Oleh : Ummu Musa
Pembahasan tentang darah wanita yang meliputi darah haidh, nifas dan istihadhah mungkin telah banyak Anda pelajari. Namun demikian pembahasan masalah ini tetap saja menjadi topik yang menarik bagi wanita, sebab fakta yang dialami terkadang tidak sesuai dengan konsep darah wanita yang telah dipelajarinya itu. Tetapi tulisan ini tidak hendak mengupas semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal di atas. Kami memilih satu topik saja tentang darah wanita, yaitu darah nifas. Pembahasan tentang darah Nifas inipun difokuskan pada satu topik saja yaitu; masa maksimal waktu Nifas. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin, terutama para wanita agar lebih terdorong mempelajari dan mendalami Fikih wanita. Menampilkan ketinggian pemikiran Islam dalam hal hukum/fikih adalah diantara metode dan uslub terpenting dakwah menyeru umat untuk menerapkan syariat Islam.
Masa Maksimal Nifas adalah 40 Hari
Masa maksimal nifas adalah 40 hari terhitung sejak terpisahnya bayi dari tubuh ibunya. Hal ini didasarkan pada hadist dari Mussah Al Azdiyyah yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi berikut.
عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَكُنَّا نَطْلِي وُجُوهَنَا بِالْوَرْسِ مِنْ الْكَلَفِ
Dari Mussah Al Azdiyyah dari Ummu Salamah beliau berkata,“wanita-wanita yang nifas itu duduk di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 40 hari, maka kami melumuri wajah-wajah kami dengan tumbuhan Wars karena warna yang kotor (lusuh)”.
Ummu Salamah r.a menginformasikan bahwa para wanita di zaman beliau menjalani Nifas selama 40 hari. Durasi waktu yang cukup lama ini menyebabkan kulit wajah mereka menjadi lusuh dan kurang indah dipandang sehingga mereka termotivasi untuk melumuri wajah mereka dengan tumbuhan Wars. Tumbuhan Wars adalah tumbuhan asal Yaman yang berwarna kuning yang digunakan para wanita di zaman itu untuk membuat lulur wajah agar kulit wajah menjadi lebih indah.
Pada hadist tersebut, kata 40 hari adalah sebuah angka atau bilangan pasti yang memiliki Mafhum ‘Adad (penunjukan makna implisit angka/bilangan) yaitu penafian angka yang melebihinya. Contohnya; ketika Syara memerintahkan menghukum pezina bujang 100 kali, maka angka 100 kali itu memiliki mafhum Adad yaitu penafian atau peniadaan angka yang lebih dari 100 kali. Karena itu tidak boleh mencambuk 101 kali atau 105 kali, karena cambukan lebih dari 100 kali berarti telah melampaui angka yang ditetapkan syara. Pada kasus masa Nifas dalam hadis di atas, di dalamnya disebutkan angka yang jelas dan tegas yaitu 40 hari, karena itu angka 40 hari tersebut juga memiliki mafhum Adad yaitu menafikan/meniadakan angka yang lebih dari itu. Maknanya; yang lebih dari 40 hari sudah dipandang bukan waktu Nifas. Dengan kata lain, angka 40 hari itu harus difahami sebagai pembatas, yaitu pembatas masa maksimal Nifas wanita di zaman Ummu salamah. Batasan 40 hari itu juga harus difahami sebagai batasan yang ditetapkan oleh pembuat syariat, dengan makna; Rasulullah SAW lah yang menetapkan masa maksimal wanita nifas adalah 40 hari bukan Ummu Salamah atau wanita Muslimah atau yang lain. Informasi 40 hari dari Ummu Salamah itu tidak boleh difahami sebagai informasi fakta bahwa semua wanita di zamannya bernifas selama 40 hari, sebab ini mustahil. Pemahaman semacam ini akan berakibat penisbatan kedustaan kepada Ummu salamah yang mengatakan bahwa wanita pada zamannya semuanya (tanpa kecuali) telah bernifas selama 40 hari, padahal fakta nifas tiap wanita pasti berbeda-beda dan tidak mungkin sama persis 40 hari dalam satu masa tanpa kurang dan tanpa lebih. Jadi, konteks riwayat yang memustahilkan Ummu Salamah sedang memberikan informasi fakta mengharuskan kita memahami bahwa angka 40 hari itu adalah batasan yang ditetapkan oleh syariat, yaitu batasan maksimal wanita menjalani masa Nifas.
