Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Hukum Islam dan fikih itu tidak bisa ditentukan dengan logika atau alur pikir silogisme. Hukum Islam dan fikih ditentukan oleh dalil dan disimpulkan hanya semata-mata dari dalil saja.
Alasannya, fikih itu adalah upaya memahami kehendak Allah terkait hukum sesuatu. Mengetahui kehendak Allah hanya mungkin dari wahyu, tidak mungkin lewat jalan filsafat, logika, silogisme dan akal manusia. Jadi, hukum fikih hanya bisa ditetapkan melalui dalil, tidak boleh selain itu.
Salah satu contoh yang menunjukkan bahwa hukum fikih itu tidak bisa dilogikakan adalah kasus haramnya menyembelih dengan gigi, tulang atau kuku.
Rasulullah ﷺ melarang menyembelih dengan gigi atau kuku. Barangsiapa melakukannya, maka dia telah melakukan perbuatan haram dan hewan yang disembelih statusnya adalah bangkai sehingga haram dimakan. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“(hewan yang disembelih dengan) Sesuatu yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Allah atasnya maka makanlah, kecuali (disembelih dengan) gigi dan kuku” (H.R. Al-Bukhari)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengizinkan makan hewan yang disembelih dengan alat yang bisa mengalirkan darah dengan deras, asalkan alat yang dipakai menyembelih bukan gigi atau kuku. Hal ini menunjukkan hewan yang disembelih memakai gigi atau kuku, maka statusnya adalah bangkai sehingga haram dimakan.
Hanya saja, jika pelaku pembunuhan itu adalah hewan yang digunakan untuk berburu, maka hewan yang mati itu statusnya menjadi halal!
Maksudnya begini,
Jika manusia membunuh kijang dengan cara menyembelihnya memakai kuku atau gigi, maka status hewan yang dibunuhnya itu adalah bangkai yang haram dimakan.
Tetapi jika kijang itu dibunuh oleh anjing terlatih memakai gigi dan kukunya, maka status kijang tersebut adalah halal dimakan!
Allah berfirman,
Artinya,
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Dalam ayat di atas Allah mengizinkan makan hewan yang dibunuh oleh hewan-hewan pemburu yang kita latih. Hewan pemburu tentu saja membunuh tidak memakai pisau, tombak, panah atau senapan, tetapi mereka membunuh dengan gigi dan kuku. Jadi, ayat ini menunjukkan halalnya hewan yang dibunuh memakai gigi dan kuku asal pelakunya hewan, bukan manusia.
Oleh karena itu contoh-contoh ini menunjukkan bahwa hukum fikih itu tidak bisa memakai logika, tetapi harus semata-mata bertumpu dengan dalil saja.
Benarlah Ali bin Abi Thalib ketika mengatakan begini,
Artinya,
“Dari Ali radhiallahu Anhu dia berkata, ‘Seandainya agama itu ditetapkan dengan pikiran, maka bagian bawah sepatu itu lebih layak diusap daripada bagian atasnya” (H.R.Abu Dawud)