Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Yang dimaksud tiga ayat Al-Mufasshol yang diperselisihkan apakah dihitung ayat sajdah ataukah bukan adalah Surah An-Najm; 62, Al-Insyiqoq; 16-21 dan Al-‘Alaq; 19. Lafaz Arab dari masing-masing ayat tersebut adalah sebagai berikut,
Pertama: An-Najm; 62,
Artinya,
“Bersujudlah untuk Allah dan beribadahlah untuknya” (An-Najm; 62)
Kedua; Al-Insyiqoq; 16-21,
Artinya,
“Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja. Demi malam dan apa yang diselubunginya. Demi bulan apabila jadi purnama. Sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Maka mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak (mau) bersujud “ (Al-Insyiqoq; 16-21)
Ketiga: Al-‘Alaq; 19.
Artinya,
“Sekali-kali tidak! Janganlah menaatinya, bersujudlah dan mendekatlah kepada Allah” (Al-‘Alaq: 19)
Yang menjadi pertanyaan, “Ketiga ayat di atas dihitung ayat sajdah ataukah tidak?” Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Tiga ayat dalam Surah-Surah Al-Mufasshol termasuk ayat-ayat sajdah. Dalil yang menjadi dasar pernyataan ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang sanadnya dikatakan hasan oleh An-Nawawi (bahkan disahihkan oleh beliau) berikut ini,
Artinya;
“Dari Amr bin Al’Ash bahwasanya Rasulullah ﷺ membacakan untuknya 15 ayat sajdah dalam Al-Qur’an. Tiga ayat di antaranya dalam Al-Mufasshol dan dua ayat dalam Surah Al-Hajj” (H.R.Abu Dawud)
Dalil lain yang menguatkan adalah riwayat dari Abu Hurairah yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah sujud tilawah setelah membaca Surah Al-Insyiqoq. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Rafi’, ia berkata, “Aku shalat ‘Isya bersama Abu Hurairah, lalu ia membaca Surah Al-Insyiqoq’ lalu dia sujud, maka hal itu kemudian aku tanyakan kepada beliau. Maka beliau menjawab, “Aku pernah sujud bersama di belakang Abu Al Qasim (Nabi ﷺ ) dalam ayat tersebut, dan aku akan selalu sujud karenanya hingga aku berjumpa dengan beliau.” (H.R. Al-Bukhari)
Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa para shahabat pernah sujud tilawah bersama Rasulullah ﷺ karena surah Al-Insyiqoq dan Surah Al-‘Alaq. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dia berkata; Kami pernah sujud bersama Nabi ﷺ karena Surah Al-Insyiqoq dan Surah Al-‘Alaq” (H.R. Muslim)
Ibnu Mas’ud juga meriwyatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah sujud tilawah saat membaca Surah An-Najm di Mekah. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Nabi ﷺ membaca surah An-Najm ketika berada di Makkah. Maka beliau sujud tilawah, begitu juga orang-orang yang bersama beliau. Kecuali satu orang yang tua, dia hanya mengambil segenggam kerikil atau tanah lalu menempelkannya pada mukanya seraya berkata; “bagiku cukup begini”. Di kemudian hari aku melihat orang itu terbunuh dalam kekafiran“. (H.R. Al-Bukhari)
Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin pernah bersujud karena Surah An-Najm. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma: “Bahwa Nabi ﷺ melakukan sujud tilawah ketika membaca surah An-Najm. Begitu juga ikut sujud bersama beliau dari kalangan kaum muslimin, orang-orang musyrik, bangsa jin dan manusia.” (H.R. Al-Bukhari)
Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa dua Shahabat besar, yakni Abu Bakar dan Umar melakukan sujud tilawah karena Surah Al-Insyiqoq. Ibnu Hazm meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ia berkata, ‘Abu Bakar dan Umar bersujud karena surah Al Insyiqaq dan siapa yang lebih baik dari keduanya? Abdurrahman dan Al-Mu’tamir menambahkan, “dan Surah Al-‘Alaq”. (Ibnu Hazm berkata) Ini adalah atsar yang keshahihannya seperti matahari” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, juz 3 hlm 330)
