Assalamu’alaikum Warohmatullah. Bagaimana hukumnya menta’zir kelompk lain, hanya karena tidak sesuai dengan pemhaman kelompoknya? bahkan tidak mau mengajaknya bicara dan memberi salam kepadanya? Bagaimana pendapat itu dalam pandagn Islam ust? Mohon penjelsan. (Syarif ibnu Liwang,Makassar). +6285255xxxxx3
Jawaban
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh.
Ini termasuk perkara menyedihkan di tengah-tengah umat Islam dan cerminan betapa jauhnya umat dari ajaran Islam. Suatu perkara yang sudah jelas kemungkarannya, sebagai akibat asabiah/fanatisme kelompok, hal mungkar sejelas itu bisa menjadi dianggap biasa atau minimal kabur untuk dilihat sebagai bentuk kemungkaran.
Haram memuqotho’ah (memutus hubungan) sesama Muslim baik yang berorganisasi maupun yang tidak berorganisasi dengan alasan berbeda pemahaman, melindungi pemikiran, menjaga kesolidan jamaah dan semisalnya. Haram pula memuqotho’ah karena urusan duniawi seperti ketersinggungan ucapan, hutang piutang, rebutan perempuan dan sebagainya. Dalil keharaman Muqotho’ah adalah hadis riwayat Bukhari;
Artinya,
Dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rasulullah SAWbersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim memutus hubungan dengan saudaranya melebihi tiga malam, (ketika) bertemu yang satu berpaling dan yang satunya juga berpaling, dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam (H.R. Bukhari)
Muslim yang memuqotho’ah sesama Muslim berarti telah terperangkap dalam jeratan Syetan dan menjadi bagian tim sukses proyek Syetan. Imam Muslim meriwayatkan;
Artinya,
Dari Jabir berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Sesungguhnya Syetan telah putus asa untuk disembah orang-orang yang shalat di jazirah arab, tapi (belum berputus asa untuk) merusak hubungan diantara mereka” (H.R.Muslim)
Muslim yang memuqotho’ah saudaranya, maka amal shalihnya tidak diterima Allah. Imam Muslim meriwayatkan;
Artinya,
Dari Abu Shalih; Aku mendengar Abu Hurairah berkata tentang sebuah Hadits yang telah ia marfu’kan; “Amal dilaporkan setiap hari kamis dan senin. Maka Allah mengampuni dosa setiap hamba-Nya yang tidak musyrik, kecuali orang yang bermusuhan dengan saudaranya (sesama Muslim). Maka dikatakan kepada mereka; Tunggulah dahulu kedua orang ini hingga berdamai! Tunggulah dahulu kedua orang ini hingga berdamai (H.R.Muslim)
Jika Muqotho’ah tersebut telah berlangsung selama setahun, maka dosanya seperti menumpahkan darah orang yang diputuskan hubungannya. Abu Dawud meriwayatkan;
Artinya,
Dari Abu Khirasy As Sulami Bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAWbersabda: “Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama satu tahun, maka sama dengan menumpahkan darahnya (H.R. Abu Dawud)
Muslim yang mati dalam keadaan memuqotho’ah maka dia akan masuk neraka. Abu Dawud meriwayatkan;
Artinya,
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, jika ia tetap mendiamkan hingga lebih dari tiga hari lalu meninggal dunia, maka ia masuk ke dalam neraka (H.R.Abu Dawud)
Adapun riwayat bahwa Nabi memuqotho’ah tiga Shahabat; Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Muroroh bin Ar-Robi’ karena mereka tidak ikut perang Tabuk, maka riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil kebolehan Muqotho’ah, karena Muqotho’ah Nabi terhadap mereka adalah bentuk Ta’zir terhadap maksiat, sementara Ta’zir hanya menjadi wewenang kepala negara/Khalifah atau yang mewakilinya. Tidak boleh jamaah atau individu melakukan Ta’zir, karena Ta’zir adalah jenis Uqubat yang hanya boleh dilakukan Hakim (penguasa). Sebagaimana individu/jamaah tidak boleh merajam pezina atau memotong tangan pencuri, maka individu/jamaah juga tidak boleh memuqotho’ah kaum Muslimin yang lain.
