Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Istilah “Ash-Sholah Li Hurmatil Waqti” (الصلاة لحرمة الوقت) bisa dimaknai sederhana dengan “Salat untuk menghormati waktu”.
“Hurmah” (الحرمة) dalam istilah di atas adalah bentuk “isim mashdar” dari kata “ihtirom”. Jadi, ia bisa dimaknai “hal menghormati” atau “penghormatan” atau bahkan “sacredness/kesucian”. Yang jelas, “hurmah” itu mengandung makna bahwa ia tidak halal untuk dilanggar kehormatannya. Seorang istri bisa disebut “hurmah”, karena ia adalah kesucian yang tidak boleh dilanggar kehormatannya.
Adapun mengapa ada istilah “salat untuk menghormati waktu”, maka hal itu dikarenakan ada sejumlah situasi di mana seorang muslim sangat kesulitan untuk menjalankan salat sesuai dengan aturan idealnya yang mencakup pemenuhan syarat dan rukun. Contoh situasi situasi sulit itu di antaranya,
- Tidak menemukan air atau tanah untuk bersuci
- Tidak punya pakaian utnuk menutup aurat sehingga kondisinya telanjang
- Tidak tahu arah kiblat karena sedang tersesat atau berada di area asing yang tidak ada orang
- Sedang ditawan dan diikat sehingga tidak mungkin bersuci, rukuk dan sujud
- Terjebak dalam rawa sehingga tidak bisa rukuk dan sujud
- Duduk di kendaraan, baik kendaraan darat, laut maupun udara yang terbatas ‘space’-nya sehingga membatasi geraknya
- Duduk di tempat perkumpulan lautan manusia yang membatasi gerak
- Duduk di kendaraan dan kuatir tertinggal rombongan jika singgah untuk salat
- Waktu yang dimiliki sempit yang tidak cukup untuk wudhu atau mandi atau tayamum,
- Di badan ada najis dan tidak mampu menghilangkannya dengan cepat,
- Dan lain-lain.
Dalam kondisi normal, orang yang salat tanpa bersuci jelas tidak sah. Dalam kondisi normal, orang yang salat dengan tidak melakukan rukun (seperti berdiri, rukuk, sujud) jelas juga tidak sah. Akan tetapi, sangat dimungkinkan ada situasi-situasi “abnormal” seperti di atas yang menghalangi seorang muslim untuk salat secara sempurna dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Nah, situasi seperti inilah yang melahirkan fatwa “salat dalam rangka menghormati waktu”. Maksud salat untuk menghormati waktu adalah salat semampunya, meskipun tidak memenuhi syarat dan rukun dengan maksud untuk mengagungkan syi’ar Allah, meskipun secara hukum fikih salat seperti itu dalam kondisi normal dihukumi tidak sah.
Istilah salat untuk menghormati waktu di antaranya di sebutkan An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’. An-Nawawi berkata,
“Jika waktu sholat wajib telah tiba, sementara mereka sedang melakukan perjalanan dan kuatir jika singgah turun ke tanah untuk melakukan salat menghadap kiblat nanti akan ketinggalan rombongannya, atau kuatir keselamatan dirinya, atau kuatir keselamatan hartanya, maka tidak boleh meninggalkan salat itu dan mengeluarkan salat itu dari waktunya, tetapi yang benar dia harus salat di atas kendaraan untuk menghormati waktu dan wajib untuk mengulanginya karena itu hanyalah uzur yang jarang” (Al-Majmu’; juz 3 hlm 242)
Dalam kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi juga memfatwakan “salat lihurmatil waqti” dalam kasus seorang muslim tidak sanggup menemukan air atau tanah untuk bersuci. An-Nawawi berkata,
“Adapun jika orang yang junub itu tidak menemukan air atau tanah, maka dia tetap salat untuk menghormati waktu sesuai dengan kondisinya” (Al-Adzkar, hlm 11)
Kesucian dan kehormatan waktu tidak hanya dimiliki oleh ibadah salat, tetapi juga dimiliki oleh ibadah puasa Ramadan. Konsekuensinya, jika ada wanita yang haid diakhir bulan Sya’ban, lalu dia sucinya di waktu Zuhur di bulan Ramadan, maka dia wajib “imsak” (menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh) sampai waktu maghrib “lihurmatil waqti”, yakni menjaga kehormatan dan kesucian waktu puasa bulan Ramadan.