Tidak boleh difahami bahwa angka 40 hari itu adalah waktu umumnya wanita di zaman Nabi menjalani masa Nifas. Sebab tidak ada satu lafadzpun yang menunjukkan bahwa waktu 40 hari itu adalah waktu umumnya. Penakwilan bahwa masa 40 hari adalah waktu pada umumnya adalah penakwilan yang terkesan dipaksakan karena tidak didukung qorinah apapun baik secara fakta maupun secara syar’i.
Tidak bisa pula menolak hadis Ummu Salamah ini dengan alasan hadis ini adalah hadis Dhoif karena salah satu perawinya yaitu Mussah Al Azdiyyah dianggap Majhul (misterius). Syaikh nashiruddin Al Albani dalam Kitab Irwa-ul Gholil menilai bahwa hadist di ini adalah hadist Hasan. Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ juga menyatakan bahwa hadis di atas adalah hadist Hasan. Al Hakim menyatakan Shahihul isnad (shahih sanadnya) dan dipuji oleh Azd Dzahabi. Imam Asy Syaukani menyatakan hadis ini hadist Hasan. As Shon’ani menyatakan hadist ini bisa dijadikan hujjah. Selain itu, Al Khattabi meriwayatkan bahwa Al Bukhari memuji hadist dari Mussah ini. Bahkan menurut keterangan At Tirmidzi, hal ini telah disepakati oleh para ulama’ di kalangan shahabat dan tabi’in. Artinya masa maksimal nifas yang 40 hari telah menjadi ijma’ shahabat.
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي
Telah bersepakat ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tabi’in dan orang-orang setelah mereka bahwasanya wanita yang nifas itu meninggalkan shalat selama 40 hari kecuali jika mereka dia suci sebelum itu sehingga mereka mandi dan shalat.
Hadis Ummu salamah di atas juga diriwayatkan dengan lafadz lain yang mendukung maknanya, misalnya yang diriwayatkan Ad-Daruquthni berikut.
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْجُرَيْرِىُّ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَرْزَمِىُّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ عَنْ مُسَّةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا سَأَلَتْهُ كَمْ تَجْلِسُ الْمَرْأَةُ إِذَا وَلَدَتْ قَالَ « تَجْلِسُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلاَّ أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ ».
Kami diberitahu Umar bin Al-Hasan bin ‘Ali, kami diberitahu Yahya bin Isma’il Al Jurairi, kami diberitahukan Al-Husain bin Ismail, kami diberitahu Abdurrahman bin Muhammad Al ‘Arzami dari ayahnya dari Al-Hakam dari ‘Utaibah dari Mussah dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya ia (Ummu Salamah) bertanya pada beliau, “berapa lama wanita duduk (menjalani masa Nifas) apabila mereka telah melahirkan?”. Beliau menjawab, “duduk selama 40 hari kecuali dia suci sebelum itu”.
Berdasarkan penilaian para ulama’ ahli hadist tersebut dan juga riwayat yang mendukungnya maka kita bisa menyatakan bahwa hadist dari Mussah Al Azdiyyah di atas adalah hadist hasan yang sah dijadikan hujjah, sah dijadikan dasar ijtihad. Dengan demikian berdasarkan petunjuk nash, masa maksimal nifas adalah 40 hari
Mendiskusikan pendapat yang berbeda
Adapun pendapat bahwa masa maksimal nifas adalah 60 hari maka pendapat ini didasarkan pada riwayat berikut.
عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ قَالَ : عِنْدَنَا امْرَأَةٌ تَرَى النِّفَاسَ شَهْرَيْن
Dari Al Auza’i bahwasanya dia berkata, “di kalangan kami ada seorang wanita, dia melihat nifas selama dua bulan” (disebutkan dalam kitab Al Mughni)
Dua bulan bermakna 60 hari dalam hitungan kasar (1 bulan sama dengan 30 hari). Jadi menurut informasi Al Auza’i di atas, ada realitas bahwa seorang wanita di zaman beliau yang menjalani masa nifas selama 60 hari, bukan 40 hari. Realitas/fakta inilah yang dijadikan dasar untuk menentukan batasan maksimal waktu nifas wanita.
