Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebutan الْمُسْتَأْمنُ adalah istilah dalam kajian politik Islam/”siyasah syar’iyyah” untuk menyebut orang kafir “harbi” yang meminta keamanan kepada kaum muslimin dan pemerintahan Islam. An-Nawawi berkata,
“Musta’min adalah (kafir) harbi yang masuk ke Darul Islam dengan (jaminan) keamanan” (Tahrir Alfazh At-Tanbih, hlm 325)
Di zaman dulu, kafir jenis ini adalah empat kelompok,
Pertama, para “rusul” (الرسل) yakni para duta dari negara kafir “harbi” yang datang ke Darul Islam untuk berdiplomasi dengan kaum muslimin.
Kedua, para “tujjar” (التجار), yakni para pedagang yang datang ke Darul Islam untuk mencari nafkah dan berbisnis.
Ketiga, para “mustajir” (المستجيرون) yakni para pencari suaka yang diizinkan dalam batas waktu tertentu untuk mendapatkan dakwah Islam sampai mereka memutuskan apakah masuk Islam ataukah menolak dan kembali ke negeri mereka.
Keempat, para “tholibu hajah” (طالبو حاجة), yakni orang-orang yang punya keperluan di Darul Islam seperti hendak berkunjung, berobat, belajar dan lain-lain.
Pertanyaannya, bagaimana pelafalan yang lebih akurat untuk lafaz ini? Apakah dibaca “musta’min” (الْمُسْتَأْمِنُ ) ataukah “musta’man” (الْمُسْتَأْمَنُ )?
Jawaban singkatnya adalah “musta’min” (الْمُسْتَأْمِنُ ) yang lebih tepat, bukan “musta’man”. Memang benar ada sebagian fuqoha’ yang membenarkan pelafalan “musta’man”, hanya saja hal tersebut adalah pendapat yang lemah dari sisi bahasa.
Paling tidak ada tiga argumentasi yang membuat pelafalan “musta’min” lebih tepat dan lebih kuat.
Pertama, wazan “istaf’ala” yang dipakai pada lafaz “musta’min” maknanya adalah “tholab” (permintaan) sebagaimana pada lafaz “istaghfaro” (meminta ampun). Jadi, makna “musta’min” adalah orang yang meminta keamanan dan makna ini cocok dengan fakta “musta’min” sebagai kafir “harbi” yang datang ke negeri Islam untuk meminta keamanan.
Kedua, sighat “isim fa’il” dengan memaknai “wazan istaf’ala” bermakna “tholab” lebih sesuai dengan “siyaq” (konteks) dan “qorinah” (indikasi) yang ada dalam kitab-kitab fuqoha’ yang membahas jenis orang kafir “harbi” yang datang untuk meminta keamanan.
Ketiga, Sejumlah ulama menegaskan bahwa dhobthnya memang dengan mengkasrohkan mim sebagai isim fa’il. Di antaranya adalah dalam kitab “Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’. Di sana disebutkan,
“Musta’min adalah dengan mendhommahkan mim, mensukunkan sin dan mengkasrohkan mim” (Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’, juz 2 hlm 18)
Demikian pula Ibnu Al-‘Utsaimin. Beliau berkata,
“Musta’min adalah dengan mengkasrohkan mim” (Al-Qoul Al-Mufid, juz 1 hlm 38)
Adapun pendapat yang membolehkan pelafalan “musta’man” dengan mengasumsikan bahwa wazan “istaf’ala” yang ada dalam lafaz tersebut bermakna “wijdan/wujud”, maka argumentasi ini tertolak. Alasannya, pemaknaan tersebut akan membuat “musta’man” bermakna “orang yang dianggap aman” atau “orang yang didapati dalam keadaan aman”. Padahal fakta kafir “musta’min” adalah adalah orang yang minta keamanan lalu diberi keamanan.
Adapun pendapat yang membolehkan pelafalan “musta’man” dengan mengasumsikan bahwa wazan “istaf’ala” yang ada dalam lafaz tersebut bermakna “tholab”, maka argumentasi ini lebih jelas lagi kelemahannya. Alasannya, pemaknaan tersebut akan membuat “musta’man” bermakna “orang yang dimintai keamanan”, padahal fakta kafir “musta’min” adalah orang yang minta keamanan lalu diberi keamanan.
Adapun pendapat yang membolehkan pelafalan “musta’man” dengan mengasumsikan bahwa wazan “istaf’ala” yang ada dalam lafaz tersebut bermakna “shoiruroh/tahawwul”, maka argumentasi ini masih mungkin dikritik. Gugatannya pada dua sisi,
Pertama, pemaknaan tersebut akan membuat “musta’man” bermakna “orang yang menjadi aman”, padahal fakta kafir “musta’min” adalah adalah orang yang minta keamanan lalu diberi keamanan, bukan “orang yang menjadi aman”.
Kedua, wazan “istaf’ala” bermakna “shoiruroh” itu hanya bermakna “lazim” dan tidak mungkin bermakna “muta’addi”. Misalanya kalimat “istahjaro ath-thin” yang bermakna “lempung itu telah menjadi batu/membatu. Kata “istahjaro” adalah “fi’il lazim”, bukan “fi’il muta’addi”. Jika wazan “istaf’ala” yang bermakna “shoiruroh/tahawwul” hanya memberi makna “lazim”, maka mustahil ia akan mengambil wazan “isim maf’ul”, karena syarat pengubahan ke “isim maf’ul” adalah kata yang menjadi asal harus mengandung makna “muta’addi”. Ash-Shobban berkata,
“Ucapan beliau yang berbunyi ‘lith tholab au an-nisbah’ adalah agar tidak disalahfahami sebagai “istaf’ala” yang bermakna ‘shoiruroh’, sebab makna (shoiruroh) ini hanya untuk ‘fi’il lazim’ seperti pada kalimat ‘istahjaro ath-thin’ “ (Hasyiyah Ash-Shobban, hlm 726)
Jadi, lafaz ini lebih tepat diucapkan “musta’min”, bukan “musta’man”. Ibnu Al-‘Utsaimin menegaskan bahwa pelafalan “musta’man” adalah pelafalan orang yang merupakan bentuk gholath/error/kesalahan. Beliau berkata,
“Musta’min adalah dengan mengaksrohkan ‘mim’. Kebanyakan orang melafalkannya ‘musta’man’, yakni dengan memafathahkan ‘mim’ dan ini adalah kesalahan. Pasalnya, ‘musta’min’ itu bukan orang yang dimintai keamanan, tetapi justru dia yang diamankan. Dialah orang yang mendapatkan keamanan supaya tidak diganggu” (Asy-Syarhu Al-Mumti’, juz 11 hlm 304)
Di antara fuqoha’ yang mengatakan cara pelafalannya “musta’min”, tetapi masih membolehkan pelafalan “musta’man” adalah Ibnu ‘Abidin. Beliau berkata,
‘Musta’min adalah dengan mengkasrohkan ‘mim’ dengan memahaminya sebagai ‘isim fa’il’ berdasarkan ‘qorinah’ tafsir. Bisa dibenarkan juga membacanya dengan memfathahkan ‘mim’ sebagai ‘isim maf’ul’ dengan memahami bahwa ‘sin’ dan ‘ta’nya bermakna ‘shoiruroh’. Maknanya, dia menjadi aman” (Ad-Durru Al-Mukhtar, juz 4 hlm 166)