Abu Rofi’ Ash-Shoigh juga meriwayatkan bahwa Umar pernah mengimami salat isya lalu bersujud tilawah karena membaca Surah Al-Insyiqoq. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Rofi’ Ash-Shoigh, dia berkata, ‘Umar salat mengimami kami pada salat Isya, kemudian beliau membaca Surah Al-Insyiqaq pada salah satu rakaat yang pertama, kemudian beliau bersujud dan kami sujud bersama beliau” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Masruq bin Al-Ajda’ juga meriwayatkan bahwa Utsman pernah melakukan sujud tilawah karena membaca Surah An-Najm. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Masruq bin Al-Ajda’ bahwasanya Usman membaca Surah An-Najm pada salat Isya dan beliau bersujud” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Asy-Sya’bi juga meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah melakukan sujud tilawah karena Surah An-Najm. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Asy-Sya’bi, dari Abdullah bahwasanya beliau sujud pada Surah An-Najm dan Surah Al-Alaq” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Abu Rozin juga meriwayatkan bahwa Ammar bin Yasir pernah turun dari mimbar lalu melakukan sujud tilawah karena Surah Al-Insyiqoq. Ibnu Hazm meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Razin bahwasanya Ammar bin Yasir membaca Surah Al-Insyiqaq dalam keadaan berkhotbah maka beliau turun dan bersujud” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, juz 3 hlm 330)
Semua dalil dan atsar di atas menunjukkan dengan kuat bahwa tiga ayat dalam Surah-Surah Al-Mufasshol itu memang termasuk ayat sajdah.
KRITIKAN TERHADAP PENDAPAT YANG BERBEDA.
Ada sejumlah argumentasi yang dipakai oleh pendapat yang mengatakan bahwa tiga ayat dalam Surah-Surah Al-Mufasshol tidak termasuk ayat sajdah. Berikut ini akan dipaparkan argumentasi-argumentasi tersebut dan dijelaskan kelemahannya.
Pertama: Dalam hadis riwayat Abu Dawud ditegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah bersujud karena Surah-Surah Al-Mufasshol. Abu Dawud meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah sujud sama sekali ketika membaca surat Al Mufasshal (dari surat Qaaf atau Al Hujurat sampai An Naas) hingga beliau pindah ke Madinah.” (H.R. Abu Dawud)
Oleh karena Rasulullah ﷺ tidak pernah bersujud karena Surah-Surah Al-Mufasshol semenjak hijrah ke Madinah, maka hal ini menunjukkan bahwa Surah-Surah Al-Mufasshol itu tidak mengandung ayat sajdah.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut.
Hadis di atas tidak bisa dijadikan hujah karena hadis tersebut adalah hadis daif. Penyakitnya terletak pada perawi dalam sanadnya yang tidak bisa dijadikan hujah bernama Abu Qudamah Al-Harits bin Ubaid Iyadi Bashri. Lagipula, Abu Hurairah yang menegaskan bahwa ada ayat sajdah dalam Surah-Surah Al-Mufasshol itu telah diketahui masuk Islam tahun 7 H. Jadi, dengan asumsi riwayat Ibnu Abbas di atas sahih, maka riwayat Ibnu Abbas itu telah dinasakh. Berdasarkan kaidah fikih, riwayat Abu Hurairah juga harus dimenangkan karena isinya itsbat sementara riwayat Ibnu Abbas isinya nafi. Sudah diketahui bahwa dalam kaidah fikih, itsbat itu didahulukan daripada nafi karena dalam itsbat itu ada keistimewaan penambahan informasi/pengetahuan. Mungkin juga dipahami bahwa sujud tilawah itu hukumnya sunah, sehingga ketika ayat dalam surah-surah Al-Mufasshol tidak disujudi, hal itu menunjukkan status hukumnya sunah. Mungkin juga dipahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak sujud pada ayat-ayat Al-Mufasshol hanya dengan maksud tidak membiasakannya karena kuatir orang yang baru masuk Islam jadi bingung soal sujud ini, mengingat Surah-Surah Al-Mufasshol itu sering dibaca dalam salat-salat berjamaah.
Kedua: Hadis Ibnu Majah menunjukkan bahwa Surah-Surah Al-Mufasshol tidak mengandung ayat sajdah karena tidak pernah dibaca Nabi ﷺ sebagai ayat sajdah. Ibnu Majah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Darda ia berkata, “Aku pernah sujud sajdah bersama Nabi ﷺ sebanyak sebelas kali, seluruhnya tidak terdapat dalam surat Al Mufashshal” (H.R.Ibnu Majah)
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut.
Hadis Ibnu Majah di atas tidak bisa dijadikan hujah. Hadis tersebut adalah hadis daif. Di dalam sanadnya ada perawi daif yang bernama Utsman bin Faid. Andai sahih sekalipun, riwayat itu tidak menunjukkan Al-Mufasshol tidak termasuk ayat sajdah. Tapi hanya menunjukkan bahwa saat bersama Ibnu Mas’ud, kebetulan belum sempat sujud setelah membaca ayat dalam Al-Mufasshol. Mungkin juga dipahami bahwa sujud tilawah itu hukumnya sunah, sehingga ketika ayat dalam surah-surah Al-Mufasshol tidak disujudi, hal itu menunjukkan status hukumnya sunah.
Ketiga: Ada hadis sahih riwayat Abu Dawud yang menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak sujud saat dibacakan kepada beliau Surah An-Najm. Abu Dawud meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Zaid bin Tsabit dia berkata; “Aku pernah membaca surat An Najm di hadapan Rasulullah ﷺ , namun beliau tidak sujud.” (H.R.Abu Dawud)
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut.
Hadis di atas tidak menunjukkan bahwa Surah An-Najm tidak mengandung ayat sajdah, tetapi maksimal hanya menunjukkan bahwa sujud tilawah itu tidak wajib. Jadi, ketika Nabi ﷺ tidak sujud saat membaca Surah An-Najm, hal itu tidak menunjukkan Surah An-Najm bukan ayat sajdah, tapi hanya menunjukkan bahwa sujud tilawah itu tidak wajib. Mungkin juga dipahami bahwa saat itu Nabi ﷺ sedang tidak suci sehingga tidak bisa sujud. Mungkin juga dipahami bahwa Zaid saat itu tidak sujud sehingga Rasulullah ﷺ juga tidak sujud. Mungkin juga dipahami bahwa saat itu adalah saat terlarang untuk sujud. Mungkin juga dipahami bahwa Rasulullah ﷺ menunda sujud tilawah untuk menunjukkan kebolehan menunda.
Keempat: Sejumlah shahabat diriwayatkan tidak memandang ayat-ayat dalam Al-Mufasshol sebagai ayat sajdah seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut.
Riwayat-riwayat Shahabat yang mengingkari ayat-ayat dalam Al-Mufasshol sebagai ayat sajdah harus dikalahkan dengan riwayat yang lebih kuat dari Shahabat lain yang menegaskan bahwa tiga ayat dalam Al-Mufasshol termasuk ayat sajdah. Telah diketahui ada sejumlah shahabat besar yang tergolong mujtahid Shahabat yang menegaskan bahwa tiga ayat dalam Al-Mufasshol termasuk ayat sajdah. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ammar, Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Apalagi riwayat-riwayat shahabat besar yang mengafirmasi ini marfu’ sementara riwayat shahabat yang menafikannya adalah mauquf.
Kelima: Penduduk Madinah tidak melakukan sujud tilawah pada Surah-Surah Al-Mufasshol. Amalan penduduk Madinah harus dipertimbangkan karena mereka adalah masyarakat terbaik didikan Rasulullah ﷺ.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut.
Amalan penduduk Madinah bukan hujah. Andaikanpun dipertimbangkan, maka amalan shahabat sudah jauh lebih kuat daripada amalan penduduk madinah.
Dengan demikian, tiga ayat dalam Surah-Surah Al-Mufasshol adalah ayat-ayat sajdah dan semua pendapat yang mengingkarinya telah terbantahkan.
Memahami bahwa tiga ayat dalam Al-Mufasshol dihitung ayat sajdah adalah pendapat jumhur. Ini adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
Yang berpendapat tiga ayat dalam Al-Mufasshol tidak dihitung ayat sajdah di antaranya Malik, Sa’id bin Al-Musayyab, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Mujahid, ‘Atho’ dan Thowus. Pendapat qodim Asy-Syafi’i juga mengikuti pendapat ini. Wallahua’lam