Ulasan terhadap pendapat ini adalah: standar fakta/realitas hanya bisa dipakai jika syara tidak menjelaskan batasannya. Jika telah dijelaskan batasannya, maka kita wajib terikat pada batasan tersebut. Jika ada fakta yang melebihi batasan tersebut, maka fakta itu harus difahami sebagai kasus abnormal yang dihukumi dengan ketentuan hukum abnormal. Pada kasus batasan masa maksimal Nifas ini, hadis Ummu Salamah telah menunjukkan dengan jelas batasan yang ditentukan Syara’ yaitu 40 hari. Maka kita wajib terikat dengan ketentuan tersebut. Jika ada fakta wanita yang mengeluarkan darah yang melebihi 40 hari maka fakta itu harus difahami sebagai darah abnormal yang dihukumi dengan ketentuan hukum darah abnormal.
Karena itu tidak ada alasan yang cukup kuat untuk berpegang pada riwayat ini. Jika sudah ada dalil yang jelas kehasanannya bahwa masa maksimal nifas adalah 40 hari, maka kita wajib terikat dengan nash tersebut. Bukan menjadikan riwayat fakta nifas dari Al Auza’i ini sebagai dasar. Terlebih lagi riwayat dari Al Auza’i yang mengisahkan fakta nifas ini menunjukkan bahwa yang bernifas 60 hari itu adalah seorang wanita, bukan umumnya wanita. Artinya lebih layak untuk difahami kasuistik, sebuah kasus tertentu yang dialami oleh seorang wanita
Sampai di sini mungkin kita merasa semakin mantap bahwa masa maksimal nifas berdasarkan petunjuk nash adalah 40 hari. Lantas bagaimana sebagian kaum Muslimin yang berpendapat 60 hari ini menyikapi Hadist Hasan dari Ummu Salamah yang begitu jelas di atas?
Jawabannya; sebagian kaum Muslimin yang berpendapat 60 hari menafsirkan hadist Hasan dari Ummu Salamah dengan penafsiran lain, karena hanya inilah jalan yang mungkin dilakukan untuk ‘menolak’ hadist dari Ummu Salamah di atas.
Berikut ini kami ringkaskan penafsiran-penafsiran tersebut:
Pertama: menafsirkan angka 40 hari sebagai waktu umumnya masa nifas wanita. Artinya masa maksimal adalah 60 hari, 40 hari hanyalah keadaan yang umumnya terjadi, atau keadaan yang biasanya terjadi.
Kedua: Masa maksimal nifas 40 hari itu bisa difahami sebagai kekhususan bagi wanita-wanita tertentu. Yakni kekhususan bagi istri-istri Nabi berdasarkan riwayat berikut.
Ummu Salamah berkata, “seseorang dari wanita-wanita Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada nifas mereka selama 40 malam. Nabi tidak memerintahkan dia untuk mengqadha shalat karena nifas” (H.R.Abu Dawud)
Berdasarkan riwayat di atas, yang berpendapat 60 hari menafsirkan hadist dari Ummu Salamah sebagai taklif khusus untuk istri-istri Nabi.
Ketiga: angka 40 hari pada hadis Ummu Salamah tidak menafikan ada yang lebih dari 40 hari. Karena secara fakta ada wanita yang bernifas lebih dari 40 hari. Penafsiran ini hampir senada dengan penafsiran pertama. Semua penafsiran ini dimaksudkan seolah-olah untuk mengkompromikan hadist hasan dari Ummu Salamah yang begitu jelas dan tegas dengan fakta nifas yang pernah terjadi yaitu 60 hari.
Ada pula yang tidak menafsirkan, tapi mengkritik secara riwayat dengan mengatakan bahw, hadis Ummu salamah adalah hadist yang dhaif (lemah). Karena perawi yang bernama Mussah Al Azdiyyah adalah perawi yang majhulah (tidak diketahui/tidak terkenal/Misterious).
Jawaban atas Penafsiran Hadis Ummu Salamah
Sekilas penafsiran-penafsiran di atas bisa dipandang memberikan jawaban, namun terkadang terlihat agak dipaksakan untuk menolak kehasanan hadist dari Ummu Salamah tersebut.