Riwayat Aisyah memuqotho’ah Abdullah bin Az-Zubair juga tidak bisa menjadi dalil kehalalan Muqotho’ah, karena perbuatan Aisyah bukan dalil. Lagipula dalam riwayat tersebut Aisyah mengakui kesalahannya dan bertaubat kemudian menghentikan Muqotho’ahnya.
Muqotho’ah individu/jamaah yang Syar’i hanya berlaku pada satu kondisi yaitu kepada Ahli Bid’ah, yakni orang-orang yang membuat-buat aturan baru dalam Dien tanpa dasar yang bertentangan dengan Syariat dan mempermainkan Dien mengikuti hawa nafsunya. Inilah Muqotho’ah yang benar, karena bermakna membela kehormatan Dien dan menjaga Dien. Dalil bahwa hanya kepada Ahli Bid’ah saja Muqotho’ah yang syar’i adalah hadis berikut;
Artinya,
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ, bahwasanya beliau bersabda: “Akan ada orang-orang pada akhir umatku berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang kalian belum pernah mendengarnya dan tidak pula moyang kalian. Maka kalian jauhilah dan mereka jauhilah (H.R.Muslim)
Ayat-ayat dalam Al-Quran seperti An-Nisa; 140, Al-An’am; 68, dan Hud;113 menguatkan ketentuan ini.
Lagipula, memuqotho’ah kaum Muslimin dengan alasan melindungi pemikiran agar tidak terpengaruh pemikiran islami lain yang lebih kuat adalah cara orang frustasi yang bangkrut secara pemikiran dan tidak intelek. Cara-cara itu dipakai oleh Kafir Quraisy untuk menghalangi dakwah Nabi atau kaum sosialis untuk menjaga kesolidan partai, atau kaum kapitalis untuk memblokir pengaruh dakwah pemikiran.
Adapun perlakuan terhadap orang Kafir, maka orang Kafir justru harus didakwahi bukan dimuqotho’ahi. Memuqotho’ah orang Kafir bermakna tidak melaksanakan perintah dakwah untuk menyebarkan Islam di muka bumi. Orang Kafir dihindari jika mereka mengolok-olok ayat-ayat Allah dan semisalnya, dan jika sudah berhenti maka didakwahi kembali. Pelaku maksiat dikalangan Muslim juga tidak boleh dimuqotho’ahi, karena sikap yang Syar’i justru melakukan Nahi Munkar dan menasehati mereka. Diam dan menghindar dari pelaku maksiat ketika bermaksiat adalah jenis iman yang paling lemah.
Atas dasar ini, haram hukumnya memuqotho’ah sesama Muslim dengan alasan berbeda pemahaman. Pelaku Muqotho’ah adalah pelaku maksiat, amal shalihnya tidak diterima, dan masuk neraka jika mati dalam keadaan memuqotho’ah. Jika dia menganggap halal perbuatannya, maka dia termasuh Ahli Bid’ah. Muqotho’ah sebagai Ta’zir hanya boleh dilakukan oleh Khalifah atau yang mewakilinya, dan Muqotho’ah bukan sebagai Ta’zir hanya boleh dilakukan terhadap Ahlul Bid’ah. Orang Kafir dan pelaku maksiat bukan dimuqotho’ah, tetapi wajib didakwahi, dinasehati, dan dicegah berbuat kemungkaran. Semua riwayat tentang Muqotho’ah Rasulullah SAW adalah bentuk Ta’zir, dan semua riwayat Muqotho’ah shahabat, Tabi’in atau Ulama adalah Muqotho’ah terhadap Ahli Bid’ah atau sekedar Taqlilu At-Ta’amul (minimalisasi interaksi). Wallahua’alam.