Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Semua barang yang bernilai dan bisa disebut harta pada dasarnya semuanya berasal dari tiga sumber yaitu tanah, hasil pertukaran dan hasil pengolahan dari satu barang menjadi barang lain. Contoh harta yang berasal dari tanah adalah beras, jagung, kentang dan semua hasil bumi yang bisa dikonsumsi dan dimanfaatkan. Contoh harta yang berasal dari hasil pertukaran misalnya pakaian yang didapatkan setelah ditukar dengan kacang. Contoh harta yang berasal dari hasil pengolahan dari satu barang menjadi barang lain adalah kursi. Harta ini diperoleh dengan mengubah kayu dan mengolahnya menjadi kursi sehingga bisa dimanfaatkan.
Berdasarkan fakta ini wajar jika pekerjaan dan profesi itu pada dasarnya kembali pada tiga bidang saja yaitu pertanian (الزِّرَاعَة), perdagangan (التِّجَارَة), dan industri (الصِّنَاعَة). Tiga profesi ini adalah profesi dasar dan semua profesi selain tiga profesi ini pada hakikatnya bercabang darinya. Al-Mawardi berkata sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi,
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أُصُولُ الْمَكَاسِبِ: الزِّرَاعَةُ، وَالتِّجَارَةُ، وَالصَّنْعَةُ
Artinya,
“Al-Mawardi berkata, profesi-profesi inti itu ada tiga yaitu pertanian, perdagangan dan industri” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 3 hlm 281)
Hukum-hukum syariat yang mengatur muamalah terkait cara memperoleh hartapun terutama sekali membahas tiga bidang profesi ini. Terkait bidang pertanian misalnya ada hukum seputar ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati), mukhobaroh, muzaro’ah, musaqot, dan semisalnya. Terkait bidang perdagangan ada hukum seputar jual beli, syirkah, shorf, riga, ghobn fahisy, tadlis, ihtikar, tas’ir dan semisalnya. Terkait bidang industri ada hukum seputar istishna’, ijaroh, ji’alah, samsaroh dan semisalnya.
Pertanyaannya, di antara ketiga bidang profesi itu manakah yang paling afdal?
Dalam mazhab Asy-Syafi’i, ternyata dari ketiga bidang profesi itu pertanianlah yang dipandang paling afdal.
Ada sejumlah argumentasi yang menunjukkan bahwa bidang pertanian itu lebih utama daripada industri dan perdagangan.
Pertama, petani itu bekerja dengan tangannya sendiri, sementara Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa penghasilan terbaik untuk dimakan adalah penghasilan yang didapatkan melalui kerja tangan sendiri. Nabi Dawud, meskipun beliau seorang raja, ternyata beliau juga makan dari hasil kerja tangan sendiri. Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري (7/ 235)
Artinya,
“Dari Al-Miqdam radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ , beliau bersabda, ‘Tidaklah seorangpun memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri. Sesungguhnya nabiyullah Dawud alaihissalam makan dari hasil tangannya sendiri” (H.R. Al-Bukhari)
Kedua, seorang petani mesti akan menanam sementara orang yang mau menanam maka pahalanya terus mengalir setelah mati. Jika hasil tanamannya dimakan manusia atau hewan, maka dihitung sedekah untuknya. Dengan kata lain, menanam adalah amal jariyah. Muslim meriwayatkan
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ فَقَالَ لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ (صحيح مسلم (8/ 177)
Artinya,
“Dari Jabir bahwasanya Nabi ﷺ masuk menemui Ummu Mubassyir Al-Anshoriyyah di sebuah kebun kurma miliknya. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menanam pohon kurma ini? Apakah muslim ataukah kafir? Ummu Mubassyir menjawab, ‘Muslim’. Nabi ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim menabur benih atau menanam tanaman kemudian ada manusia atau hewan atau yang lainnya yang memakannya kecuali itu akan menjadi sedekah baginya” (H.R. Al-Bukhari)
Kita juga tahu dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan kita untuk menanam jika di tangan kita ada bakal pohon kurma meski kita tahu hari itu sudah kiamat. Ahmad meriwayatkan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ (مسند أحمد (26/ 59)
Artinya,
“Rasulullah ﷺ bersabda, jika datang hari kiamat sementara salah seorang di antara kalian memegang anak pohon kurma, maka selama mampu tanamlah sebelum bangkit berdiri” (HR.Ahmad)
Ketiga, pertanian adalah sumber utama kebutuhan pokok manusia. Produksi makanan terutama sekali dari pertanian. Jadi, pertanian menopang hidup seluruh umat manusia. Manfaatnya lebih luas dan kebutuhan manusia terhadap sektor ini lebih merata. Hal itu dikarenakan bidang pertanian itu memproduksi harta pertama kali, berbeda dengan bidang perdagangan yang sifatnya mengembangkan harta. Jadi pertanian manfaatnya lebih luas sementara ada hadis yang mengatakan manusia terbaik adalah yang manfaatnya paling banyak untuk sesama. Asy-Syihab meriwayatkan,