Kita tidak mengubah dasar pijakan, bahwa masa maksimal nifas haruslah didasarkan pada nash, bukan yang lain karena ada nash yang jelas yang mengatur masalah ini. Karena itu, argumen utama untuk menolak pendapat 60 hari adalah, bahwa pendapat ini didasarkan pada fakta, padahal ada nash yang menyatakan masa maksimal nifas 40 hari. Selama ada nash yang menentukan masa maksimal nifas, maka semua fakta yang lebih dari 40 hari haruslah kita abaikan, atau harus kita fahami bukan bagian dari nifas, tetapi sebagai istihadhah atau haidh semata.
Penafsiran-penafsiran yang terlihat ‘hendak menolak’ hadist hasan dari Ummu Salamah yang telah dikemukakan dapat kita kritisi dengan tepat jika kita teliti memperhatikan dan menganalisis riwayat-riwayat yang telah disampaikan sebelumnya. Perhatikanlah penjelasan berikut.
Penafsiran pertama bahwa angka 40 hari bisa difahami sebagai umumnya masa nifas wanita. Artinya masa maksimal adalah 60 hari, 40 hari hanyalah keadaan yang umumnya terjadi dapat dibantah dengan sejumlah argumen berikut.
Pertama, tidak ada lafadz pada hadis dari Mussah yang bisa difahami bahwa angka 40 adalah umumnya masa nifas. Jika 40 hari itu dimaksudkan umumnya masa nifas, maka seharusnya terdapat lafadz yang menunjukkan pengecualian, baik pengecualiannya pada nash yang sama ataupun nash yang berbeda. Namun ternyata tidak ada pengecualian dalam lafadz hadis tersebut. Tidak ada pula nash lain yang memberi kesan bahwa ada waktu lain selain 40 hari. Jadi, sulit untuk difahami bahwa masa 40 hari itu adalah masa umumnya nifas. Sebaliknya, sangat mudah difahami bahwa angka 40 itu sebagai penetapan masa maksimal nifas.
Kedua, angka 40 itu bersifat tegas (jazim), bukan kira-kira (taqdiri), bukan pula penjelasan pada umumnya (ta’mimy). Angka 40 hari dinyatakan dengan tegas seperti tegasnya Allah memerintahkan puasa 3 hari untuk kasus kaffaroh sumpah/qosam, atau puasa 2 bulan berturut-turut untuk kasus kaffaroh jima’ di siang hari bulan Ramadhan, atau perintah untuk mencambuk pezina sebanyak 100 kali. Angka-angka ini bersifat tegas yang harus difahami sebagai batasan maksimal. Angka 100 adalah batasan maksimal mencambuk pezina. Jika orang yang berzina dicambuk lebih dari 100 kali maka perbuatan tersebut termasuk tindakan dzalim. Melanggar petunjuk Allah. Karena itu angka 40 hari dalam hadits dari Ummu salamah di atas harus difahami sebagai batasan maksimal.
Ketiga, kasus umumnya dalam nash biasanya disampaikan Nabi dalam kasus abnormal. Misalnya dalam kasus haid, seorang wanita terus menerus mengeluarkan darah hingga hari ke-25. Maka berdasarkan hadist Nabi, hal tersebut harus dikembalikan pada waktu haid umumnya wanita yaitu 6 atau 7 hari jika dia tidak punya waktu kebiasaan/haidnya tidak teratur, bukannya menghitung 25 hari itu sebagai waktu haidh. Kasusnya dalam hal ini, ia mengalami kondisi abnormal sehingga Rasulullah mengembalikannya pada hari umumnya wanita haidh yaitu 6 atau 7 hari. Sedangkan konteks hadist dari Ummu salamah yang mengisahkan masa maksimal nifas yang 40 hari itu, sama sekali tidak berbicara kondisi abnormal, tetapi berbicara kondisi normal. Karena itu lebih menentramkan jiwa jika difahami bahwa angka 40 adalah batasan maksimal masa nifas wanita.
