Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dokter, perawat, bidan dan semua tenaga kesehatan (NAKES) lainnya, jika menangani pasien di situasi wabah virus corona seperti hari ini, selama masih bisa berwudu dan salat dengan cara normal tanpa membahayakan kesehatan maupun harta, baik bahaya bagi diri maupun orang lain, maka dia wajib tetap berwudu dan salat dengan cara normal.
Hanya saja, jika tenaga kesehatan dituntut memakai pakaian khusus sehingga tidak bisa (atau tidak mudah) melepasnya di waktu-waktu salat, atau bahkan tidak bisa melepaskan pakaian tersebut dalam waktu yang lama sampai melewati sejumlah waktu salat, maka tatacara salatnya berbeda. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Tenaga kesehatan yang tidak bisa melepas pakaiannya karena merawat pasien corona, sehingga dia tidak bisa berwudu dan tidak bisa bertayamum, maka dia dihukumi memiliki uzur. Statusnya mirip dengan orang yang tidak menemukan air untuk berwudu dan tidak menemukan tanah untuk bertayamum. Dalam kondisi itu, dia wajib langsung melakukan salat saat tiba waktu salat tanpa berwudu dan tanpa bertayamum.
Dalil yang menjadi ketentuan ini adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-baqoroh; 286)
Dalam ayat di atas, Allah menjamin tidak membebani jiwa kecuali sekedar kemampuannya. Tenaga kesehatan saat merawat pasien yang terinfeksi Corona tidak mampu berwudu dan tayamum karena bisa membahayakan nyawanya, nyawa orang lain dan menimbulkan kerugian harta besar jika harus banyak membuang pakaian hazmat/pakaian dekontaminasi. Oleh karena kemampuan dia hanyalah salat tanpa wudu dan tayamum, maka dia wajib salat meskipun tanpa wudu dan tanpa tayamum.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.“ (Al-Hajj; 78)
Dalam ayat di atas, Allah menjamin tidak akan membuat kesulitan dalam beragama. Membuka pakaian hazmat saat merawat pasien yang terinfeksi virus Corona jelas menimbulkan kesulitan, bahkan bahaya pada kesehatan, jiwa dan harta. Oleh karena itu, tenaga kesehatan tidak perlu wudu dan tayamum untuk salat sebagai bentuk kasih sayang Allah yang tidak ingin membuat hamba-Nya kesulitan untuk beribadah kepada-Nya.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Jika aku memerintahan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakan semampu kalian.” (H.R. Al-Bukhari)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kaum muslimin melaksanakan perintah agama semampu mereka. Tenaga kesehatan yang merawat pasien yang terinfeksi corona hanya mampu salat tanpa wudu dan tayamum karena memakai pakaian hazmat. Oleh karena itu wajib bagi mereka salat dengan cara seperti itu, karena kondisi seperti itulah yang dimampui.