Demikian pula orang yang terlambat menerima berita terlihatnya hilal Ramadan. Jika berita terlihatnya hilal Ramadan itu datang jam 09.00 pagi misalnya, maka dia wajib “imsak” mulai jam 09.00 pagi itu sampai datang waktu maghrib.
Termasuk pula orang kafir yang baru masuk Islam. Jika dia masuk Islam di bulan Ramadan jam 15.00 sore misalnya, maka dianjurkan dia melakukan “imsak” sampai datang waktu maghrib. An-Nawawi berkata,
“Jika orang kafir masuk Islam, atau ada orang gila yang tersadar di tengah hari bulan Ramadan, maka disunahkan baginya untuk melakukan ‘imsak’ di sisa hari itu untuk menghormati waktu” (Al-Majmu’ juz 6 hlm 255)
“Imsak” yang dilakukan ini tidak dihitung puasa. Tetapi hanya semata-mata “meniru” orang puasa untuk menjaga kehormatan waktu puasa Ramadan. Artinya, jika sudah selesai bulan Ramadan berarti hari tersebut harus di-qodho/’diganti puasanya dengan hari yang lain.
Adapun orang yang sudah melaksanakan “salat lihurmatil waqti”, maka dari sisi hukum meng-qodho’ salat sesudah itu, para ulama berbeda pendapat.
Mazhab Asy-Syafi’i berpendapat, orang yang sudah melaksanakan “salat lihurmatil waqti”, maka jika sudah berada dalam kondisi normal, dia wajib meng-qodho’ salatnya dan mengulangi salat tersebut. An-Nawawi berkata,
“Jika dia tidak mendapati air atau tanah, maka ada empat pendapat. Yang terkuat adalah wajib baginya untuk salat sesuai dengan kondisinya dan wajib untuk mengulanginya” (Fatawa An-Nawawi, hlm 29)
Adapun Ahmad bin Hanbal, beliau berpendapat bahwa orang yang sudah melakukan salat semampunya, maka dia tidak usah meng-qodho‘ salat tersebut dan tidak perlu mengulang salat itu lagi.
Dalil yang dijadikan oleh Ahmad sebagai dasar kesimpulan ini adalah hadis yang menceritakan kisah Shahabat yang salat tanpa wudhu. Saat itu sejumlah shahabat nabi ﷺ mencari kalung Aisyah yang hilang, lalu mereka tidak mendapati air untuk bersuci. Akhirnya mereka salat tanpa bersuci. Setelah itu turun ayat yang mengajarkan tayamum dan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak memerintahkan Shahabat untuk mengulang kembali slaat yang dilakukannya tanpa wudhu. Hal ini menunjukkan, seorang muslim, yang sudah melakukan salat semampunya, maka gugurlah kewajibannya. Tidak perlu dia meng-qodho’ salat tersebut dan tidak perlu lagi mengulanginya. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Aisyah radhiallahu anha, bahwasanya beliau meminjam kalung dari Asma, lalu kalung tersebut hilang. Maka Rasulullah ﷺ menugasi sejumlah orang di kalangan sahabatnya untuk mencarinya. Lalu tibalah waktu salat sehingga mereka salat tanpa wudhu. Ketika mereka datang menghadap Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam maka mereka mengeluhkan hal tersebut kepada beliau. Lalu turunlah ayat tayamum” (H.R. Al-Bukhari)
Prinsip ini dikuatkan dengan ayat-ayat umum yang mengajarkan bahwa Allah tidak ingin menyusahkan hamba-Nya. Allah berfirman,
“Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan untuk kalian” (Al-Baqoroh; 185)
Allah juga tidak membebani hamba-Nya kecuai sekedar kuat kuasanya. Allah berfirman,
“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kuat kuasanya” (Al-Baqoroh; 286)
Rasulullah ﷺ juga mengajari untuk melakukan semua perintahnya semampu kita. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian” (H.R. Al-Bukhari)
Rukhshoh salat sambil duduk jika tidak mampu berdiri, dan rukhshoh salat sambil berbaring jika tidak mampu duduk juga menegaskan prinsip tersebut. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Imron bin Husain radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Aku memiliki penyakit ambeien, maka aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, ‘Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak mampu maka dengan duduk. Jika kamu tidak mampu maka dengan berbaring”.
Wallahua’lam.