Keempat, kebiasaan nifas wanita dalam satu kurun masa (dalam hal ini masa Rasulullah) tidak mungkin sama persis 40 hari. Mustahil keseluruhan wanita pada masa Rasulullah mengalami masa nifas yang sama yakni 40 hari. Pastilah nifas mereka berbeda-beda. Ketika angka 40 ini disebut dengan tegas, maka itu menunjukkan ada perintah dari Rasulullah SAW untuk membatasi masa nifas wanita. Artinya, berapapun fakta keluarnya darah yang dialami wanita, maka syara’ telah membatasinya, yakni yang terhitung nifas adalah darah yang keluar selama 40 hari, yang lain tidak terhitung nifas. Jika difahami bahwa angka 40 itu bermakna umumnya masa nifas seluruh wanita di zaman Nabi, sedangkan kenyataannya mustahil demikian, maka sama saja dengan kita menuduh Ummu salamah berdusta. Padahal Ummu Salamah adalah ummul mukminin yang diridhai Allah dan dijanjikan surga. Dengan demikian penafsiran ini tidak cukup kuat untuk membantah bahwa angka 40 hari adalah ketetapan dari Rasulullah. Sehingga penafsiran bahwa angka 40 adalah masa umumnya nifas wanita serta merta tertolak. Yang benar adalah, angka 40 sebagai batasan maksimal nifas.
Penafsiran kedua yang telah disampaikan juga tidak benar, bahwa masa maksimal nifas 40 hari bisa difahami sebagai kekhususan bagi wanita-wanita tertentu. Yakni kekhususan bagi istri-istri Nabi. Sesungguhnya penafsiran ini pun bisa kita bantah dengan mudah karena kasus pengkhususan/takhsis haruslah dinyatakan dengan nash, bukan hanya dengan ihtimal (hanya mengandung pengertian/hukum saja). Faktanya, tidak ada nash yang mentakhsis hadist dari Ummu salamah, dan tidak ada pula lafadz dalam nash yang menunjukkan bahwa angka 40 itu dikhususkan bagi wanita tertentu. Tidak ada pula hadist lain yang menjelaskan kekhususan ini. Hadist yang dijadikan argument pun tidak bermaksud mengkhususkan istri-istri Nabi. Perhatikanlah lagi hadist tersebut.
Ummu Salamah berkata, “seseorang dari wanita-wanita Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk karena nifas selama 40 malam. Nabi tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat karena nifas”.
Pada hadist di atas, penyebutan wanita-wanita Nabi hanya menerangkan kasus tathbiq/ penerapan suatu ketentuan yang dilihat dari segi kesamaannya, yaitu kesamaan antara wanita-wanita Nabi dengan wanita lainnya, bahwa mereka sama-sama mengalami masa nifas. Kesimpulan ini dipertegas dengan keterangan dari Ummu Salamah sendiri ketika ditanya tentang kasus istri seorang shahabat Nabi. Ummu Salamah ditanya tentang istri-istri shahabat Nabi yang diperintahkan mengqadha shalat oleh seorang shahabat, lalu Ummu Salamah menjawabnya dengan nifas yang dialami oleh salah seorang dari wanita Nabi. Artinya Ummu Salamah menyamakan hukum wanita Nabi dengan wanita yang lainnya. Perhatikan riwayat berikut.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ يَعْنِي حُبِّي حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي الْأَزْدِيَّةُ يَعْنِي مُسَّةَ قَالَتْ حَجَجْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ سَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ يَأْمُرُ النِّسَاءَ يَقْضِينَ صَلَاةَ الْمَحِيضِ فَقَالَتْ لَا يَقْضِينَ كَانَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقْعُدُ فِي النِّفَاسِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً لَا يَأْمُرُهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَضَاءِ صَلَاةِ النِّفَاسِ
Kami diberitahu Al-Hasan bin Yahya, kami diberitahu Muhammad bin Hatim yakni Hubbi, kami diberitahu Abdullah bin al Mubarak dari Yunus bin Nafi’ dari Katsir bin Ziyad ia berkata, “aku diberitahu Al Azdiyyah yakni Mussah, ia berkata, ‘aku berhaji lalu aku masuk menemui Ummu Salamah, aku bertanya, ‘wahai Ummul mukminin, sesungguhnya Samurah bin Jundub memerintahkan para wanita yang haid mengqadha shalat mereka’. Ummu Salamah menjawab, ‘tidak perlu mengqadha, salah seorang dari wanita-wanita Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada nifasnya selama 40 malam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya mengqadha shalat karena nifas”.