Jika sudah melakukan salat (dengan tetap memakai baju hazmat) tanpa wudu maupun tayamum, maka tenaga kesehatan tidak perlu meng-qodho’ salat itu dalam kondisi sudah mampu melepas pakaian dan bisa bersuci dengan normal. Alasannya, ketidakmampuan melepas pakaian hazmat termasuk uzur syar’i yang nadir yadum (uzur langka yang kejadiannya berlangsung lama), sehingga ia serupa dengan orang yang punya uzur istihadhoh, tidak bisa menahan kencing, keluar mazi terus-terusan, terluka dengan darah mengalir, kengser/turun peranakan, terus berhadas dan semisalnya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang memiliki uzur nadir yadum. Jika mereka salat, maka mereka tidak perlu meng-qodho’ salat itu jika seandainya di waktu tertentu sembuh dari penyakit-penyakit itu. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Adapun (uzur) yang langka, maka ia ada macam. Pertama, yang umumnya terus-menerus. Kedua yang tidak terus-menerus. (Uzur) yang terus-menerus itu membuat tidak perlu mengqodho’ seperti istihadhoh, tidak bisa menahan kencing, keluar mazi terus-terusan, terluka dengan darah mengalir, kengser/turun peranakan, dan terus berhadas. Tidak membedakan apakah ada badal ataukah tidak.” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 1 hlm 121)
Jika wabah virus Corona ini dipandang sebagai uzur nadir la yadum la badala ma’ahu (uzur langka yang kejadiannya tidak berlangsung lama yang tidak disertai badal), berarti setelah salat tanpa wudu atau tayamum itu, tenaga kesehatan wajib meng-qodho’ salatnya setelah bisa melepas pakaian hazmat dan bisa bersuci dengan normal. Kewajiban meng-qodho’ ini didasarkan pada kondisi wabah virus corona yang membuat tidak bisa berwudu dan tayamum secara normal sehingga diserupakan dengan orang yang tidak menemukan air untuk berwudu atau tanah untuk bertayamum. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“(Uzur) yang tidak terus-menerus ada dua macam. Pertama, yang disertai badal. Kedua, yang tidak disertai badal. (Uzur) yang tidak disertai badal mengharuskan qadha. Yang seperti itu ada beberapa contoh. Di antaranya, orang yang tidak menemukan air maupun tanah. Ada beberapa pendapat terkait kondisi ini. Yang terkuat adalah wajib salat sesuai dengan kondisinya dan wajib meng-qadha.” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 1 hlm 121)
Tenaga kesehatan tidak wajib salat Jumat dan tidak wajib salat berjamaah karena salat Jumat itu bisa gugur karena kuatir dhoror/bahaya pada jiwa, harta, maupun merawat orang sakit. Asy-Syirozi berkata,
“(Uzur-uzur untuk meninggalkan salat Jumat dan salat berjamaah) Di antaranya adalah mengkuatirkan bahaya pada diri atau hartanya atau sakit yang menyusahkannya untuk pergi menuju ke masjid. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu Anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, ‘Barang siapa mendengar azan kemudian tidak menyambutnya maka tidak ada salat baginya. Kecuali karena uzur’. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa uzurnya?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Kuatir/takut atau sakit’. (Uzur lain) di antaranya adalah karena menjadi perawat bagi orang yang sakit sementara ia mengkuatirkan pasiennya tidak terurus. Alasannya, menjaga nyawa manusia lebih utama daripada menjaga jamaah. (Uzur lain) di antaranya adalah memiliki kerabat sakit yang dia kuatir bisa mati (jika ditinggalkan). Alasannya, perihnya hati yang ia rasakan karena kehilangan kerabat lebih pedih dari pada kehilangan harta.” (Al-Muhadzdzab, juz 1 hlm 178)
Adapun menjamak salat bagi tenaga kesehatan, maka hal itu juga diperbolehkan karena merawat orang sakit adalah uzur syar’i sebagaimana sakit. Orang sakit dan merawat orang sakit gugur kewajibannya untuk salat Jumat karena mereka memiliki uzur syar’i, maka menjamak salat karena merawat orang sakit juga diperbolehkan sebagaimana orang sakit diperbolehkan menjamak salat. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Aku (An-Nawawi) berkata, ‘Pendapat ini (yakni pendapat yang membolehkan menjamak salat bagi orang yang sakit) kuat sekali” (Al-Majmu’ juz 4 hlm 383)
KESIMPULAN
Dalam situasi wabah virus corona, tenaga kesehatan yang merawat pasien dan tidak bisa berwudu atau bertayamum dengan normal maka dia wajib salat tanpa wudu dan tanpa tayamum.
Setelah itu dia,
- Tidak perlu meng-qodho’ jika wabah virus corona ini dipandang uzur yang serupa dengan istihadhoh.
- Wajib meng-qodho’, jika wabah virus corona ini dipandang uzur yang serupa dengan orang yang tidak menemukan air atau tanah untuk bersuci.
Tenaga kesehatan yang merawat pasien dengan infeksi virus corona juga boleh menjamak salat, karena merawat orang sakit termasuk uzur syar’i. Wallahua’lam