Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Bagaimana cara Anda mengukur diri untuk mengetahui apakah termasuk orang yang serius dalam belajar?
Kriteria apa yang Anda pakai untuk mengetahui level belajar Anda apakah termasuk orang yang serius, lumayan serius, atau asal-asalan?
Tiap orang mungkin memiliki kriteria yang berbeda-beda.
Saya dulu, pada saat masih belum menikah, saya menetapkan waktu belajar sehari minimal harus enam jam. Saya mencanangkan dalam hidup saya menghabiskan minimal 6 jam dalam sehari untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam.
Target enam jam ini terinspirasi dari tulisan seorang wartawan Mesir yang pernah saya baca. Beliau mengatakan bahwa dirinya selalu menyempatkan membaca buku apapun sehari selama 6 jam untuk meng-upgrade pengetahuan, sehingga ketika menulis berita bisa selalu menaik, up to date dan tidak membosankan. Waktu itu saya berfikir, “Ini orang untuk target duniawi saja bisa seserius itu. Mengapa saya yang mentargetkan akhirat tidak bisa lebih serius?”
Akhirnya target belajar sehari minimal enam jam itulah yang saya tetapkan. Ukuran enam jam ini saya ambil karena masih harus membagi waktu dengan kuliah, bekerja, ngisi kajian dan kegiatan-kegiatan mendadak. Jadi, target belajar sehari minimal enam jam itu tidak menghitung kegiatan-kegiatan harian yang tidak bisa saya hindari.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, target itu hampir selalu saya lewati. Prakteknya, tiap hari saya bisa belajar 8-12 jam. Saya biasa belajar mulai setelah subuh dan baru selesai untuk tidur jam 21.00-an. Semua waktu full digunakan untuk belajar, kecuali jam-jam makan, salat, atau menerima “tamu”.
Tetapi itu dulu. Saat saya masih bujangan.
Setelah menikah, menjadi suami, menjadi ayah dan memikul sejumlah tanggung jawab, kebiasaan saya di masa bujangan itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan. Waktu luang jelas sudah sangat berkurang saat ini.
Hanya saja, seserius apapun saya belajar di masa muda saya, ternyata jika dibandingkan dengan An-Nawawi, semua apa yang saya lakukan itu tidak ada apa-apanya!
Bagaimana gambaran keseriusan An-Nawawi dalam belajar?
Badruddin Ibnu Jama’ah menceritakan kebiasaan An-Nawawi. Kata beliau, An-Nawawi itu kalau belajar maka beliau akan terus belajar meski malam sudah tiba. Jika kebanyakan orang sudah tidur, maka beliau akan terus begadang untuk belajar. Jika beliau mengantuk, maka beliau akan tidur sambil duduk dengan bersandar pada buku-buku. Tentu saja, cara tidur seperti ini bukanlah pilihan posisi yang nyaman untuk tidur. Karena tidak nyaman, maka sangat wajar jika An-Nawawi segera terbangun setelah tertidur beberapa saat, dan kemudian belajar lagi!
Entah hanya berapa jam dalam sehari An-Nawawi tidur setiap hari dengan cara seperti itu. An-Nawawi sendiri bercerita kepada Ibnu Al-‘Atthor bahwa semenjak pertama kali beliau mondok di “ponpes” Ar-Rowahiyyah di usia 19, selama dua tahun, beliau tidak pernah tidur berbaring di atas tanah!
As-Sakhowi menulis,
حَكَى لِيْ البَدْرُ ابْن جَمَاعَة إِنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ نَوْمِهِ فَقَالَ: إِذَا غَلَبَنِيْ النَّوْمُ اسْتَنَدْتُ إِلى الكُتُبِ لَحْظَةً وَأَنْتَبِهُ (المنهل العذب الروي (ص: 28)
“Al Badr Ibnu Jamaah mengisahkan kepadaku (Ibnu Al-‘Atthor) bahwasanya beliau bertanya kepada An-Nawawi tentang tidurnya. Beliau (An-Nawawi) menjawab, ‘Jika aku mengantuk, maka aku bersandar pada buku-buku sesaat, kemudian (jika sudah cukup tidur) aku bangun” (Al-Manhal, hlm 28)
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “Perjalanan intelektual An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.