Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hari itu Asad sedang bersedih. Bocah kecil itu bergegas menemui ibunya sambil menangis. Ketika ibunya bertanya apa sebabnya, Asad menceritakan ucapan kawan karibnya yang berasal dari Bani Makhzum. Kata Asad, teman bermainnya itu berkata dengan kalimat ini,
“Besok, kami akan melakukan “i’tifad””
Sontak ucapan ini mengagetkan Asad, karena kalimat tersebut bermakna Asad tidak akan pernah bertemu dengan teman bermain kesayangannya itu, untuk selamanya.
“i’tifad” (الاعْتِفَادُ) adalah sebuah tradisi di masa jahiliyyah, yang mana seseorang yang tidak punya makanan akan memutuskan untuk mengurung diri sampai mati. Keputusan ini dilakukan karena ia tidak ingin mengemis dan meminta-minta bantuan kepada orang lain yang dianggapnya akan menjadi aib dan kehinaan. Jadi, motivasi melakukan “i’tifad” adalah menjaga harga diri, martabat dan kehormatan. Mereka berprinsip, lebih baik mati berkalang tanah daripada harus menghina-hinakan diri dengan mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa “i’tifad” ini adalah salah satu tradisi “harakiri” ala Arab jahiliyyah dalam merespon problem ekonomi di skala keluarga.
Jadi, ketika teman Asad mengatakan bahwa keluarganya akan melakukan “i’tifad”, hal itu bermakna keluarga tersebut telah mengalami kemiskinan parah sampai tidak memiliki makanan sedikitpun untuk bertahan hidup. Ketika teman Asad memberi tahu bahwa keluarganya akan melakukan “i’tifad”, hal itu juga bermakna bahwa dia sudah “pamitan” kepada Asad untuk tidak bertemu lagi selamanya, karena sebentar lagi dirinya akan mati bersama keluarganya. Inilah yang membuat Asad menjadi sedih sampai menangis dan mengadu kepada ibunya.
Mendengar cerita putranya, bunda Asad menjadi iba. Segera saja beliau mengirim daging dan tepung kepada keluarga teman Asad tersebut. Dengan bantuan ini, maka keluarga itu bisa bertahan selama beberapa hari. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah persediaan makanan habis, teman Asad memberitahu lagi bahwa keluarganya bertekad untuk kedua kalinya akan melakukan “i’tifad”.
Kali ini Asad tidak mengadu kepada ibunya. Asad memilih mengadu kepada ayahnya, yakni Hasyim. Mendengar kisah anaknya itu, sedihlah Hasyim. Terguncang hatinya melihat masih ada keluarga di antara kaumnya yang memiliki penderitaan seberat itu. Naluri kepemimpinan dan kenegarawanannya mendorongnya segera untuk membuat keputusan politik yang akan segera menyelesaikan problem tersebut.
Bangkitlah Hasyim berpidato di tengah-tengah orang Qurasiy. Beliau meminta masyarakat Quraisy peduli dengan penderitaan kaumnya. Kaumnya setuju dan mereka siap memberikan bantuan makanan kepada keluarga yang menderita, sampai tidak ada lagi keluarga yang memutuskan “i’tifad” karena ketiadaan makanan.
Hasyim sendiri memutuskan untuk menyembelih unta, domba dan kambing kacang. Ia juga membuat makanan yang dinamakan “tsarid”, dengan cara meremukkan roti dan diolah dengan kuah dan daging. Setelah jadi, makanan itu ia bagi-bagikan kepada semua orang yang membutuhkan. Dari perbuatan inilah maka Hasyim dijuluki Hasyim, karena ia berasal dari kata “hasyama” (هَشَمَ) yang bermakna “meremukkan”. Hasyim adalah isim fa’il dari “hasyama” itu yang bermakna “orang yang meremukkan” (roti untuk dibuat tsarid). Nama asli Hasyim adalah ‘Amr (عَمْرو). Karena perbuatan mulia inilah maka ‘Amr yang berjuluk Hasyim itu dikenang sebagai orang baik yang dipuji oleh salah satu penyair Arab dengan bait berikut ini,
“Amr adalah orang yang meremukkan roti untuk membuat Tsarid demi kaumnya,
Yakni kaum yang tinggal di Mekah, yang tertimpa paceklik nan bertubuh kurus” (Siroh Ibnu Hisyam, juz 1 hlm 136)
Tahukah Anda siapa Hasyim yang saya ceritakan dalam kisah ini?
Beliau adalah Hasyim, buyut Nabi Muhammad, yang kebaikannya pernah saya buatkan catatan dalam artikel berjudul “Asal Mula “Rihlatas Syita’ Wash-Shoif”.
Hasyim memiliki putra berjumlah empat. Abdul Muttholib, kakek Nabi Muhammad adalah putranya yang paling terkenal. Selain Abdul Muttholib, putra-putra Hasyim yang lain adalah Asad (yakni bocah yang diceritakan dalam kisah ini), Nadhlah, dan Shoifi.
Memang, Hasyim dikenal sebagai orang baik yang peka perasaannya, peduli kepada sesama dan dermawan. Gen mulia seperti ini nampaknya menurun kepada Rasulullah ﷺ sehingga sebelum diangkat menjadi nabi dan sesudah jadi nabi-pun Rasulullah ﷺ terkenal sebagai pribadi yang dermawan. Apalagi jika sudah tiba bulan Ramadan. Kedermawanan Rasulullah ﷺ lebih kencang daripada angin yang berhembus,
“Beliau (Rasulullah ﷺ) itu kondisi paling dermawan adalah pada saat beliau di bulan Ramadan” (H.R. Al-Bukhari).