Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Malu rasanya ketika membandingkan gaya hidup yang kita jalani dengan gaya hidup ulama-ulama salih di masa lalu.
Ketika makan contohnya. Ada berapa banyak di antara kita yang saat hendak makan hanya berfikir bagaimana memadamkan rasa lapar? Ada berapa banyak di antara kita yang saat mau makan berfikir mencari makanan enak? Ada berapa banyak di antara kita yang saat ingin makan berfikir mencari tempat berkelas untuk menaikkan status sosial?
Ketika saya mencoba mengetik kata kunci “makan enak” di kotak pencarian google, ternyata muncul rekomendasi kata kunci beragam. Muncul kalimat “makan enak surabaya”, “makan enak di Malang“, “makan enak dan murah di surabaya”, “makan enak di Batu”, “makan enak di Sidoarjo”, “makan enak di Madiun”, dan lain-lain. Saya belum tahu bagaimana sistem google dalam merekomendasikan kata kunci dan berapa minimal pencarian unik sampai ia mejadi kata kunci yang direkomendasikan. Tetapi saya membayangkan, dari IP pencarian daerah saya saja, memang sangat banyak orang yang saat makan berfikir bagaimana mencari makan enak, bukan sekedar memadamkan rasa lapar dan memenuhi hak tubuh.
Kalau begitu, apakah makan enak diharamkan?
Tentu saja tidak.
Semua yang halal tetap halal dan tidak menjadi haram hanya karena lebih enak daripada yang lain.
Hanya saja, bagi hamba-hamba Allah yang bertakwa, para wali-wali Allah, dan para kekasih Allah, hal-hal yang mubah sekalipun sudah cukup untuk membuat khawatir akan menjerumuskan pada yang haram karena demikian kuatnya sifat warak pada mereka. Para kekasih Allah tahu, meskipun makan makanan enak itu tidak dilarang, hanya saja fakta kehidupan menunjukkkan bahwa kebanyakan yang melakukannya adalah orang-orang yang lalai terhadap akhirat, mengagung-agungkan dunia dan bergaya hidup mewah.
Mereka kuatir menjadi teladan yang buruk bagi hamba-hamba Allah yang lain karena mengikuti syiar ahlud dunya. Mereka juga kuatir tidak selalu bisa menunaikan kewajiban bersyukur karena lalai setelah makan makanan yang enak.
Seperti itulah cara An-Nawawi dalam makan.
Ibnu Al-‘Atthor menceritakan bahwa sang guru setiap hari makan hanya sekali setelah isya’ dan minum hanya sekali di waktu sahar (waktu sahur). Beliau juga tidak pernah minum yang segar-segar. Ibnu Al-‘Atthor berkata,
وَكَانَ رَحِمَهُ اللهُ لاَ يَأْكُلُ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ إِلاَّ أَكْلَةً وَاحِدَةً بَعْدَ عِشَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ يَشْرَبُ إِلاَّ شَرْبَةً وَاحِدَةً عِنْدَ السَّحَرِ، وَكَانَ لاَ يَشْرَبُ الْمَاءَ الْمُبَرَّدَ (تحفة الطالبين في ترجمة الإمام محيي الدين (ص: 67-68)
“Beliau rahimahullah, dalam sehari semalam tidak makan kecuali satu kali setelah waktu Isya dan tidak minum kecuali sekali di waktu sahar. Beliau tidak minum air yang didinginkan” (Tuhfatu Ath-Tholibin hlm 67-68)
Jika makan dengan lauk, An-Nawawi sering hanya makan dengan satu macam lauk saja. Makan daging beliau lakukan hanya sebulan sekali jika hendak berkunjung ke tempat kelahirannya; Nawa.
Betapa zuhudnya sang imam.
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “Zuhudnya An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.