Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Seringkali kita menyikapi kesalahan atau dosa yang diperbuat orang lain dengan sudut pandang egosentris. Sangat jarang ada orang yang menjadikan kebaikan orang yang berbuat salah sebagai sudut pandang penyikapan. Apalagi menjadikan rida Allah sebagai satu-satunya sudut pandang utama.
Akibatnya, semua kesalahan orang lain atau dosa yang diperbuatnya seringkali kita nilai dan kita sikapi sesuai dengan kepentingan kita atau menjadikan diri kita sebagai potret ideal bagi orang lain.
Ketika ada orang yang berutang kepada kita lalu pura-pura lupa misalnya, kita menyikapinya dengan marah-marah kepadanya, memaki, menggunjing, dan menjatuhkan harga dirinya di depan dia atau orang lain tempat kita melampiaskan perasaan. Ketika kita tahu berita saudara seiman tergelincir dalam maksiat, padahal kita tahu lahirnya beliau orang baik, hanya saja kita mendengar beliau melakukan maksiat itu secara sembunyi-sembunyi, bibir kita tak sadar mencibir, lalu terucap kata-kata penuh ujub sekaan-akan diri adalah orang sempurna yang bersih tanpa cacat dan dosa, “Ih, ndak nyangka ya. Ternyata si fulan/fulanah seperti itu…!”
Sikap-sikap semacam ini muncul karena cara penyikapannya egosentris. Yakni menjadikan kepentingan diri sebagai sudut pandang dan menjadikan diri sebagai potret ideal bagi orang lain.
Berbeda dengan para kekasih Allah dan wali-wali Allah yang salih nan mendalam ilmunya. Setiap melihat ketergelinciran hamba Allah, tidak ada sedikitpun pada hati mereka perasaan bersorak, bergembira, apalagi jijik seakan-akan menganggap diri paling suci dan sepi dari segala dosa.
Hal itu karena sudut pandang yang dijadikan orang salih untuk menyikapi ketergelinciran seorang hamba adalah sifat rahmah (kasih sayang) yang diperintahkan Allah. Artinya, cara dia bersikap adalah untuk kebaikan orang yang tergelincir itu, menyayanginya, dan menyelamatkannya dari neraka, dalam rangka memenuhi perintah Alllah sehingga Allah rida kepadanya.
Inilah sikap para nabi dan rasul, para wali, para syuhada, para sholihin dan para shiddiqin. Tidak ada satupun sikap mereka yang keluar dari frame ini. Pada saat melakukan tindakan keras sekalipun seperti hukuman rajam dan potong tangan, asasnya tetap rahmat dan kasih sayang untuk menyelamatkan pelaku dosa itu dari neraka.
Seperti itulah akhlak An-Nawawi.
Ketika beliau melihat orang yang berdosa, dan dosa itu berefek merugikan beliau, maka yang muncul dalam hati beliau adalah sikap rahmah. Bukan ngamuk, marah-marah, benci, apalagi dendam kusumat.
Suatu saat sorban beliau dicuri oleh seorang pencuri. Kita tahu dalam hukum Islam, seorang pencuri hukumannya adalah potong tangan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Kalaupun dia bisa menyelamatkan diri dari hukuman dunia, maka di akhirat mustahil dia melepaskan diri. Di hari penghisaban, seorang pencuri terancam muflis (bangkrut) karena dia telah menzalimi hamba Allah yang lain dari sisi hartanya. Begitu An-Nawawi tahu sorbannya dicuri, segera saja beliau mengejar pencuri tersebut. Bukan untuk merebut kembali sorban tersebut, tetapi untuk mengucapkan akad hibah kepada pencuri itu supaya sorban itu halal dimiliki olehnya!
As-Sakhowi menceritakan kisah unik ini sebagai berikut:
وَحَكَى الإِمَامُ اليَافِعِيُّ فِيْ آخِرِ الحِكَايَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّمَانِيْنَ بَعدَ الأَرْبَعِمِائَةٍ مِنْ ” رَوْضِ الرَّيَاحِيْنَ ” فِيْمَا بَلَغَهُ: إِنَّ الشَّيْخَ خَطَفَ سَارِقٌ عِمَامَتَهُ وَهَرَبَ، فَتَبِعَهُ الشَّيْخُ، وَصَارَ يَعْدُوْ خَلْفَهُ وَيَقُوْلُ لَهُ: مَلّْكْتُكَ إِيَّاهَا، قلت: قَبِلْتُ قَبِلْتُ، وَالسَّارِقُ مَا عِنْدَهُ خَبَرٌ مِنْ ذلِكَ، انتهى.
Artinya: “Al-Imam Al-Yafi’i mengisahkan pada akhir kisah ke 482 dari kitab Roudh Ar-Royahin berdasarkan berita yang sampai pada beliau sebagai berikut. ‘Sesungguhnya syekh An-Nawawi dicuri surbannya oleh seorang pencuri dan pencuri tersebut lari. Syekh An-Nawawi pun mengikutinya dan berlari di belakangnya sambil berteriak, ‘Kuberikan surban itu padamu. Katakan, ‘Aku menerimanya, aku menerimanya.’’ Pencuri itu sama sekali tidak tahu dengan hal itu.
Sifat rahmah ini juga tampak pada saat sebagian shahabat beliau berharap mendapatkan syafaat An-Nawawi di akhirat. Waktu itu An-Nawawi menjawab yang maknanya kira-kira, “Kalau memang aku diberi hak seperti itu, maka saya tidak akan masuk surga sebelum meminta syafaat untuk semua orang yang kukenal!”
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku saya; AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “indahnya akhlak An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.