Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Saat menulis biografi orang-orang salih, biasanya para ulama fokus pada kebaikan din tokoh yang diceritakan. Jadi, saat membaca biografi seorang tokoh biasanya kita akan mendapatkan data kualitas keilmuannya, pujian ulama terhadapnya, guru-gurunya, murid-muridnya, karya-karyanya, zuhudnya, waraknya, ibadahnya, keikhlasannya dan semisalnya. Adapun urusan-urusan duniawi, biasanya itu diabaikan, kecuali urusan duniawi yang terkait dien dan memang perlu dibahas. Pada saat membahaspun biasanya hanya sekedarnya saja. Tidak sampai dibahas tuntas sampai ke sudut-sudut terkecilnya.
Oleh karena itulah, kita belajar biografi Abu Bakar tetapi mungkin tidak banyak di antara kita yang tahu bahwa istri Abu Bakar berjumlah empat. Kita belajar biografi Umar bin Al-Khotthob, tapi tidak pernah tahu data apakah istri-istri beliau tergolong cantik ataukah tidak, kulitnya hitam atau putih, bulu matanya lentik atau tidak.
Kita juga tidak tahu “pesona” apa yang dimiliki oleh Asma’ binti ‘Umais Al-Khots’amiyyah, sampai dinikahi tiga orang shahabat yang semua dijamin masuk surga. Suami pertama Asma’ binti ‘Umais adalah Ja’far bin Abu Tholib. Setelah Ja’far syahid di perang Mu’tah, Asma’ dinikahi Abu Bakar. Setelah Abu bakar wafat, Asma’ dinikahi Ali bin Abi Tholib.
Kita memeng pernah mendengar hadis yang menceritakan kecantikan wanita dari suku Khots’am, yakni pada peristiwa Rasulullah ﷺ memalingkan wajah sepupunya; Al-Fadhl bin Al-‘Abbas karena terpesona dengan kecantikan wanita Khots’am itu. Hanya saja kita tidak bisa memastikan apakah karena Asma’ dari suku ini maka dia memiliki paras cantik jelita sehingga memberi pesona tersendiri, ataukah karena sebab lain sehingga para Shahabat besar berminat menikahinya. Semua itu tidak terlalu dibahas para ulama penulis biografi karena memang tidak penting, tergolong urusan dunia, dan tidak terlihat memberikan kebaikan bagi iman.
Hanya saja, kadang-kadang kita penasaran dengan hal-hal duniawi pada sebagian cerita hidup orang soleh. Rasa penasaran ini alami sebenarnya, karena meskipun kita tahu perkara duniawi seorang tokoh salih sebenarnya tidak penting, akan tetapi dengan mengetahuinya barangkali ada satu dua hal sisi-sisi kisah tersebut yang bisa menjadi teladan atau menginspirasi kebaikan.
Seperti An-Nawawi misalnya. Mungkin sempat terlintas pertanyaaan, “Apa ya perkerjaan An-Nawawi?”, “Dari mana beliau mendapatkan penghasilan?” “Bagaimana beliau memenuhi kebutuhan hidupnya?” “Memang betul, hidup beliau full untuk ilmu dan mengajarkannya, akan tetapi manusia biasa butuh makan kan? Lalu bagaimana caranya beliau memenuhi kebutuhan ini?”
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya An-Nawawi, di masa beliau sudah matang, beliau mendapatkan kepercayaan menjadi syaikh/guru besar di Dar Al-Hadits Al-Asyrofiyyah. Jika lembaga Dar Al-Hadits Al-Asyrofiyyah kita setarakan dengan kampus di zaman kita saat ini, atau semacam institut, maka posisi An-Nawawi waktu itu adalah seakan-akan rektornya. Di zaman itu, guru besar Dar Al-Hadits Al-Asyrofiyyah mendapatkan gaji rutin dari penguasa. Mungkin mirip gaji PNS di zaman sekarang. Jadi, profesi An-Nawawi adalah seperti seorang dosen, yang mendapatkan gaji rutin dari pemerintah karena aktivitas beliau mengajar. Disamping itu beliau juga mengajar di berbagai tempat yang lainnya dan beliau juga mendapatkan sejumlah uang dari aktivitas mengajar tersebut.
Hanya saja, yang sangat menarik adalah, ternyata An-Nawawi tidak pernah mengambil sepeserpun semua gajinya itu. Ad-Daqr berkata dengan mengutip As-Subki sebagaimana ditulis oleh An-Nu’aimi dalam kitab Ad-Daris Fi Tarikhi Al-Madaris sebagai berikut ,
وَدَرَّسَ بِدَارِ الحَدِيْثِ الأَشْرَفِيَّةِ وَغَيْرِهَا وَلَمْ يَتَنَاوَلْ فِلْسًا وَاحِدًا
“Beliau mengajar di Darul Hadits Al Asyrofiyyah dan tempat-tempat yang lainnya dan beliau tidak mengambil (gaji/upah/tarif) sepeserpun”
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa semua gaji An-Nawawi itu dibelikan buku kemudian diwakafkan di tempat-tempat pendidikan!
Ruang khusus rektor yang disediakan untuk beliau juga tidak pernah ditempati, tetapi malah orang lain yang menempatinya!
Kalau begitu, dari mana An-Nawawi makan?
Ternyata An-Nawawi makan hanya mengandalkan kiriman ayahnya. Seorang petani sederhana yang An-Nawawi sudah meyakini kehalalan penghasilan sang ayah dari hasil taninya tersebut.
Alangkah waraknya An-Nawawi.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “waraknya An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.