Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Untuk mengoreksi, tidak disyaratkan harus memiliki pengetahuan setara atau lebih tinggi daripada yang dikoreksi. Orang yang pengetahuannya lebih bawah bisa mengoreksi orang yang berpengetahuan lebih tinggi asalkan tahu betul tema yang dikoreksi dan koreksinya itu berbasis ilmu. Celaan keras Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan rahib-rahib serta pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan selain Allah adalah ayat yang jelas bahwa orang yang berpengetahuan tidak tinggi itu dibolehkan (bahkan diwajibkan dalam kondisi tertentu) untuk mengoreksi orang yang pengetahuannya di atasnya (yakni ketika kesalahannya memang terbukti mungkar).
Hanya saja, mengoreksi guru atau orang yang punya kedudukan tinggi dalam ilmu dan dien, tentu saja harus beradab, karena mereka memiliki hak-hak penghormatan berdasarkan dalil. Secara ringkas ada dua kondisi yang perlu diperhatikan dalam adab mengoreksi guru.
Pertama, jika ragu apakah yang muncul dari guru itu kesalahan atau memang ada penjelasan lain, maka adab yang baik adalah mengkonfirmasi, tidak langsung mengkritik dan memvonis. Sebab, orang yang kebiasaannya berada dalam kualitas baik, jika pada suatu saat seperti melakukan kesalahan, maka tidak langsung divonis salah dan dinisbahkan kesalahan itu kepadanya karena bisa jadi ada penjelasan yang lain.
Kedua, jika sudah yakin betul apa yang muncul dari guru itu salah dan punya pengetahuan tentang hal itu, maka bisa langsung mengoreksi dengan tegas.
Tidak langsung menyalahkan, tapi memilih mengkonfirmasi dan bertanya jika merasakan ada sesuatu yang janggal adalah adab yang dipraktekkan shahabat-shahabat Rasulullah ﷺ saat melihat sesuatu yang tidak biasanya dari beliau.
Rasulullah ﷺ pernah dikoreksi terkait saran beliau dalam kasus penyerbukan kurma. Waktu itu beliau merekomendasikan kurma supaya tidak usah diserbuk. Ternyata hasilnya malah buruk. Cara para shahabat merespon sesuatu yang zhohirnya keliru ini adalah dengan mendatangi Nabi ﷺ, lalu mengingatkan ucapan beliau dulu saat merekomendasikan dan melaporkan hasil buruknya. Setelah Rasulullah ﷺ mendengar kisah itu, barulah beliau menjelaskan bahwa saran dari nabi itu bukan wahyu, jadi yang benar jangan mengikuti Rasulullah ﷺ, tapi selidiki sendiri dengan ilmu dan pengalaman.
Rasulullah ﷺ juga pernah dikoreksi terkait pemberian tambang garam. Ceritanya, waktu itu ada seorang lelaki yang bernama Abyadh bin Hammal yang meminta tambang garam di Ma’rib, daerah Yaman. Rasulullah ﷺ meluluskan permintaan itu. Keputusan ini dipandang janggal oleh salah seorang lelaki yang ada di forum itu. Akhirnya dia mencoba mengklarifikasi dengan bertanya, apakah Rasulullah ﷺ tahu fakta tambang garam yang depositnya sangat besar itu. Setelah tahu bahwa tambang itu ternyata depositnya besar, maka pemberian itu dibatalkan.
Rasulullah ﷺ juga pernah dikoreksi kasus salat 4 rakaat dilakukan sebanyak dua rakaat. Dzul Yadain bertanya, apakah Rasulullah ﷺ lupa ataukah memang sengaja mengqoshor salat. Ternyata Rasulullah ﷺ lupa dan akhirnya beliau menambah rakaatnya.
Konon, Rasulullah ﷺ juga pernah dikoreksi oleh Al-Hubab bin Al-Mundzir terkait penempatan pasukan sebelum perang Badar. Hanya saja, Al-Hubab memastikan dulu apakah itu wahyu ataukah pendapat strategi teknis saja. Setelah tahu itu hanya strategi, maka Al-Hubab mengusulkan tempat lain yang lebih strategis dan Rasulullah ﷺ menerima saran tersebut.
Contoh baik yang bisa kita teladani dalam hal ini adalah kisah Al-Kisai dan Harun Ar-Rasyid di masa Abbasiyyah. Suatu saat Al-Kisai, ulama yang terkenal sebagai pakar qiroat itu mengimami Kholifah Harun Ar-Rosyid. Waktu itu Al-Kisai salah membaca salah satu ayat. Mestinya dibaca “la’allahum yarji’un”, akan tetapi lidah beliau “kesleo” dan membacanya “la’allahum yarji’in”. Dengan penuh sopan santun, selesai salat Harun Ar-Rasyid hanya bertanya, “Ustaz, itu tadi dialek apa ya?” Al-Kisai pun mengaku bahwa itu adalah kesalahan beliau. Al-Khothib Al-Baghdadi menceritakan kisah ini dalam kitab “Tarikh Baghdad” sebagai berikut,
“Al-Kisai berkata, ‘Aku salat mengimami Harun Ar-Rasyid. Lalu aku terpesona sendiri dengan bacaanku. Akibatnya, akupun melakukan kesalahan saat membaca sebuah ayat yang mana kesalahan tersebut tidak pernah dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Aku ingin membaca “la’allahum yarji’un” tetapi yang aku ucapkan adalah “la’allahum yarji’in”. Demi Allah, Harun sama sekali tidak berani mengatakan ‘Kamu salah’. Tetapi, pada saat selesai sholat dan salam dia bertanya kepadaku, ‘Wahai Al-Kisai itu tadi dialek apa?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, kadang-kadang kuda terbaik pun bisa terpeleset’. Harun berkata, ‘Oh, oke kalau begitu‘” (Tarikh Baghdad, juz 13 hlm 345)
Demikianlah. Intinya, orang yang kebiasaannya berada dalam kualitas baik, jika pada suatu saat seperti melakukan kesalahan, maka tidak langsung divonis salah dan dinisbahkan kesalahan itu kepadanya karena bisa jadi ada penjelasan yang lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata,
“Jika terjadi kesalahan pada seseorang yang tidak pernah dikenal darinya kesalahan seperti itu, maka kesalahan itu tidak (langsung) dinisbahkan kepadanya” (Fathu Al-Bari, juz 5 hlm 335)
Orang yang tidak mengerti adab dalam mengoreksi, maka bisa jadi koreksinya malah salah, cerminan tak tahu diri, gambaran tak berakhlak luhur dan membahayakan dunia maupun akhiratnya seperti kasus Dzu Al-Khuwaishiroh yang tanpa adab memerintahkan Rasulullah ﷺ agar adil seolah Rasulullah ﷺ berpeluang zalim (padahal semua nabi maksum dari dosa). Akibatnya, Rasulullah ﷺ mengucapkan doa buruk kepadanya dengan berkata “wailak” dengan meramalkan hal-hal buruk terkait kelompok dan keturunannya.
Adapun jika sudah yakin betul itu salah dan punya pengetahuan tentang hal itu, maka tidak mengapa langsung mengoreksi dengan sopan dan santun sebagaimana kisah Umar dikoreksi wanita dalam kasus penetapan mahar atau kisah kisah Ad-Dakhili yang dikoreksi Al-Bukhari dalam kasus kekeliruan menyebut nama perawi hadis.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين