Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Adalah kekeliruan jika membayangkan bahwa pendapat-pendapat fikih (aqwal) Asy-Syafi’i, yakni ijtihad-ijthad beliau itu hanya akan ditemukan dari karya-karya tertulis Asy-Syafi’i saja. Jadi, keliru jika menyangka ijtihad Asy-Syafi’i itu sumbernya hanya dibatasi pada kitab Al-Umm misalnya. Salah satu contoh yang membuktikan hal ini adalah kutipan yang ditulis oleh Al-Mawardi dalam kitab “Al-Hawi Al-Kabir” berikut ini. Al-Mawardi menulis,
Dalam pernyataan di atas, Al-Mawardi menegaskan bahwa ucapan itu adalah pernyataan Asy-Syafi’i. Hanya saja, jika kita mencoba mencari teks tersebut di kitab “Al-Umm“, nyatalah bahwa teks itu tidak ada di sana. Kalau begitu, dari mana Al-Mawardi mendapatkan pernyataan Asy-Syafi’i itu?
Inilah pentingnya membahas topik ini.
Sesungguhnya ijtihad-ijtihad Asy-Syafi’i tidak hanya apa yang tertulis dalam kitab “Al-Umm” saja. Yang benar, ijtihad Asy-Syafi’i itu sumbernya ada yang tertulis, tetapi ada juga yang berupa riwayat. Terutama riwayat-riwayat ijtihad/fatwa yang diinformasikan oleh murid-murid Asy-Syafi’i yang mengambil ilmu langusng dari beliau. Jumlah mereka banyak, tapi yang terkenal banyak meriwayatkan ijtihad beliau ada sepuluh orang . Empat orang di antara mereka meriwayatkan “qoul qodim” beliau, sementara enam sisanya meriwayatkan “qoul jadid” beliau.
Empat orang meriwayatkan ijtihad qodim beliau adalah,
- Abu Tsaur [أبو ثور] (w. 240 H),
- Ahmad bin Hanbal [أحمد بن حنبل] (w. 241 H),
- Al-Karobisi [الكرابيسي] (w. 248 H), dan
- Az-Za’faroni [الزعفراني] (w. 260 H).
Adapun enam orang meriwayatkan ijtihad jadid beliau adalah,
- Al-Buwaithi [البويطي] (w. 231 H),
- Harmalah bin Yahya [حرملة بن يحيى] (w. 243 H),
- Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Jizi [الربيع بن سليمان الجيزي] (w. 256 H),
- Al-Muzani [المزني] (w. 264 H),
- Yunus bin Abdul A’la [يونس بن عبد الأعلى] (w. 264 H), dan
- Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi [الربيع بن سليمان المرادي] (w. 270 H)
Silakan mengkaji lebih dalam kitab “Sullamu Al-Muta’allim” karya Al-Ahdal untuk memahami hal ini lebih lanjut dan lebih detail.
Jadi, ketika Al-Mawardi tegas mengatakan ucapan dalam kitab “Al-Hawi Al-Kabir” di atas adalah ijtihad Asy-Syafi’i, padahal redaksi itu tidak terdapat pada kitab “Al-Umm”, maka hal itu menunjukkan ijtihad tersebut diketahui dari sumber yang lain. Sumber-sumber tersebut bisa kitab-kitab Asy-Syafi’i yang diketahui ulama-ulama Asy-Syafi’i di masa lalu yang sekarang hanya tinggal riwayat, atau riwayat-riwayat dari murid-muridnya yang kemudian dinukil dari satu masa ke masa yang lain. Kita tahu, penukilan riwayat ijtihad Asy-Syafi’i dan variasi tafri’atnya itu dalam satu masa sampai membentuk dua aliran Asy-Syafi’iyyah yakni aliran Khurasan dan aliran Irak. Merekalah yang disebut An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’ dan menurut penilaian An-Nawawi, aliran Irak-lah yang lebih valid dalam menukil riwayat ijtihad Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata,
“…Ketahuilah, bahwasanya penukilan sahabat-sahabat kami di kalangan aliran Irak terhadap pernyataan-pernyataan Asy-Syafi’i, kaidah-kaidah madzhab Asy-Syafi’i, dan ijtihad-ijtihad ulama semadzhab di kalangan mutaqoddimin lebih sempurna dan lebih valid dibandingkan dengan penukilan aliran Khurasan secara umum. Aliran Khurasan secara umum lebih baik dalam hal mengelola, membahas, memerinci, dan mensistematisasi…” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 69)
Jadi , catatan ini semakin mempertegas, memperkuat dan mempertajam kesimpulan bahwa merupakan kesalahan jika ingin mengetahui mazhab Asy-Syafi’i lalu bertumpu pada kitab Al-Umm semata sebagaimana saya kupas dalam artikel yang berjudul “Mengapa Tidak Langsung Merujuk Kitab “Al-Umm” Untuk Mengetahui Pendapat Mazhab Asy-Syafi’i?”.
Apa yang tercantum dalam kitab “Al-Umm”, maksimal hanya menunjukkan “manshushot” Asy-Syafi’i dan “aqwal”-nya. Tidak selalu mencerminkan pendapat “mu’tamad”. Mengetahui pendapat mazhab Asy-Syafi’i harus mealui proses tahrir mazhab, yakni meneliti semua riwayat klaim “aqwal” Asy-Syafi’i, disaring mana riwayat yang sahih dengan kritik sanad dan matan persis seperti dalam dunia hadis, lalu riwayat yang sahih itu diteliti jika bertentangan mana yang qodim mana yang jadid, mana yang sesuai kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i mana yang tidak dan seterusnya. Hasil tarjih ikhtilaf riwayat “aqwal” itulah nantinya bisa disebut sebagai pendapat mazhab Asy-Syafi’i.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين