Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara kekeliruan mayoritas orang tua saat mendidik anak adalah bervisi kekayaan materi.
Artinya, mendidik dan membesarkan anak dikatakan sukses itu jika bisa mengantarkan anak menjadi orang kaya, orang yang “enak hidupnya” dan “bahagia”.
Oleh karena itu, seringkali kita mendengar orang tua mengungkapkan kebahagiaannya dengan hal-hal materi dan duniawi tersebut. Misalnya mengatakan,
“Alhamdulillah, anakku sudah bisa beli mobil bagus.”
“Alhamdulillah, anakku sudah enak hidupnya.”
“Alhamdulillah, rumah anakku buagus, bertingkat, dapurnya bagus, kamar mandinya seperti hotel.”
“Aku kalau ingat bapakmu selalu terharu dan tidak bisa menahan perasaan untuk menangis. Dulu almarhum bapakmu itu pekerja keras. Apapun dilakukan demi membesarkan dan mendidik anak. Sekarang beliau sudah wafat dan tidak sempat melihat anak-anaknya sudah hidup enak.”
“Sekarang aku sudah siap kalau harus kembali kepada Allah, karena aku sudah melihat semua anak-anakku dalam keadaan mapan, jadi aku bisa tenang saat meninggalkan mereka semuanya.”
***
Sebenarnya “wajar” juga jika orang tua awam punya visi mendidik anak seperti ini.
Wajar bukan dalam arti benar, tetapi wajar karena kebanyakan memang tidak tahu.
Tidak tahu bahwa harta, kekayaan dan kejayaan duniawi itu bukan penanda hidup sudah benar.
Bukan penanda telah berada di jalan yang lurus. Juga bukan penanda rida Allah. Juga bukan penanda orang lebih bahagia daripada yang hartanya sempit.
***
Seluruh ajaran nabi-nabi dan rasul tidak ada yang mengajarkan bahwa “hidup enak” dan kaya raya adalah tanda keberhasilan pendidikan.
Malahan, kisah-kisah dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa kekayaan itu banyak menjadi penyebab orang kufur, menyimpang dari jalan Allah dan terfitnah dengan dunianya.
Kita tahu Qārūn. Kekayaannya luar biasa. Tetapi justru dengan kekayaannya itu dia malah terfitnah, lalu meragukan Nabi Musa dan membuat front sendiri sampai Allah murka kepadanya dan membenamkannya ke dalam bumi. Padahal Qārūn asalnya termasuk ulama Bani Israel, ahli tauhid bahkan punya kasyaf!
Ada juga ayat yang mengajarkan bahwa terkadang Allah itu memberi kesenangan duniawi supaya orang hidup enak, tapi pemberian ini disertai dengan suasana penuh kebencian. Coba rasakan ayat ini,
Artikan,
“Katakanlah, bersenang-senanglah kalian! Karena tempat kembali kalian nanti ke Neraka!” (Q.S. Ibrāhīm: 30)
Ada juga kisah al-Walīd bin al-Mugīrah. Salah satu konglomerat Mekah. Dia menolak dakwah Nabi ﷺ karena merasa lebih kaya dan lebih layak dipilih Allah untuk membawa risalah-Nya daripada Nabi Muhammad.
Fakta dalam kehidupan juga mudah kita saksikan betapa banyaknya orang yang terfitnah dengan harta dan kekayaannya. Suka memamerkan hartanya, merasa diri lebih istimewa daripada kaum muslimin yang lain, merasa diri layak jadi teladan bagi kaum muslimin yang lain, merasa diri layak untuk menjadi inspirasi bagi kaum muslimin yang lain, merendahkan ulama, meremehkan para dai, menggunakan hartanya untuk maksiat, pelit menyantuni kerabat, malas beribadah, lemah beramal saleh, selalu ingin tampil di depan, tidak menghargai orang lain saat bicara, suka memojokkan orang-orang yang dianggap di bawahnya, dan berbagai maksiat serta kemungkaran yang lain.
***
Visi yang benar saat mendidik anak adalah memastikan anak sebagai AHLI SALAT. Inilah yang diajarkan langsung dalam Al-Qur’an. Allah menceritakan doa nabi Ibrahim sebagai berikut,
Artinya,
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat.” (Q.S. Ibrāhīm: 37)
Saat Nabi Ibrahim meninggalkan Ismail di Mekah bersama ibunya, beliau tidak peduli apakah Ismail nanti menjadi orang kaya atau miskin, terkenal ataukah tidak, punya kedudukan ataukah orang biasa. Yang beliau ingin pastikan dan dimintakan kepada Allah adalah menjadikan anak dan keturunanya supaya menjadi ahli salat.
Menjadi ahli salat artinya menjadikan anak sebagai hamba Allah sejati.
Yang mengenal Rabbnya.
Yang tahu hak-hak Rabbnya.
Yang tidak menyembah kecuali hanya kepada-NYa.
Yang lisannya senantiasa bertasbih mensucikan nama-Nya.
Yang sadar bahwa seluruh gerak dan diamnya hanya untuk Allah.
Yang tahu bahwa hidup dan matinya hanya untuk mencari rida Allah.
Adapun harta dan kekayaan, maka itu semua dipasrahkan kepada Allah. Karena hanya Allah yang tahu amanah harta sebesar apa yang layak diberikan kepada anak-anak kita.
Semua keputusan Allah adalah baik. Entah membuat harta anak kita banyak, sempit maupun pertengahan.
Hamba-hamba saleh sejak dulu kala selalu dibuat bermacam-macam. Ada yang dibuat kaya raya seperti Nabi Sulaiman. Ada yang dibuat sempit hartanya seperti Nabi Isa. Ada yang dibuat berganti-ganti seperti Nabi Ayyub. Sahabat nabi juga demikian. Ada yang dibuat kaya raya seperti Abdurrahman bin Auf. Ada yang dibuat sempit hartanya seperti Shabat Ahlus Ṣuffah. Ada yang dibuat pertengahan. Ada yang dibuat berganti-ganti.
***
Jangan sampai salah visi saat mendidik anak.
Sebab, jika sampai keliru maka anak yang kita harapkan menjadi amal jariyah bisa tidak sesuai dengan harapan.
Alangkah banyaknya di akhirat nanti orang tua yang malah bermusuhan dengan anaknya.
Semoga Allah melindungi kita sehingga tidak termasuk golongan tersebut.
27 Zulkaidah 1444 H/ 16 Juni 2023 pukul 10.34