Artinya, nifas yang terjadi selama 40 hari saja, Rasulullah tidak memerintahkan untuk mengqadha shalat, apalagi haidh. Maka tidak perlu diqadha. Kira-kira demikian maksud Ummu Salamah berdasarkan penjelasan Muhammad Syamsul Haqq al Adhim Abadi, ulama pengarang “Aunul Ma’bud”, syarah Sunan Abi Dawud. Jika maksudnya adalah pengkhususan, maka tidak mungkin Ummu Salamah menghukumi istri shahabat dengan hukum untuk istri Rasulullah. Karena itu pemahaman yang benar adalah, Ummu Salamah tidak bermaksud mengkhususkan, malah menyamakan wanita umumnya dengan istri Rasulullah.
Tambahan lagi bahwa kata (النُّفَسَاءُ) “An-Nufasa’” pada hadist dari Ummu Salamah itu bentuk umum dan bentuk mutlak, yakni wanita-wanita (manapun) yang nifas. Demikian pula lafadz kunna (فَكُنَّا) yang berarti kami (umum), artinya semua wanita di masa Nabi, bukan hanya istri-istri Nabi. Perhatikan lagi hadist dari Ummu Salamah tersebut.
عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَكُنَّا نَطْلِي وُجُوهَنَا بِالْوَرْسِ مِنْ الْكَلَفِ
Dari Mussah Al Azdiyyah dari Ummu Salamah beliau berkata, “wanita-wanita yang nifas itu duduk di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 40 hari, maka kami melumuri wajah-wajah kami dengan tumbuhan Wars karena warna yang kotor (lusuh)”.
Lagipula, jika hadis Ummu salamah itu maknanya khusus istri-istri Nabi, maka makna ini bertentangan dengan penunjukan makna lafadz “Kunna” (kami) pada hadis tersebut. Lafadz “Kunna” pada hadis tersebut secara pasti memasukkan Ummu salamah sebagai wanita yang ikut mengalami Nifas selama 40 hari itu. Masalahnya, tidak ada riwayat bahwa Ummu salamah pernah melahirkan setelah menikah dengan Rasulullah SAW. Ini berarti Ummu salamah bernifas pada saat masih belum menjadi istri Rasulullah SAW. Artinya beliau masih menjadi wanita lain, bukan istri beliau. Kesimpulannya hadis Ummu salamah menegaskan dan menerangkan bahwa wanita-wanita yang bernifas yang dikenai hadis tersebut adalah seluruh wanita muslimah di zaman Nabi, bukan hanya istri-istri Rasulullah SAW saja.
Karena itu berdasarkan semua penjelasan ini, penafsiran bahwa angka 40 hari itu dikhususkan bagi istri Nabi adalah argumen yang tertolak.
Tambahan lagi, hukum asal syariat adalah bagi seluruh mukallaf. Sementara tidak ada nash lain yang menjelaskan masa maksimal nifas kecuali hadist dari Ummu salamah ini. Jika kita mengatakan bahwa 40 hari dalam hadist Ummu salamah itu khusus bagi istri Nabi, maka berarti tidak ada nash yang mengatur wanita-wanita lain. Jika kita menyatakan demikian maka tanpa kita sadari kita juga memaksudkan wanita-wanita lain tidak diatur oleh syariat. Namun tentu kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil.
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan masa maksimal Nifas 40 hari itu khusus bagi istri-istri Rasulullah adalah pendapat yang lemah.
Adapun penafsiran ketiga bahwa angka 40 hari bisa difahami bahwa angka tersebut tidak menafikan angka yang lebih dari itu, maka argumen ini juga tidak bisa diterima. Jawabannya jelas sebagaimana keterangan yang sudah disampaikan di atas, yakni angka itu punya mafhum ‘adad. Mafhum Adad dari angka yang dikaitkan dengan hukum tertentu adalah; Penafian angka yang lebih dari angka yang disebutkan. Dari sini, Justru angka 40 yang disebutkan dengan jelas dalam hadis dari Mussah dari Ummu Salamah itu telah menafikan angka lebih dari 40. Sebagaimana hukuman 100 kali cambukan bagi pezina, memiliki mafhum ‘adad bahwa yang lebih dari 100 telah ditiadakan. Jika kita mencambuk 110 kali ataupun 101 kali maka itu telah melampaui batas dan terlarang menurut syariat. Sama juga jika kita menganggap darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah nifas adalah hal yang tidak benar menurut syariat.
