Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda dengan meriwayatkan dari rabbnya, bahwa hamba manapun yang niat bermaksiat, lalu membatalkannya karena Allah, maka pembatalan itu dicatat sebagai kebaikan sempurna. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah berfirman: ‘Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan keburukan maka janganlah kalian catat hingga Ia melakukannya, dan jika ia melakukannya maka catatlah semisalnya. Jika ia meninggalkannya karena Aku maka catatlah kebaikan baginya.” (H.R. Al-Bukhari)
Pertanyaannya, bagaimanakah gambaran orang meninggalkan maksiat karena Allah?
Jawabannya sebagai berikut.
Misalnya ada orang yang punya peluang berzina.
Di depannya sudah pasrah sesosok pasangan yang siap untuk diajaknya berzina. Dihatinya juga sudah ada keinginan kuat untuk berzina. Tempatnya cukup kondusif. Aman dari pandangan manusia.
Tapi dia agak ragu. Dia berpikir.
“Bagaimana jika nanti orang tahu, lalu keluargaku tahu, dan orang-orang yang menganggapku orang-orang baik-baik semuanya tahu? Bisa hancur hidupku. Tidak, ah. Aku tidak mau berzina.”
Akhirnya dia membatalkan keinginannya untuk berzina.
Nah yang semacam ini berarti meninggalkan maksiat karena malu (haya’). Allah menolak amalnya dan tidak diterima.
Bisa juga kecamuk hatinya begini,
“Di depanku sekarang sudah ada pasangan yang siap kuajak berhubugan badan. Tapi bagaimana jika nanti ada Satpol PP dan razia mendadak? Bagaimana kalau aku ditangkap lalu dihukum di depan publik? Ih, ngeri sekali. Tidak ah, aku tidak mau berzina.”
Akhirnya dia membatalkan keinginannya untuk berzina.
Nah yang semacam ini berarti meninggalkan maksiat karena takut (khouf) kepada makhluk. Allah menolak amalnya dan tidak diterima.
Bisa juga situasinya sudah janjian ketemu dengan seseorang yang akan diajaknya berzina. Lokasi pertemuan sudah ditentukan. Jam janjian juga sudah disepakati. Pasangan zinanya sudah sampai dilokasi janjian dan menunggu. Tetapi dirinya tidak bisa mencapai tempat itu karena jalan sedang ditutup, atau jembatan sedang putus sehingga tidak bisa lewat, atau pesawat lagi delay sehingga gagal bertemu dengan pasangan zinanya. Yang seperti ini berarti dia meninggalkan maksiat karena lemah (ajzun). Allah menolak amalnya dan tidak diterima.
Bisa juga kecamuk hatinya begini,
“Di depanku sekarang sudah ada pasangan yang siap kuajak berhubugan badan. Tapi aku dikenal sebagai orang terhormat. Orang yang kuajak berzina ini juga tahu jika aku orang yang terkenal terhormnat. Dia mungkin juga tidak menyangka akan aku ajak seperti ini. Tetapi sepertinya dia juga bingung bagaimana menyikapi ajakanku meskipun akhirnya pasrah. Terus terang, ini baru pertama kali punya gagasan mengajaknya berzina ditempat ini. Ah, kubatakan saja, agar dia tahu bahwa diriku tetaplah terhormat seperti dulu. Agar dia tahu bahwa aku memberikan contoh ketakwaan kepada Allah itu seperti apa. Biar jadi kenangan indah dibenaknya tentang apa itu makna ketakwaan dan aku menjadi pujian sepanjang zaman.”
Akhirnya dia membatalkan keinginannya untuk berzina.
Nah yang semacam ini berarti meninggalkan maksiat karena riya’, karena mengharap pujian dan nama baik di tengah-tengah manusia. Allah menolak amalnya dan tidak diterima.
Ibnu Allan berkata,
Artinya,
“’Jika dia ingin melakukan keburukan kemudian tidak melakukannya’, yakni meninggalkan perbuatan maksiat itu atau tidak mengucapkannya karena mencari ridho Allah ta’ala, bukan karena malu atau karena takut terhadap orang yang memiliki kekuasaan atau karena kelemahan atau karena riya.” (Dalilu Al-falihin, juz 1 hlm 82)
Akan tetapi, jika kecamuk hatinya begini,
“Astaghfirullah! Apa yang ku lakukan? Wahai diri, apa engkau lupa jika Allah melihatmu saat ini? Apa engkau lupa siksaan Allah untuk zina demikian ngerinya? Apa engkau lupa nasib pezina yang dihukum keras di dunia dengan rajam dan dihukum keras di akhirat dengan cara dibakar di dalam tungku?
Apa kurang baik Allah padamu?
Inikah balasanmu atas kebaikan Allah?
Dia memberimu banyak nikmat lalu engkau balas dengan perbuatan yang mengecewakan-Nya?
Apa perasanmu jika engkau sangat baik pada budakmu, tapi budakmu malah memaki-makimu dan memuji-muji tuan orang lain?”
Akhirnya gemetarlah dia, menangis dan meninggalkan perbuiatan zina itu.
Nah, perbuatan seperti ini yang dicatat oleh Alalh sebagai amal salih, sebab meninggalkan maksiat karena-Nya,
Meninggalkan maksiat seperti inilah yang diceritakan nabi ﷺ pernah terjadi di zaman bani Israel, yang membuat Allah rida pada lelaki itu sehingga diberi anugerah doa mustajab. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“‘Ya Allah ya Tuhanku, dulu saya mempunyai seorang sepupu perempuan (anak perempuan paman) yang saya sukai sebagaimana sukanya kaum laki-laki yang menggebu-gebu terhadap kaum wanita. Saya pernah mengajaknya untuk berbuat mesum, tetapi ia menolak kecuali memberinya uang seratus dinar. Setelah bersusah payah mengumpulkan uang seratus dinar, akhirnya saya pun mampu memberikan uang tersebut kepadanya. Ketika saya berada diantara kedua pahanya (telah siap untuk menggaulinya), tiba-tiba ia berkata,’Hai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu membuka cincin (menggauliku) kecuali setelah menjadi hakmu.’ Lalu saya bangkit dan meninggalkannya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau pun tahu bahwasanya saya melakukan hal itu hanya untuk mengharapkan rida-Mu. Oleh karena itu, bukakanlah suatu celah lubang untuk kami!’ Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan sedikit celah lubang lagi untuk mereka bertiga.” (H.R. Muslim)