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ إِلْفٌ مَأْلُوفٌ، وَلَا خَيْرَ فِي مَنْ لَا يُأْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ» مسند الشهاب القضاعي (1/ 108)
Artinya,
“Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Seorang mukmin itu orang yang nyaman digauli. Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak enak digauli. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain” (H.R. Asy-Syihab Al-Qodho’i)
Keempat, pertanian itu lebih dekat dengan tawakal, karena menyerahkan semua hasil tanamannya kepada Allah. Ia tidak tahu apakah Allah akan menumbuhkan tanaman ataukah tidak. Ia juga tidak tahu apakah akan ada angin topan ataukah tidak. Ia juga tidak tahu apakah ada hama wabah ataukah tidak. Dia juga tidak tahu apakah akan turun hujan ataukah tidak. Level ketidakpastian dalam bidnag pertanian tinggi dan itu membutuhkan rasa tawakal yang besar. Berbeda dengan karyawan yang digaji tiap bulan misalnya, yang setiap bulan sudah hampir pasti ada penghasilan yang diharapkan. Zakariyya Al-Anshori berkata,
أَفْضَلُ مَا أَكَلَتْ مِنْهُ كَسْبُكَ مِنْ زِرَاعَةٍ) ؛ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إلَى التَّوَكُّلِ؛ وَلِأَنَّهَا أَعَمُّ نَفْعًا؛ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهَا أَعَمُّ (أسنى المطالب في شرح روض الطالب (1/ 569))
Artinya,
“Makanan yang paling afdal untuk kau santap adalah penghasilanmu dari pertanian karena ia lebih dekat dengan tawakal, lebih luas manfaatnya dan dan lebih merata kebutuhan terhadapnya” (Asna Al-Matholib, juz 1 hlm 569)
Kelima, petani adalah pekerjaan yang sangat dekat dengan penghasilan paling bersih. Ia tidak digoda bohong dan sumpah palsu untuk mendapatkan harta seperti pedagang yang kadang membohongi pembelinya. Juga tidak digoda untuk berkhianat untuk mendapatkan harta seperti karyawan yang diamanahi bosnya. Ia juga tidak perlu korupsi dan tidak perlu menipu. Dalam Al-Qur’an sendiri kata zaro’a (menanam) dan harotsa (membajak) disebutkan di duapuluh tempat lebih.
Oleh karena itu, pertanian adalah profesi yang paling afdal melebihi bidang industri dan perdagangan. Setelah pertanian yang paling afdal adalah industri, kemudian yang terakhir adalah perdagangan. An-Nawawi berkata,
. فَهَذَا صَرِيحٌ فِي تَرْجِيحِ الزِّرَاعَةِ، وَالصَّنْعَةِ، لِكَوْنِهِمَا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، لَكِنَّ الزِّرَاعَةَ أَفْضَلُهُمَا؛ لِعُمُومِ النَّفْعِ بِهَا لِلْآدَمِيِّ وَغَيْرِهِ، وَعُمُومِ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. (روضة الطالبين وعمدة المفتين (3/ 281)
Artinya,
“Pernyataan (Nabi ﷺ ) ini lugas menunjukkan keutamaan pertanian dan industri karena dua bidang ini menggunakan pekerjaan tangan langsung. Hanya saja pertanian lebih afdal (daripada industri) karena manfaatnya yang lebih umum untuk manusia maupun selain manusia dan kebutuhannya terhadapnya lebih bersifat merata” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 3 hlm 281)
Jadi, engkau yang punya bapak petani, atau engkau sendiri adalah petani, atau engkau yang berbisnis tanaman yang terkait dengan aktivitas pertanian, engkau yang kuliah yang berhubungan dengan pertanian, maka berbahagialah. Engkau tengah bekerja dan menyibukkan diri dengan profesi yang paling afdal.
Mungkin karena itulah An-Nawawi memutuskan hanya mau makan dari hasil tani ayahnya dan memutuskan untuk menyumbangkan seluruh gajinya sebagai “dosen” di Dar Al-Hadist Al-Asyrofiyyah untuk pembelian kitab-kitab guna diwakafkan di perpustakaan. Sudah dikenal bagaimana An-Nawawi tidak makan dari upahnya mengajar, atau bahkan hadiah dari orang-orang. Beliau hanya mencukupkan diri makan dari hasil bumi yang dikirimkan ayahnya, seorang petani. Dengan demikian, makanan beliau benar-benar bersih dan tidak tercampur syubhat apapun. Orang yang makanannya bersih, maka doanya insya Allah mustajab, dan An-Nawawi sudah terkenal bagaimana mustajabnya doa beliau.
Membaca kisah-kisah orang saleh semacam ini sampai-sampai saya pingin dan tergagas untuk membeli sebidang tanah kecil, yang saya tanami sendiri dan saya hasilnya hanya untuk makan keluarga sendiri ?. Tapi hari ini saya belum mampu. Entah ke depan. Wallahua’lam
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم إنا نسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعما متقبلا