Adapun argument keempat, yakni yang menolak kehasanan hadist dari Mussah dari Ummu Salamah dengan mengatakan hadist dari Ummu Salamah adalah dhaif karena perawi yang bernama Mussah Al Azdiyyah adalah perawi yang majhulah (tidak diketahui),maka argumen ini juga tidak benar. Yang benar adalah hadist dari Mussah itu hadist hasan. Kita telah membahas sebelumnya bahwa banyak ulama’ ahli hadist yang memuji hadist ini. Imam Nawawi berkata.
واعتمد أكثر أصحابنا جوابا آخر وهو تضعيف الحديث وهذا الجواب مردود بل الحديث جيد كما سبق وانما ذكرت هذا لئلا يغتر به
Kebanyakan shahabat-shahabat kami berpegang pada jawaban lain yaitu hadis yang dhaif. Jawaban ini adalah jawaban yang tertolak. Hadist ini (hadist dari Mussah) adalah jayyid sebagaimana (penjelasan) terdahulu. Saya sengaja menyebutkan hal ini agar orang tidak salah sangka.
Ash Shon’ani dalam Subulus salam juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Mussah Al Azdiyyah itu majhulah. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Ashqolani menegaskan bahwa Mussah Al Azdiyyah adalah maqbulah (bisa diterima sebagai perawi). Beliau menukil pernyataan Ibn Al Mulaqqin dalam Al Badrul Munir yang menyatakan bahwa banyak perawi tsiqoh yang meriwayatkan hadis dari Mussah Al Azdiyyah, misalnya Katsir ibn Ziyad, Al Hakam ibn Utaibah, Zaib bin ‘Ali bin Al Husain, Muhammad ibn ‘abdillah al Adzromi, dan Al Hasan bin ‘Ali. Ini menunjukkan meskipun Mussah Al Azdiyyah tidak begitu dikenal, tetapi dengan banyaknya perawi-perawi besar yang meriwayatkan hadis darinya maka penilaian terhadap Mussah bukan lagi Majhulah, tetapi Maqbulah (bisa diterima) sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi. Dengan demikian pendapat yang mendhoifkan hadis Ummu Salamah adalah pendapat yang tertolak.
Penutup
Jadi, masa maksimal nifas adalah 40 hari berdasarkan hadist hasan dari Mussah Al Azdiyyah dari Ummu Salamah. Pendapat 60 hari tidak lebih mendasarkan diri pada riwayat Al Auza’i yang tidak lengkap sanadnya, terlebih lagi matannya menceritakan fakta nifas seorang wanita sehingga tidak bisa dijadikan dasar hujjah. Pendapat lain yang menyatakan bahwa waktu maksimal Nifas tidak terbatas, 70 hari, 50 hari, 14 hari, atau 20 lebih sekian hari serta merta langsung tertolak dengan adanya hadist hasan dari Mussah Al Azdiyyah tersebut. Lagipula, pendapat-pendapat tersebut tidak memiliki dasar hujjah, karena itu tidak benar jika dijadikan pegangan.
Jika setelah wanita bernifas selama 40 hari namun tetap juga keluar darah, maka tambahan itu harus difahami bukan bagian dari darah nifas, tetapi haidh atau istihadhah. Jika sesuai tanggal kebiasaan haidhnya maka kelebihan dari 40 hari terhitung haidh, jika tidak maka terhitung istihadhah. Jika istihadhah, wanita harus mandi dan melaksanakan berbagai perintah Allah yang selama ini diharamkan baginya. Ia harus shalat, harus puasa wajib, dan dengan hormat menerima ajakan suaminya. Jika ia meninggalkan shalat dan puasa, serta menolak ajakan suaminya maka ia patut khawatir jika Allah murka padanya. Ia pun telah dibolehkan menyentuh mushaf dan membacanya, ia boleh beri’tikaf di masjid setelah diizinkan suaminya, ia pun boleh sujud tilawah, boleh thawaf dan lain sebagainya. Sungguh benarlah kata para ‘ulama, ilmu agama menuntun kita pada keridhaan Allah.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
https://www.facebook.com/notes/bintubni-akram/masa-maksimal-nifas/244447355593321/