Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Orang yang tertimpa sakit biasanya dia mendapatkan kesembuhan dengan cara berikhtiar minta diobati oleh ahli, yakni para dokter atau yang semakna dengannya. Langkah tersebut sudah tepat, karena memang Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berobat. Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan juga menurunkan obatnya. Beliau ﷺ juga mengingatkan bahwa dalam berobat itu harus dipertimbangkan unsur kepakaran karena obat penyakit hanya diketahui ahlinya dan tidak akan diketahui orang yang memang tidak menggelutinya. Para fukaha juga menjelaskan hukum berobat adalah sunah berdasarkan dalil-dalil seperti itu. Yusuf Al-Qorodhowi dalam fatwanya bahkan mengatakan berobat itu bisa menjadi wajib dalam kondisi tertentu.
Hanya saja, ada sejumlah fakta kehidupan yang tidak mungkin kita ingkari di mana seseorang mendapatkan kesembuhan tidak melalui jalan berobat, tetapi melalui jalan “irasonal”, yakni keberkahan seorang kekasih Allah. Kita tidak perlu mengingkari hal-hal seperti itu, sebab sejak zaman Nabi ﷺ, yang demikian itu pernah terjadi selama beberapa kali.
Pernah suatu saat, ketika perang Khaibar, Ali bin Abi Tholib menderita romad (radang mata), padahal Rasulullah ﷺ berkehendak menunjuk Ali sebagai panglima perang di hari itu. Maka Rasulullah ﷺ meludahi ke arah mata Ali dan mendoakannya, maka sembuhlah mata itu seketika!
Pernah juga pada peristiwa perang Uhud, ada seorang Shahabat Nabi yang bernama Qotadah bin An-Nu’man. Sebuah anak panah mengenai mata beliau hingga tercongkel dari rongga matanya. Qotadah pun membawa mata itu kepada Rasulullah ﷺ, kemudian mata itu diambil Rasulullah ﷺ, dikembalikan ditempatnya dan didoakan. Maka seketika itu juga matanya menjadi normal, bahkan lebih indah dan lebih kuat daya lihatnya!
Ada juga kisah Abdullah bin ‘Atik yang diutus Rasulullah ﷺ untuk membunuh seorang Yahudi yang bernama Abu Rofi’. Ketika melaksanakan tugas itu, tulang betis beliau menjadi patah. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadanya untuk membentangkan betis itu, kemudian Rasulullah ﷺ mengusapnya. Seketika itu juga tulangnya tersambung kembali, sembuh seperti sedia kala dan dia bisa langsung berjalan!
Berkah orang saleh itu memang nyata. Hanya saja, seringkali orang-orang salih itu tidak sadar bahwa dirinya penuh berkah. Hal itu wajar dan seharusnya memang begitu, karena tidak ada orang baik yang merasa dirinya baik. Para kekasih Allah itu justru merasa sebagai hamba Allah yang paling kotor, paling hina, dan paling lemah menjalankan ketaatan. Begitu orang merasa dirinya salih, merasa dirinya penuh berkah, dan merasa dirinya kekasih Allah, maka pada saat itu dirinya telah diserang ujub, dan posisinya menjadi terancam untuk dibenci dan dimurkai Allah.
Mengingat para kekasih Allah itu adalah orang-orang yang sering tidak sadar bahwa dirinya penuh berkah, maka seringkali mereka sendiri malah heran dan tidak menyangka munculnya karomah pada diri mereka. Seperti kisah Abubakar yang terheran-heran karena makanan beliau menyumber terus tak habis-habis setiap kali diambil. Peristiwa terkait Abubakar ini diceritakan Al-Bukhari dalam Shahihnya ketika Abu Bakar menjamu Shahabat Ahlus Shuffah menjadi tamu-tamu beliau.
Bahkan, pada kasus tertentu, berkah orang salih ini tidak disadari oleh orang salih tersebut sampai beliau wafat, sehingga orang lain lah yang akan menceritakan keberkahan beliau.
Seperti yang terjadi pada An-Nawawi dalam cerita berikut ini.
Alkisah, ada seorang ulama yang bernama Waliyyuddin Abu Al-Hasan ‘Ali. Beliau menderita penyakit niqris (encok). Lalu, An-Nawawi membesuknya. Sebagaimana lazimnya adab membesuk orang sakit, maka An-Nawawi pun menggembirakan hatinya dengan berbicara tentang keuatamaan shobr (ketabahan). Ajaibnya, setiap kali An-Nawawi berbicara, sakit encok itu berkurang. Begitu An-Nawawi pamit, maka sakit encok itu hilang tak berbekas! Ibnu Al-‘Atthor bercerita dengan menukil ucapan Waliyyuddin Abu Al-Hasan ‘Ali sebagai berikut,
كنتُ مريضاً بمرض يسمى: “النِّقْرِس”؛ في رجلي، فعادني الشيخُ محيي الدين -قدَّس الله روحه-، فلما جلس عندي؛ شَرَعَ يتكلَّم في الصبر”. قال: “فكلَّما تكلَّم؛ جعل الألمُ يذهب قليلًا قليلًا، فلم يزل يتكلَّم فيه حتى زال جميع الألم كأن لم يكن قط”. قال: “وكنتُ قبلَ ذلكَ لمْ أَنَمِ الليلَ كُلَّه من الألمِ، فعرفتُ أنَّ زوالَ الألمِ من بركته رحمه الله”.
Artinya,
“Saya terkena penyakit yang disebut dengan nama “niqris” (encok) pada kedua kakiku. Lalu Syaikh Muhyiddin An-Nawawi mengunjungiku. Ketika beliau duduk di dekatku, mulailah beliau berbicara tentang shobr (ketabahan). Setiap kali beliau berbicara, rasa sakitku hilang sedikit demi sedikit. Beliau terus berbicara sampai rasa sakit itu hilang seluruhnya seakan-akan tidak pernah ada. Padahal, sebelum itu saya tidak bisa tidur semalaman karena rasa sakit itu. Aku pun tahu bahwa lenyapnya rasa sakit itu adalah karena berkah beliau.”
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku saya; AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “Karomah An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.