslimin maka mereka disebut kafir “mu’ahad” atau disebut juga “ahlul hudnah”, “ahlul ‘ahdi”, dan “ahlus shulhi” . Jika “kafir harbi”” ini datang ke pemerintahan Islam dan minta perindungan (suaka politik) maka mereka disebut kafir “musta’min”. Orang kafir yang biasa mencari perlindungan ini di zaman dulu ada empat macam yakni para duta, para pedagang, pencari suaka, dan tholibu hajah seperti orang yang hendak berkunjung, belajar dan lain-lain.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa orang kafir itu ada yang membuat perjanjian dengan kaum muslimin dan ada yang tidak. Jika mereka membuat perjanjian, maka mereka bisa tergolong kafir “dzimmi”, kafir “mu’ahad” atau kafir “musta’min” tergantung kondisinya. Jika mereka tidak membuat perjanjian, maka mereka tergolong kafir “harbi”, entah itu “hukman” ataukah “fi’lan”. Wallahua’lam